Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Langkah Siput Fitofarmaka

Pengembangan fitofarmaka di Indonesia dihadang banyak masalah, dari keengganan dokter meresepkannya hingga regulasi yang kurang mendukung. Industri harus mempromosikan penggunaan fitofarmaka di kalangan praktisi kesehatan dan masyarakat.

17 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sampai 2020, fitofarmaka yang terdaftar dan memiliki izin edar di Badan Pengawas Obat dan Makanan berjumlah 24. Pada 2005, setahun setelah Badan POM memperkenalkan tiga klasifikasi obat berbahan baku alam yakni jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka

  • Pengembangan fitofarmaka yang sangat lambat itu karena membutuhkan waktu yang lama. PT dexa Medica membutuhkan waktu 4-6 tahun untuk mengembangkan satu fitofarmaka.

  • Selain membutuhkan waktu yang lama, pengembangan fitofarmaka juga membutuhkan biaya riset dan pengujian yang mahal. Ujiklinis fitofarmaka berkisar antara Rp 1-2 miliar.

KESENJANGAN antara kekayaan sumber daya hayati sebagai bahan baku obat dari alam kita dan pemanfaatannya menjadi keprihatinan sejak dulu. Riset obat dan tanaman jamu Kementerian Kesehatan 2017 mencatat sedikitnya mengidentifikasi 11.218 jenis tanaman obat, tapi masih sangat sedikit yang dikembangkan sampai menjadi fitofarmaka. Fitofarmaka merupakan obat bahan alam yang telah melalui pembuktian uji praklinis dan uji klinis serta telah terstandar kandungan bahannya sehingga setara dengan obat kimia.

Sejak Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) membuat tiga klasifikasi obat bahan alam pada 2004 lalu (jamu, obat herbal terstandar, fitofarmaka), Indonesia baru mempunyai 24 fitofarmaka. Adapun yang berstatus obat herbal terstandar (OHT)—pengembangan obat bahan alam Indonesia yang telah terstandar kandungan bahannya dengan khasiat yang telah dibuktikan lewat uji praklinis—sebanyak 64. Yang terbesar masih berupa jamu, yakni lebih dari 11 ribu. Artinya, dalam kurun 2004-2020, hanya ada dua fitofarmaka per tahun yang dikembangkan oleh lima perusahaan farmasi Indonesia.

Presiden Joko Widodo sebetulnya sudah mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Poin pertama instruksi itu menyatakan: menjamin ketersediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional. Dan poin 4 berbunyi: mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat, obat, dan alat kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor serta memulihkan dan meningkatkan kegiatan industri.

Sebagai tindak lanjut inpres tersebut, dibentuk Satuan Tugas Nasional Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Fitofarmaka oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada 13 September 2019. Pada tahun pembentukan satgas itu, Badan POM mencatat sudah ada 8 penelitian mengenai obat bahan alam, 5 sedang dalam tahap uji praklinis dan 3 di tahap uji klinis.

Jumlah riset obat bahan alam terus bertambah, terutama di masa pandemi ini. “Di masa Covid-19 sudah ada 14 jamu atau herbal atau tanaman obat yang sedang uji klinis yang didampingi oleh Badan POM. Ini untuk immunomodulator Covid-19, yang berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh,” kata Kepala Badan POM Penny K. Lukito dalam wawancara khusus kepada Tempo, Kamis, 15 Oktober lalu.

Sampai dengan Jumat, 16 Oktober lalu, di Indonesia Covid -19 telah menginfeksi lebih dari 353 ribu orang dan menyebabkan 12.347 orang meninggal. Dengan jumlah ini, posisi Indonesia berada di peringkat ke-19 dunia dalam soal jumlah kasus. “Dengan pandemi Covid-19, masyarakat ingin sehat dan tidak terkena virus, sehingga melirik obat tradisional, herbal, fitofarmaka,” kata dr. Rimenda Sitepu, anggota Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI), Rabu, 14 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

• • •

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengelompokan obat bahan alam menjadi tiga klasifikasi, menurut Raymond Tjandrawinata, Direktur Eksekutif Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, dilakukan oleh Kepala Badan POM pada 2004, M. Sampurno. Setahun berikutnya, kata Raymond, ada lima obat bahan alam yang disahkan menjadi fitofarmaka. Salah satu dari lima fitofarmaka itu adalah Stimuno dari Dexa Medica. Stimuno adalah immunomodulator—zat atau substansi yang dapat mempengaruhi sistem imunitas. Tiap kapsul Stimuno mengandung 50 miligram meniran hijau (Phyllanthus niruri).

Perkembangan fitofarmaka setelah itu berjalan lamban bak siput. Menurut Danang Ardiyanto, peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan, penyebabnya adalah proses panjang dan biaya mahal untuk menjadikan bahan obat dari alam menjadi fitofarmaka. Adapun untuk mendapatkan status jamu cukup dibuktikan bahwa obat tradisional itu telah dipakai oleh tiga generasi. “Tinggal menunjukkan bukti empiris dari naskah kuno,” kata dia, Senin, 12 Oktober lalu.

Jamu, kata Danang, bisa naik kelas menjadi obat herbal terstandar (OHT) melalui uji pra-klinis, untuk melihat khasiat dan keamanannya pada hewan percobaan. Menurut Danang, pada tahap ini yang dilihat adalah apakah benar bahan obat itu memiliki khasiat seperti klaimnya. Lalu juga diuji soal keamanannya. Proses pengujian ini minimal memakan waktu enam bulan.

Untuk dinaikkan statusnya menjadi fitofarmaka, OHT itu terlebih dulu harus melalui uji klinis. Meski sama-sama menguji keamanan dan khasiat, kali ini pengujian dilakukan kepada manusia. Selain keamanan, pada tahap ini, obat herbal itu dibandingkan dengan obat kimia yang beredar di pasar dengan khasiat yang sama. “Yang paling panjang dan rumit serta mahal adalah fitofarmaka ini,” kata Danang.

Dalam uji klinis, yang juga membuat prosesnya panjang dan berbiaya mahal adalah subyek ujinya. Menurut Raymond Tjandrawinata, mencari pasien yang mau mengikuti ujiklinis juga susah. Tidak semua rumah sakit juga bersedia menjadi tempat uji klinis. Selain itu, ada pasien yang sudah mau ikut uji klinis tapi pada hari pelaksanaan malah tidak datang.

Menurut Danang Ardyanto, biaya yang dikeluarkan untuk pra-klinis itu berkisar Rp 500 juta-Rp 1 miliar. Untuk uji klinis, biayanya tentu lebih besar, yaitu sekitar Rp 1-2 miliar. Peneliti pada Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Teni Ernawati, menaksir biaya uji klinis bisa di atas 2 miliar. Menurut Raymond, satu kali pengujian itu bisa memakan biaya Rp 300-500 juta.

Seperti halnya pengujian, hasilnya tidak selalu seperti yang diharapkan. Menurut Danang, uji klinis itu bisa dianggap berhasil jika khasiatnya bagus, dari segi keamanan tak menimbulkan efek samping yang membahayakan. “Selain itu, khasiatnya juga kalau bisa lebih baik dari obat kimia sejenis. Setidaknya sama,” kata dia. Raymond menambahkan, soal hasil uji klinis ini juga yang menjadi ketakutan perusahaan.

Ketidakpastian soal hasil inilah yang membuat banyak perusahaan tidak berani berinvestasi. “Namanya industri, meminta kepastian. Kalau saya investasi, pasti berharap bisa kembali. Dengan fitofarmaka ini kepastian jauh lebih rendah dibanding membuat obat generik. Karena ada risiko gagal dan risiko (pengeluaran) lebih tinggi dari yang dibujetkan,” kata Raymond.

Berdasarkan pengalaman Dexa, untuk menghasilkan satu fitofarmaka itu rata-rata butuh 4-6 tahun. Namun ada juga yang lebih dari perkiraan. Raymond memberi contoh salah satu fitofarmaka dari Dexa Medica, Inlacin—obat antidiabetes tipe II. Pengembangannya dimulai 2005, obat herbal itu baru diluncurkan sebagai OHT pada 2011 dan mendapatkan klasifikasi fitofarmaka tiga tahun kemudian. “Untuk menjadi fitofarmaka, butuh waktu 9 tahun,” ujarnya.

Setelah mendapatkan status fitofarmaka, masalahnya tak lantas selesai. Sebab, problemnya kemudian adalah apakah pasar siap mengakomodasinya. “Banyak perusahaan yang enggan melakukan pengujian obat herbal tradisional ke fitofarmaka karena dokter belum tentu mau pakai,” ucap Raymond. Ada banyak hal yang memicu keengganan dokter ini. Salah satunya mungkin adalah pengaruh kurangnya edukasi soal herbal dalam pendidikan kedokteran.

Soal kurang dikenalkannya herbal di dunia kedokteran ini diakui Rimenda. “Selama ini kita tahu pengobatan tradisional itu kan disebut orang pintar (dukun), dikasih ramuan,” kata dia. Pengajar di Fakultas Kedokteran Militer Universitas Pertahanan itu menambahkan, sekarang sudah banyak kampus yang memiliki blok herbal sehingga sudah ada dokter yang berfokus ke pengobatan herbal dan konvensional.

Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan dokter masih enggan meresepkan obat herbal itu bukan karena soal kurangnya pengetahuan tentang herbal, melainkan soal kebiasaan. Sekali satu dokter memakai obat tertentu, dia cenderung memakainya seterusnya. “Ini yang harus diperbaiki,” tuturnya.


Selain soal pemakaian oleh dokter, yang juga menjadi keluhan pengusaha farmasi adalah tidak masuknya obat herbal dalam formularium nasional, yang membuatnya tidak bisa dipakai di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Penyebabnya adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2018 tentang Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional menyebutkan bahwa obat yang diusulkan bukan obat tradisional. Padahal, menurut Undang-Undang Kesehatan, obat  tradisional  adalah  bahan  atau  ramuan  bahan  yang berupa  bahan  tumbuhan,  bahan  hewan,  bahan  mineral, sediaan  sarian,  atau  campuran  dari  bahan tersebut.

Sebenarnya, untuk mengklasifikasi antara obat tradisional yang berdasarkan data empiris dan obat modern yang berdasarkan data saintifik, Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Kesehatan, dan Menteri Perindustrian, serta Badan POM telah sepakat untuk menggunakan istilah obat modern asli Indonesia (OMAI). Istilah ini untuk menyebut obat dari bahan alam yang sudah dipelajari secara saintifik dalam bentuk OHT ataupun fitofarmaka.

Regulasi ini dikeluhkan oleh industri karena membuat fitofarmaka tidak bisa dijadikan rujukan BPJS Kesehatan. Hal itu membuat permintaan terhadap obat herbal sangat kecil. “Industri fitofarmaka itu ingin ada privilese dari pemerintah, agar produk Indonesia bisa masuk BPJS Kesehatan,” kata Teni. Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Dorodajtun Sanusi mengatakan peran pemerintah sangat besar dalam mendorong penggunaan fitofarmaka. “Salah satunya dengan formularium nasional itu.”

Menurut Rimenda, sebetulnya yang dibutuhkan para dokter dalam meresepkan obat acuannya adalah bukti ilmiah, evidence-based medicine (EBM) fitofarmaka. Namun dia mengakui, “Masuk dalam formularium itu untuk lebih memudahkan, mengarahkan, meresepkan satu obat.” Rimenda menambahkan, penelitian calon obat tradisional untuk menjadi fitofarmaka harus dilakukan sedemikian rupa sehingga bisa dipercaya para dokter.

Tantangan lain yang juga menghadang fitofarmaka adalah soal harga. Menurut Danang Ardiyanto, ada juga fitofarmaka yang lolos uji klinis tapi kurang diminati karena harganya mahal—selain kurang promosi. Ia menyebutkan salah satu fitofarmaka yang berfungsi menurunkan tensi darah. Harga obat kimianya Rp 50 per biji, sedangkan yang berupa fitofarmaka 10 kali lebih mahal. “Agak susahnya itu juga,” kata dia.

Raymond menyadari dilema harga itu. Ia menyebut hal ini sebagai perdebatan tentang mana yang lebih dulu antara ayam dan telur. “Kalau sudah masuk formularium nasional, akan banyak sekali penggunanya. Harga juga bisa turun menyaingi obat generik. Karena bahan bakunya banyak di Indonesia,” ujarnya.

Pemerintah menyadari tantangan ini. Bambang Brojonegoro mengakui masalah tidak masuknya fitofarmaka itu dalam formularium nasional. Dia menegaskan bahwa sudah ada instruksi dari presiden agar obat herbal itu segera masuk dalam daftar BPJS Kesehatan. “Kuncinya pada skala produksi. Karena itu, masuk BPJS Kesehatan itu penting. Supaya ada permintaan lumayan besar di awal,” ucapnya.

Tempo belum berhasil mendapatkan konfirmasi soal formularium nasional dari Direktur Jenderal Layanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo. Saat dihubungi melalui telepon dan layanan pesan instan, pada Rabu, 14 Oktober lalu, Bambang Wibowo tidak memberikan jawaban dan tidak mengangkat panggilan telepon. Pesan instan yang Tempo kirimkan ke Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Engko Sosialine Magdalene pun tidak berbalas.

Kementerian Riset dan Teknologi, kata Bambang Brodjonegoro, juga akan membantu dengan memfasilitasi pertemuan peneliti dengan industri dan mengusulkan insentif pajak. “Dari sisi pemerintah, kami akan fasilitasi agar peneliti dan industri farmasi bisa klop, sepakat apa yang mau dihasilkan, diproduksi,” ucapnya. Adapun insentif pajak sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di Indonesia yang terbit pada 9 Oktober lalu.

Pemerintah, kata Bambang, juga akan membuat standar uji klinis yang barangkali tidak membuat orang patah semangat duluan karena terlalu mahal dan terlalu panjang. “Tentu kita menyadari bahwa uji klinis sangat penting dan harus diikuti. Tapi harus ada batas waktunya. Kalau kelamaan dapat izin, banyak produsen patah semangat duluan,” kata dia.

Komitmen sama yang disampaikan Penny Lukito. Badan POM akan membantu industri dengan pendampingan uji praklinis dan uji klinis serta mempercepat prosesnya. “Sedang diproses agar uji klinis bisa dipercepat,” ucapnya. Hal lainnya, kata Penny, adalah mendorong dibukanya permintaan untuk produk fitofarmaka, antara lain dengan memasukkannya ke BPJS Kesehatan dan mempromosikan penggunaannya di kalangan praktisi kesehatan dan masyarakat.

Industri juga dituntut melakukan upaya lain untuk membuat fitofarmaka lebih diterima. Rimenda menyarankan perusahaan ini membantu meningkatkan pengetahuan dokter soal herbal, antara lain melalui workshop atau seminar. “Itu termasuk bagian dari promosi juga,” tuturnya. Bambang Brodjonegoro menambahkan, industri jangan berharap langsung akan ada pengadaan di kementerian atau masuk e-catalog selepas obat dirilis. “Harus ada pendekatan langsung ke pemakai,” ujarnya.

Edukasi fitofarmaka oleh perusahaan kepada masyarakat memang terbilang masih minimal. Pengalaman Rio Tuasikal, warga Bandung, Jawa Barat, yang memiliki gejala hipertensi menjadi buktinya. Ibu pria berusia 30 tahun ini, yang sudah lama mengidap hipertensi dan penyakit jantung, sempat melirik obat herbal untuk hipertensi. “Ibu akhirnya tetap memilih obat dari dokter. Mungkin merasa kondisinya lebih baik dengan obat dari dokter,” kata jurnalis yang disarankan oleh dokter untuk menghindari daging merah dan memperbanyak olahraga itu.

ABDUL MANAN, MAHARDIKA SATRIA HADI, NUR ALFIYAH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus