Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Obat Cepat Pesanan Tentara

Hasil penelitian obat Covid-19 Universitas Airlangga memicu polemik karena ada pertanyaan soal ketaatannya pada protokol uji klinis, selain efektivitasnya. Kini bola berada di tangan Badan Pengawas Obat dan Makanan.   

22 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa menerima hasil uji klinis tahap tiga obat untuk penanganan pasien COVID-19 dari Rektor Universitas Airlangga (Unair) Mohammad Nasih di Jakarta, 15 Agustus 2020./ANTARA /Aditya Pradana Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa menyerahkan hasil akhir uji klinis obat Covid-19 kepada Badan POM.

  • Dipertanyakan karena soal ketaatannya pada prosedur uji klinis, transparansi, dan efektivitas obatnya.

  • Bola kini di tangan Badan POM untuk menolak atau memberikan izin produksi.

REKTOR Universitas Airlangga, Surabaya, Mohammad Nasih bergegas mendatangi Gedung E Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Sabtu, 15 Agustus lalu. Ia menyerahkan hasil uji klinis fase III atas kombinasi obat Covid-19 kepada TNI Angkatan Darat—sponsor penelitian ini bersama Badan Intelijen Negara. "Tentu karena ini akan menjadi obat baru, diharapkan ini akan menjadi obat Covid-19 pertama di dunia," kata Nasih dalam konferensi pers di markas tentara itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika hasil penelitian tim Unair ini lolos uji klinis fase III, Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) akan memberikan izin edar dan produksi massal. Bisa jadi kombinasi obat ini menjadi obat Covid-19 pertama di Indonesia, dan mungkin di dunia. Kombinasi tambar tersebut akan mendahului kehadiran vaksin Covid-19, CoronaVac, hasil kerja sama perusahaan farmasi asal Cina, Sinovac Biotech Ltd, dan PT Bio Farma (Persero), yang saat ini sedang memasuki uji klinis fase III. Jika tidak ada aral melintang, uji klinis selesai akhir tahun ini dan vaksin ditargetkan sudah bisa diproduksi awal tahun depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbeda dengan vaksin Sinovac, kombinasi obat Covid-19 dari Unair ini banyak memicu polemik. Ada yang mempertanyakan pengambilan subyek dalam uji klinis, transparansi hasil penelitian, dan efektivitas obat untuk menyembuhkan pasien Covid-19. Juga soal kerja samanya dengan badan intelijen dan militer.

• • •

UNIVERSITAS Airlangga memulai penelitian obat Covid-19 ini pada awal Maret lalu, tidak lama setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama di Indonesia. Menurut Mohammad Nasih, penelitian awal itu berhasil menemukan lima senyawa aktif yang berpotensi mengobati pasien Covid-19. Senyawa aktif itu diberi nama Unair 1-5. Temuan itu diumumkan kepada media massa pada 8 Mei lalu. Kabar itu pun terdengar oleh Badan Intelijen Negara (BIN), lembaga telik sandi yang sedari awal melibatkan diri dalam penanganan pandemi, termasuk melakukan tes cepat Covid-19.

Dalam sebuah diskusi, peneliti Unair menyampaikan tahap proyek pembuatan obat baru itu kepada BIN. Saat itu proyek baru dalam tahap in vitro, pengujian sel di laboratorium menggunakan tikus besar. Hasil uji laboratorium ini ditaksir baru bisa diperoleh pada September mendatang. Setelah itu, penelitian baru masuk tahap uji klinis, yang bisa memakan waktu tiga-delapan bulan. Obat antivirus itu diprediksi bisa didapatkan pada Februari 2021. BIN menilai tahap itu terlalu lama. "Nunggu segitu kelamaan karena kasusnya terus bertambah," ujar Nasih, Kamis, 20 Agustus lalu.

Akhirnya, dicarilah cara paling cepat untuk menemukan obat Covid. Salah satunya dengan meneliti obat-obat yang sudah dipakai dokter untuk mengatasi wabah itu. "Yang paling gampang adalah meneliti mana di antara obat-obat itu yang paling efektif," ucap Nasih. Didapatkanlah obat lopinavir, ritonavir, azitromisin, doksisiklin, dan hidroksiklorokuin. Lopinavir dan ritonavir diketahui sebagai antivirus virus imunodefisiensi manusia (HIV), azitromisin dan doksisiklin merupakan antibiotik, sementara hidroksiklorokuin adalah obat antimalaria yang kemudian dipakai untuk penyakit autoimun.

Dalam perjalanan penelitian, muncul ide menggabungkan obat-obatan itu sehingga dapat meningkatkan efektivitasnya. "Kalau kita ke dokter kan dapat sampai lima obat. Ada kombinasi. Itu ide dasarnya,” tutur Nasih. Kombinasi obat itulah yang diteliti di laboratorium sehingga ditemukan lima kombinasi regiment obat yang paling baik. Temuan ini disampaikan kepada publik pada 13 Juni lalu. Dalam pengumuman itu, Unair menyampaikan bahwa temuan tersebut merupakan kombinasi obat yang bisa dipakai untuk menambari pasien Covid-19.

Temuan itu dipertanyakan kesahihannya karena tidak melalui uji klinis. Untuk menjawab pertanyaan publik itu, kata Nasih, uji klinis kemudian diajukan. Tim peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Unair, dengan disponsori BIN, mengajukan protokol uji klinis untuk lima kombinasi obat pada 12 Juni lalu. Sesuai dengan prosedur, protokol tersebut disetujui setelah dibahas oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Komite Nasional Penilai Obat. Izin uji klinis keluar pada 3 Juli lalu. Uji klinis berlangsung dari 7 Juli-4 Agustus lalu. Uji klinis dilaksanakan di Rumah Sakit Universitas Airlangga; Pusat Isolasi Rusunawa di Lamongan, Jawa Timur; dan Rumah Sakit Polri di Jakarta.

Di tengah proses itu, ada pengumuman kluster baru oleh juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, pada 9 Juli. Ditemukan 1.262 siswa dan pengajar di Pusat Pendidikan Sekolah Calon Perwira (Secapa) Angkatan Darat, Bandung, yang positif Covid-19. Jumlahnya kemudian bertambah menjadi 1.308. TNI AD meminta bantuan Unair untuk mengobati mereka. Menurut Nasih, hal itu menjadi anugerah karena tim Unair mendapat subyek penelitian kombinasi obat.

Publik mengetahui hasil akhir penelitian Unair ini pada Sabtu, 15 Agustus lalu, saat Nasih menyerahkan hasil uji klinis kepada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa. Polemik pun kembali muncul. Salah satu kritik keras datang dari epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono. Ia menyatakan kepada media akan menggugat jika Badan POM mengeluarkan izin produksi terhadap kombinasi obat itu. "Ternyata kata ‘menggugat’ itu menggugah banyak orang bahwa saya tidak setuju. Saya tidak setuju prosesnya," ujar Pandu kepada Tempo. Ia menyebut protes itu sebagai upaya agar proses penilaian obat independen.

Pandu, seperti banyak peneliti lain, mengetahui hasil riset Unair itu tidak dipublikasikan dalam jurnal ilmiah layaknya penelitian pada umumnya. Pandu mendapatkan bahan presentasi tim Unair setebal 16 halaman yang berjudul "Pengembangan Kombinasi Obat Baru untuk Penanganan COVID 19 di Indonesia". "Saya mempertanyakan prosedur risetnya, dari uji sel sampai uji klinis ke manusia," ucapnya. "Tapi orang juga mempertanyakan kenapa (kerja sama dengan) BIN?" Naskah presentasi itu memang tak mencantumkan detail prosedur riset yang dilakukan Unair.

Kritik juga datang dari guru besar farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zullies Ikawati. Zullies mengkritik hasil riset itu melalui kanal YouTube miliknya pada Senin, 17 Agustus lalu. Dia mempertanyakan ketaatan pada protokol uji klinis, juga soal pengacakan subyek, efektivitas obat, dan transparansi informasi hasil penelitian. "Katanya menguji tiga regiment, tapi di bahan presentasi itu ada lima kelompok yang diuji," tuturnya kepada Tempo. Ihwal karakteristik subyek, yaitu pasien ringan-sedang-berat seperti dalam protokol uji klinis, Zullies melanjutkan, tidak disebutkan berapa jumlah masing-masing dan sebarannya di kelompok. Zullies juga mendengar ada orang tanpa gejala (OTG) yang menjadi subyek, dan itu membuat kesahihan pengujian dipertanyakan.

Zullies juga mempertanyakan soal publikasi temuan tim Unair. Menurut dia, hasil penelitian bisa dipublikasikan dalam jurnal dalam bentuk tulisan ilmiah. Proses publikasi ini agak lama. Cara kedua, publikasi bisa dilakukan lewat media melalui siaran pers. Tapi materinya harus tepat, tidak harus disampaikan keseluruhan. “Dokumen yang lengkap untuk Badan POM. Untuk masyarakat umum yang poin penting dan critical saja,” katanya. "Saya berprasangka baik. Mungkin dokumen lengkap ada di Badan POM. Yang ke publik mungkin cara nulis-nya banyak bolongnya," Zullies menambahkan.

Ihwal uji klinis obat, Zullies mengatakan umumnya ada tiga fase pengujian dalam penelitian. Fase I dijalankan untuk menguji keamanan obat, yang biasanya diberikan kepada orang sehat. Dalam fase II, obat diberikan kepada orang sakit untuk mencari rentang dosis. Setelah obat terkonfirmasi bagus, baru masuk fase III untuk membandingkannya dengan obat standar. Dalam penelitian obat Unair ini, periset bisa langsung ke fase III karena menggunakan obat yang sudah dipakai dan ada lisensi edar, tinggal dikombinasikan. "Dari bahan penelitian yang tersedia di publik, tidak kelihatan gambaran obat ini lebih bagus dari obat standar. Kalau sama saja, kan, tidak efektif," ujar Zullies.

Bukan hanya peneliti lain yang mempertanyakan ketaatan pada protokol dan efektivitas kombinasi obat ini. Setelah memberikan izin uji klinis, Badan POM melakukan inspeksi. Hasilnya, ada dua temuan kritis atas pelaksanaan uji klinis tim Unair tersebut. Menurut Kepala Badan POM Penny K. Lukito dalam konferensi pers secara daring (online), Rabu, 19 Agustus lalu, dua temuan kritis ini sudah disampaikan kepada peneliti Unair pada 28 Juli lalu.

Salah satu temuan tim inspeksi Badan POM adalah soal pengacakan subyek. Subyek riset harus diacak untuk merepresentasikan populasi yang akan mendapatkan obat. Tim menilai penelitian ini kurang mencerminkan keacakan derajat keparahan penyakit pasien sebagai subyek, yaitu sedang-ringan-berat. "Keacakan itu menentukan validitas riset," ucap Penny. Ia juga menyebutkan soal dugaan pelanggaran protokol uji klinis lain, yaitu ada pasien OTG yang menjadi subyek penelitian. Tim inspeksi juga menemukan pengujian belum menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan dibandingkan dengan pemberian obat standar.

Unair menjawab kritik tersebut. Nasih mengatakan tim sudah menerapkan keacakan subyek. "Subyeknya bukan hanya pasien di Secapa, tapi juga dari sejumlah rumah sakit lain," tuturnya. Subyeknya adalah mereka yang memiliki gejala, yaitu yang masuk kategori ringan-sedang-parah. Dia juga memastikan pasien OTG sudah dikeluarkan dari subyek penelitian. Namun dia mengakui dalam subyeknya itu tidak ada pasien yang punya penyakit jantung. "Kalau itu dianggap kurang, kami bisa menambahkan."

Nasih mengakui bahwa peneliti Unair tidak mempublikasikan hasil risetnya secara detail. "Begitu masuk ke detail, para pihak siap langsung memproduksi dengan menambah beberapa tahap. Jadi kami harus memberikannya kepada yang memberi pekerjaan dulu, BIN dan TNI," katanya. Ia menjelaskan, penelitian itu dibiayai sponsor. Perihal efektivitas kombinasi obat, Unair yakin terhadap hasil kerja tim penelitinya. "Dalam laporan disebutkan hasilnya positif-negatif. Jadi, ketika diberi obat, yang positif jadi negatif. Itu ada datanya dan hasil uji klinisnya," dia menambahkan.

Menurut Nasih, data detail sudah disampaikan kepada TNI AD. Jenderal Andika Perkasa, yang juga menjabat Wakil Ketua Pelaksana Tim Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, lalu menyampaikan hasil akhir penelitian itu ke kantor Badan POM di Jakarta, Rabu, 19 Agustus lalu. Di dalam laporan itu juga ada penjelasan atas pertanyaan tim inspeksi Badan POM. "Kalau memang masih ada beberapa penyempurnaan bahan, tindak lanjut yang harus dilakukan, dengan senang hati akan kami lakukan," ujar Nasih.

Kini bola berada di tangan Badan POM, yang memiliki kewenangan menguji sebelum memberikan izin produksi. "Sangat penting sekali kita melihat impact dari dosis yang dirancang riset ini. Karena ini obat keras, ada efek samping, perlu betul ketaatan pada aspek validitas hasil riset ini," kata Penny Lukito dalam jumpa pers di kantornya setelah menerima laporan uji klinis kombinasi obat Covid-19 dari Andika Perkasa, Rabu, 19 Agustus lalu. "Sekarang bukan masalah cepat-cepatan. Kita berusaha secepat mungkin. Namun aspek validitas jadi prioritas," Penny melanjutkan.

Anggota Komisi Nasional Penilai Obat, Rianto Setiabudi, mengatakan penilaian atas efek samping itu hanya salah satu pertimbangan untuk menolak atau memberikan lisensi obat. Ia mencontohkan obat kanker, yang efek sampingnya membuat rambut rontok, menghilangkan selera makan, dan membuat luka di mana-mana. Obat itu disetujui karena bisa memperpanjang hidup orang sekian bulan atau tahun. Sebab, sering kali efek ini bisa dikurangi atau dimitigasi dengan modifikasi dosis atau konsumsi. "Efek samping itu bukan satu-satunya faktor untuk menolak memberikan lisensi obat," ucapnya saat mendampingi Penny Lukito. "Kita harus berpikir luas."

ABDUL MANAN, AHMAD FAIZ 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus