Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pasien Covid-19 mengeluh masih merasakan gejala berbulan-bulan setelah dinyatakan sembuh.
Para penyintas menuntut Direktur Jenderal WHO mengakui keluhan tersebut.
Mereka meminta WHO melakukan penelitian lebih lanjut tentang efek Covid-19 pada tubuh.
LIMA bulan setelah dipulangkan dari Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19 Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat, Juno Simorangkir merasa tubuhnya belum pulih seperti sedia kala. Beberapa titik di lehernya terasa menonjol ketika diraba. Kepada Juno, dokter yang memeriksanya mengatakan tonjolan itu muncul karena sebagian kelenjar getah beningnya membengkak, mungkin akibat reaksi terhadap virus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juno, 36 tahun, juga kerap merasa seperti ada angin yang berputar-putar dalam perutnya. Kadang-kadang jantungnya pun masih berdegup keras. Dan, yang menurut Juno aneh, ia sering membaui sesuatu yang sebenarnya tak nyata. “Seperti ada bau ban yang terbakar, tapi orang lain tidak mencium bau itu,” katanya, Rabu, 7 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juno dipulangkan dari Wisma Atlet pada pertengahan Mei lalu setelah dinyatakan negatif Covid-19. Namun, pada saat itu, ia masih merasa sangat lemas, otaknya seperti tak bisa diajak berpikir, jantungnya berdebar-debar, tangan kiri dan dadanya pun terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Ia sempat dirawat di rumah sakit lain lantaran keluhan tersebut. Sebagian gejala itu masih ada saat ia dipulangkan dari perawatan tersebut.
Merasa bingung dengan kondisi badannya, Juno lalu mencari tahu informasi tentang keluhan pasca-Covid-19 seusai perawatan terakhir itu. Dalam sebuah grup penyintas Covid-19 dunia, sebagian anggotanya mengeluhkan gejala yang masih tertinggal meski sudah dinyatakan negatif corona.
Para penyintas tersebut, termasuk Juno, berbicara dengan Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus pada 22 Agustus lalu secara virtual. Mereka menceritakan kondisi kesehatannya yang belum pulih meski sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19. Mereka menuntut WHO mengakui dampak jangka panjang virus SARS-CoV-2 terhadap tubuh, meminta rehabilitasi, dan menuntut adanya penelitian jangka panjang tentang kondisi itu.
Juno juga membentuk grup Survival Covid-19 Indonesia. Sudah ada sekitar 150 orang yang bergabung. Sebagian dari mereka juga menceritakan kondisi tubuhnya yang belum pulih seperti semula.
Hermawan, 39 tahun, yang sudah pulang dari rumah sakit sejak awal Agustus lalu, juga belum merasa sehat benar. Ia masih kerap ngos-ngosan terutama ketika menempuh jalan yang sedikit menanjak, rambutnya rontok parah, juga muncul bintik merah pada bola matanya. Seperti Juno, Hermawan kerap mencium bau yang sebenarnya tak ada. “Setiap subuh saya membaui asap rokok, padahal enggak ada yang merokok di rumah,” tuturnya.
WHO menjelaskan perihal efek jangka panjang yang disebabkan oleh virus corona baru itu bagi kesehatan pada 11 September lalu. Dalam dokumen yang ditayangkan di situs mereka, badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa ini menerangkan pasien Covid-19 dengan gejala ringan biasanya akan pulih dalam waktu dua pekan setelah terinfeksi. Adapun mereka yang bergejala berat akan membaik dalam waktu enam pekan. Namun, pada sebagian orang, gejala penyakit tersebut bisa menetap atau berulang selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan kemudian.
Pengaruh panjang itu tak hanya dirasakan oleh mereka yang sebelumnya bergejala berat, tapi juga penderita dengan gejala ringan, berusia dewasa, muda, serta anak-anak yang tak memiliki penyakit penyerta. Selama masa gejala yang belum hilang itu, mereka sudah tidak menularkan penyakit tersebut ke orang lain.
WHO mengingatkan bahwa efek jangka panjang seperti ini juga pernah dialami oleh mereka yang terserang oleh penyakit sindrom pernapasan akut berat alias SARS. Penyakit itu muncul pertama kali pada November 2002 di Provinsi Guangdong, Cina, dan teridentifikasi pada 2003. Gejala SARS mirip dengan Covid-19, yakni sama-sama menyebabkan demam, batuk, sesak napas, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, diare, mual, dan muntah.
Studi yang dilakukan sejumlah peneliti dari Departemen Kedokteran dan Terapi The Chinese University of Hong Kong, Rumah Sakit Prince of Wales di Hong Kong, Cina, menyimpulkan bahwa dua tahun seusai infeksi virus tersebut, kondisi kesehatan mereka belum pulih sepenuhnya. Ini terutama dialami oleh para petugas kesehatan. Penelitian yang dilakukan para peneliti lain dari universitas yang sama menyebutkan 4 dari 10 orang yang sembuh dari SARS masih menderita kelelahan kronis bahkan tiga setengah tahun setelah terdiagnosis menderita penyakit itu.
Menurut dokter spesialis penyakit dalam Dirga Sakti Rambe, belum ada penyebab pasti sebagian orang merasakan efek jangka panjang Covid-19. Namun salah satu kemungkinannya adalah kondisi itu merupakan sisa radang yang disebabkan oleh penyakit tersebut. Virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 bisa menyerang banyak organ dalam tubuh. “Sehingga inflamasinya luas, yang sangat mungkin menimbulkan luka atau fibrosis ataupun reaksi radang yang belum tuntas,” katanya. Dari pengalaman Dirga, pasien membutuhkan waktu berbeda-beda sampai benar-benar pulih.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) juga mempelajari dampak virus tersebut, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Salah satu yang diawasi CDC adalah efek pada jantung, misalnya peradangan berupa kerusakan otot jantung yang disebut miokarditis dan peradangan selubung jantung yang dikenal sebagai perikarditis. Kerusakan jantung seperti ini bisa jadi yang menyebabkan gejala jangka panjang yang sering dilaporkan, seperti sesak napas, nyeri dada, dan jantung berdebar-debar.
Dokter spesialis penyakit dalam Muhammad Hafiz Aini mengatakan, selain dipicu kerusakan fisik yang disebabkan oleh virus, keluhan pasien bisa disumbang oleh kondisi psikologisnya. Stigma negatif terhadap pasien Covid-19 dari masyarakat membuat mereka lebih merasakan efek jangka panjang tersebut.
Masalahnya, dia menambahkan, belum ada tindak lanjut untuk para pasien Covid-19 yang sudah dinyatakan sembuh di Indonesia. Sebagian dokter pun masih menganggap masalah itu semata-mata hanya disebabkan oleh kondisi psikologis. Terlebih hasil roentgen paru ataupun laboratorium pasien sering kali menunjukkan sudah tak ada masalah.
Menurut Dirga, semua tenaga medis seharusnya mulai mengenali efek jangka panjang Covid-19 ini. Untuk menindaklanjuti keluhan jangka panjang tersebut, dibutuhkan perawatan yang melibatkan berbagai bidang keilmuan, seperti penyakit dalam, paru, rehab medik, dan psikiatri. Para tenaga medis perlu mengidentifikasi secara detail keluhan pasien. “Semuanya harus bekerja sama sehingga pasien mendapatkan penanganan yang baik,” ujarnya.
Hafiz mengatakan pemulihan kondisi itu semestinya dimulai sejak pasien dirawat. Misalnya pasien yang sudah bisa bergerak diminta beraktivitas seperti biasa, seperti berolahraga atau berjemur. Tidur pun harus tepat waktu. “Rehabilitasinya bertahap sehingga ketika dia kembali ke masyarakat kondisinya sudah baik,” ucapnya.
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo