ADA setumpukan buku setebal 100 halaman folio mulai dimakan
rayap di gedung kantor Perwakilan Departemen P & K Sulawesi
Tengah di Palu. Judulnya: "Kekerabatan bahasa-bahasa di Sulawesi
Tengah". Cetakan stensil itu ditulis oleh Masyhuddin Mashuda
B.A. dan kawan-kawan, kelimanya staf teras Perwakilan P & K di
sana.
Itulah hasil pra-survai keliling desadesa Sul-Teng selama 4
bulan yang dilakukan oleh kelima budayawan Palu itu dengan
bantuan Gubernur Tambunan. Tapi kalau memang sudah begitu banyak
jerih-payah yang keluar, mengapa tumpukan buku stensilan itu
kini diterlantarkan?
Koresponden TEMPO Husni Alatas - beberapa hari sebelum ia
meningg&l yang tertarik pada hal itu, memperoleh jawaban bahwa
LIPI di Jakarta"masih ragu" terhadap hasil penyelidikan itu.
LIPI memanggil Masyhuda ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan
isi buku itu. Soalnya kesimpulan pra-survai yang sudah
diterbitkan itu, bertolak-belakang dengan anggapan yang sudah
lama hidup di kalangan ahli-ahli bahasa Sulawesi. Makanya untuk
sementara, atas permintaan LIPI, buku sederhana dengan 25 daftar
kepustakaan itu "diberangus dulu". Begitu keterangan orang-orang
P & K di sana pada Husni.
Kelima budayawan Palu itu dalam buku mereka itu menolak anggapan
bahwa bahasa-bahasa daerah Sulawesi Tengah termasuk dalam bahasa
induk Toraja (Sulawesi Selatan). Pendapat yang ditentang adalah
pendapat para sarjana Belanda yang menyelidiki hubungan antara
bahasa-bahasa Sulawesi Tengah dengan bahasa Toraja di masa
penjajahan. Di antaranya N.A. Adriani, S.J. Eser, dan Richard
Salzner. Juga A. C. Kruyt, seorang antropolog perintis yang
masuk ke Sul-Teng mendahului penjajahan Belanda dalam tahun
1905.
Pendapat ahli-ahli Belanda itu juga dikaitkan dengan persamaan
tata-cara berpakaian serta arsitektur tradisionil Sul-Teng.
Seperti juga tradisi yang hidup di kalangan masyarakat Toraja,
orang Sul-Teng juga membangun rumah adatnya menghadap ke Utara.
Makanya secara antropologis pun masyarakat Sul-Teng pun dianggap
termasuk dalam kelompok masyarakat Toraja.
Namun dengan menggunakan teknik perbandingan lexicostatistik,
Masyhuda dkk membuktikan bahwa anggapan para ahli Belanda itu
tidak benar. Metode itu maksudnya adalah membandinkan sejumlah
kata dasar yang bermakna sama, dan dari prosentasenya secara
statistik mengukur perkerabatan di antara beberapa (kelompok)
bahasa. Sebagai patokan penguji, diam 100 kata bahasa Indonesia
yang awet. Ternyata, kelima ahli linguistik Sulawesi Tengah
menemukan selisih perbedaan antara bahasa-bahasa daerah Sulawesi
Tengah dengan bahasa Toraja "lebih dari 10%". Padahal, menurut
teori sarjana Amerika Dyen yang mengembangkan metode
lexicostatistik itu, selisih dua bahasa yang sekelompok tak
boleh melebihi 10%. Lebih dari itu, kedua bahasa itu tidak
termasuk satu kelompok.
Berdasarkan penyelidikan itu, Masyhuda dkk mengusulkan suatu
nama sendiri untuk kelompok bahasa-bahasa daerah Sulawesi
Tengah, yaitu kelompok "Kaili Pamona". Nama itu merupakan
gabungan bagi kelima bahasa daerah yang ada di sana. Yakni
bahasa Kaili yang digunakan orang dari Palu sampai danau Lindu,
bahasa Pipikoro, bahasa Bada di daerah Bada yang terkenal karena
penemuan-penemuan megalitiknya, bahasa Napu, dan bahasa Pamona
di kabupaten Poso. Sedang bahasa yang paling banyak pembicaranya
di Sul-Teng adalah bahasa Kaili dan Pamona.
"Dari 100 istilah yang kami selidiki, hanya 35% yang berkerabat
dengan bahasa Toraja", ujar Masyhuddin Masyhuda. Juga secara
linguistik dibuktikan bahwa berbeda dengan bahasa Toraja yang
non-vocalis, bahasa-bahasa "Kaili Pamona" justru termasuk bahasa
vocalis. Artinya, kaya huruf hidupnya.
Berdasarkan berbagai penemuan itu mereka menyimpulkan bahwa
bahasa Toraja tidak sekelompok dengan bahasabahasa daerah
Sulawesi Tengah. Bahasa Toraja menurut mereka, bahkan tidak
sampai menyeberang perbatasan Sul-Sel/Sul-Teng dan hanya
berlokasi di daerah Seko, Rongkong, Toraja Timur, Wotu, Kesu,
Pitu-uluna Salu, Mamasa, Tollu Lembangna, Duri dan Enrekang,
yang semuanya masih terletk di propinsi Sulawesi Selatan.
Jika hasil penyelidikan itu dapat di pertanggungjawabkan,
penemuan itu memang besar artinya. Sebab sampai sekarang hasil
penyelidikan Adriani dkk masih banyak penganutnya di Sulawesi
Tengah. Bahkan buku-buku terbitan pemda Sul-Teng sendiri, untuk
pavilyunnya di Taman Mini Jakarta pun masih mengutip pendapat
sarjana Belanda itu, yang menyebut bahasa-bahasa daerah Sulawesi
Tengah sebagai beberapa logat Toraja semata-mata.
Kalangan LIPI di Jakarta yang dihubungi untuk mencek kebenaran
laporan Husni Alatas itu, umumnya tak dapat memberikan jawaban.
Drs S. Effendi Kepala Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Daerah
Pusat Bahasa Nasional di jalan Diponegoro hanya mengangkat bahu.
Penelitian semacam itu, "rencananya baru tahun depan", katanya
pada wartawan TEMPO Said Muchsin. Begitu pula jawaban Dr EKM
Masinambo, ahli bahasa dari Leknas/LlPI yang ditemui TEMPO di
rumahnya. Dr Masinambo sendiri justru sangat tertarik pada riset
Masyhuda, walaupun dia masih meragukan keampuhan metode
lexikostatistik yang digunakan sarjana dari Palu itu.
Makan
Kata Masinambo: "Kata-kata dasar ada yang sukar diganti, seperti
kayu, batu, makan dan lapar". Disebut kata dasar, sebab setiap
orang selalu mengalaminya. Baru kalau dalam satu bahasa ada
benda baru yang belum ada istilahnya, diimpor kata dari bahasa
asing. Menurut Masinambo, jumlah kata dasar ada 00 di seluruh
dunia dan paling sedikit 100. Jumlah 100 kata dasar itulah yang
biasanya digunakan sebagai patokan analisa perbandingan bahasa.
Sebagai ilustrasi, Masinambo mengambil contoh perbandingan
antara bahasa Jawa dan Sunda. Kalau 100 kata dasar dari kedua
bahasa itu 100% sama, maka kedua suku bangsa itu dinilai punya
kesamaan bahasa. Dan kalau 90 yang sama dinilai ada "sedikit
perbedaan". Begitulah seterusnya. Namun apa sebenarnya yang sama
dan yang berbeda?
Istilah makan (bahasa Indonesia dari bahasa Melayu) dan istilah
kuman (bahasa Dayak) kedengarannya berbeda. Tapi artinya toh
sama. Perbedaan timbul karena akar kata kan mendapat sisipan um
dalam bahasa Dayak, dan awalan ma dalam bahasa Melayu. Makanya
menurut Masinambo membandingkan 100 kata dasar "tidaklah mudah".
"Masih banyak hal lain yang harus diteliti lebih lanjut. Sebab
menRgunakall metode lexikostatistik saja, belum tentu benar",
katanya menambahkan.
Mungkin saja penelitian Masyhuda dkk lebih banyak didorong oleh
usaha mencari identitas sendiri bagi orang-orang Sulawesi
Tengah. Namun kegiatan di Palu itu perlu juga dicatat - tentu
ada gunanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini