Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Efek Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dari vaksin AstraZeneca dikabarkan lebih keras daripada Sinovac. Lalu, apakah efek KIPI yang lebih keras membuat vaksin AstraZeneca memiliki efektivitas lebih tinggi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam menjelaskan bahwa efek KIPI yang lebih keras tidak bisa menjadi acuan apakah efektivitas vaksin lebih tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Enggak begitu, kita tidak bisa bilang korelasi antara efek KIPI dan efektivitas vaksin,” ujar dia melalui sambungan telepon, Kamis sore, 10 Juni 2021.
Jika dilihat dari pengujian yang ada, kata Ari yang juga Dekan FKUI itu, memang AstraZeneca memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibanding Sinovac. Namun, pengujian AstraZeneca menggunakan sampel dari luar negeri, sementara Sinovac dari Indonesia.
“Jadi kalau bicara efektivitas harus head to head, harus sama-sama diuji di Indonesia, sampelnya orang Indonesia. Jadi kita tidak bisa bilang efektivitas AstraZeneca lebih tinggi, karena sampelnya kan dari luar,” tutur dia.
Ari, peraih gelar master biologi molekuler di University of Queensland Australia itu juga menambahkan bahwa sejak awal dirinya sudah menyarankan agar vaksin yang akan digunakan di Indonesia harus diuji klinis dengan sampel orang Indonesia. “Tapi ya meskipun efek KIPI AstraZeneca lebih keras, secara umum tidak mengkhawatirkan, jadi tidak masalah,” katanya.
Dihubungi terpisah, Ahli Patologi Klinis dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Tonang Dwi Aryanto, menjelaskan, sebenarnya respons masing-masing orang terhadap vaksinasi memang berbeda-beda kekuatannya “Jadi berat ringannya gejala tidak bisa menjadi ukuran mutlak,” ujar dia kepada Tempo, Kamis.
Sinovac dibuat dari inactivated whole—virus utuh yang sudah dimatikan. Dengan kondisi itu, tersisa sifat perangsang imun terutama pada yang paling dominan, protein S. Dengan kondisi ini, respons imun yang timbul relatif lebih lemah daripada produk AstraZeneca.
Sementara, AstraZeneca dibuat dengan teknologi yang lebih kompleks. Ada bagian dari virus Covid-19—sebagian kecil saja, dengan membersihkan dulu dari bagian-bagian lain, ditanamkan dalam vektor (virus pembawa). Maka tubuh penerima vaksin harus merespons dua benda asing sekaligus, vaksin yang dibawa dan virus pembawanya.
AstraZeneca menggunakan virus pembawa yang bukan biasa menginfeksi manusia, melainkan benda asing yang harus direspon sistem imun pasien vaksinasi. Dengan metode yang lebih kompleks itu, kata Tonang, diharapkan efektivitas vaksin lebih tinggi, walau konsekuensinya, respons tubuh cenderung lebih kuat. Akibatnya gejalanya juga lebih terasa.
Tapi, Tonang yang juga seorang epidemiolog itu berujar, tidak juga harus diartikan bahwa kalau tidak ada gejala, berarti responsnya tidak kuat atau bahkan tidak ada, karena semua kembali kepada kekuatan tubuh masing-masing. “Respons dalam tubuh mungkin kuat, tapi tidak sampai timbul gejala signifikan karena tubuh kita kuat.”
Minimalnya, dosen ilmu patologi klinik di UNS itu berharap bisa lebih menggambarkan mengapa yang menerima AstraZeneca, cenderung merasakan efek yang lebih kuat dalam bentuk gejala lebih signifikan, daripada produk Sinovac.
Untuk saat ini, menurut Tonang, apapun adanya, sudah mendapat vaksin saja harus bersyukur sambil tetap waspada dan memantau, semoga hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. “Sambil juga menyimak data-data yang terkumpul. Di luar sana, masih jauh lebih banyak lagi yang bahkan belum mendapat kesempatan divaksinasi,” katanya.
Baca:
Beda Efek KIPI Vaksin AstraZeneca dan Sinovac, Apa Kata Pakar?