Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi tim peneliti dari Arizona State University (ASU), University of Washington, dan University of Texas di Austin, mengungkap dampak panas ekstrem terhadap rutinitas harian dan penggunaan transportasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil riset itu menyatakan penggunaan mobil pribadi meningkat, sedangkan pejalan kaki, pesepeda, dan penggunaan angkutan umum mengalami penurunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riset tersebut dipublikasikan dalam dalam jurnal ilmiah dengan judul 'Understanding how extreme heat impacts human activity-mobility and time use patterns'.
“Kami melihat bahwa suhu panas yang ekstrem memperburuk ketidakadilan dalam mobilitas dan partisipasi perjalanan aktivitas,” kata penulis utama studi Ram M. Pendyala, yang dilansir situs earth.com, dikutip pada Ahad, 6 Oktober 2024.
Penelitian ini berdasarkan data yang diperoleh dari American Time Use Survey (ATUS) dan pembaruan cuaca dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Fokusnya adalah pada 11 kota besar di AS, termasuk Atlanta, Chicago, Dallas, Houston, Los Angeles, Miami, New York, Philadelphia, Phoenix, Seattle, dan Washington, DC.
Temuan dalam riset ini menunjukkan bahwa suhu yang sangat panas secara signifikan mengurangi waktu yang dihabiskan orang di luar rumah. Orang-orang lebih memilih untuk tetap berada di dalam rumah, mengurangi aktivitas di luar ruangan, dan menghindari perjalanan yang tidak penting selama hari-hari yang sangat panas.
Data menunjukkan penurunan signifikan dalam perjalanan yang dilakukan untuk bersantai, berbelanja, dan bersosialisasi saat suhu meningkat. Orang-orang cenderung mengatur ulang jadwal perjalanan ke waktu yang diperkirakan lebih sejuk, seperti memilih perjalanan di pagi hari atau sore hari untuk menghindari panas ketika siang.
"Rata-rata, penggunaan angkutan umum turun hampir 50 persen pada hari yang terik, karena orang-orang mencari hiburan dalam kenyamanan kendaraan pribadi ber-AC," kata hasil riset tersebut.
Keadaan ini justru menimbulkan tantangan besar bagi kota-kota yang berupaya mempromosikan moda transportasi berkelanjutan. Cuaca ekstrem yang sering terjadi merupakan tantangan utama.
Dalam temuan riset itu juga terungkap bahwa masyarakat berpendapatan rendah dan yang tidak memiliki akses terhadap mobil terpaksa berjalan kaki atau transportasi umum, sehingga mereka terpapar pada suhu yang berbahaya. Mereka menghadapi jadwal kerja paling ketat, tapi sering kali tidak punya pilihan selain bepergian, bahkan ketika suhu ekstrem.
"Ini adalah seruan yang jelas untuk intervensi kebijakan yang terarah guna melindungi kelompok populasi yang paling rentan," kata Ram M. Pendyala.
Kesimpulan riset ini mengusulkan rekomendasi kebijakan untuk meringankan dampak panas ekstrem pada masyarakat. Upaya yang bisa dilakukan meliputi penyediaan ruang publik yang teduh, pemberian kupon transportasi untuk populasi yang rentan, dan penetapan “hari-hari panas” yang mirip dengan “hari-hari bersalju”, yang mana pergerakan publik dibatasi untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat.
Perlu ada perbaikan tata perkotaan seperti penanaman lebih banyak pohon dan penggunaan bahan yang memantulkan panas pada trotoar. Tim peneliti berharap temuan ini akan mendorong para pemangku kepentingan untuk mengambil langkah cepat dalam guna menciptakan kota yang lebih 'tahan panas'.