Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Emas Detektor <font color=#CC6666>Kanker Paru</font>

21 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANKER paru-paru menjadi penyakit mematikan nomor satu di Indonesia dan dunia saat ini. Setiap tahun 1,3 juta orang meninggal di dunia karena penyakit ini. Sebanyak 70 persen pengidap adalah mereka yang mengisap rokok.

Celakanya, kanker paru belum bisa dideteksi sejak awal. Akibatnya, para penderita baru diketahui mengidap kanker setelah tumor itu menjalar ke jaringan lain. Tapi, pada zaman teknologi nano seperti sekarang, kebuntuan itu pecah.

Para ahli di Institut Teknologi Israel di Haifa menemukan dan menciptakan detektor kanker paru-paru canggih. Dicoba pada 40 orang sehat dan 50 orang yang diduga terkena kanker, seperti termuat dalam jurnal Nature Nanotechnology edisi awal September 2009, alat itu sukses mendeteksi paru yang sehat dan yang ditumbuhi virus.

Menurut Hossam Haick, peneliti yang menemukannya, alat buatannya ini yang pertama di dunia. Alat-alat sebelumnya—termasuk yang dipakai dunia kedokteran—adalah pendeteksi kanker yang menganalisis karbon dari napas pasien. Harus dimasukkan ke mulut, ada kemungkinan bercampur dengan oksigen saat dianalisis, sehingga hasilnya kurang akurat.

Alat buatan Hossam berupa microchip emas. Chip ini ditempelkan di tubuh untuk mendeteksi jumlah karbon yang diembuskan ketika bernapas. Jumlah itu akan menggetarkan lapisan emas dalam chip, lalu mengirim sinyal ke komputer untuk menghasilkan gambar. Analisis zat karbon itulah yang akan memberi tahu apakah paru-paru sudah terkena kanker.

Dalam percobaan itu deteksinya akurat karena hasilnya tak beda dengan hasil alat konvensional. Hossam mengklaim alatnya jauh lebih murah, portabel, lebih cepat cara kerjanya. ”Alat ini diciptakan untuk deteksi dini kanker agar pengobatannya lebih mudah dan cepat,” kata dosen senior di Fakultas Teknik Kimia Russell Berrie Nanotechnology Institute ini.

Temuan Hossam ini dipuji kalangan akademisi kedokteran di seluruh dunia. Tapi beberapa ahli menyatakan masih ragu akan akurasinya. ”Ini sangat potensial dikembangkan, tapi butuh lebih banyak uji coba sebelum dipakai secara massal,” kata Tony Cass, ahli teknik biomedis di Imperial College, London, Inggris, seperti dikutip Giz Magazine.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus