Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Logat toraja, atau bukan ?

5 staf p dan k di palu, masyhuddin mashuda dkk, meno lak pendapat ahli belanda yang mengatakan bahasa2 daerah sul-teng termasuk dalam bahasa toraja. hasil penelitian mereka dibrangus oleh lipi. (ilt)

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA setumpukan buku setebal 100 halaman folio mulai dimakan rayap di gedung kantor Perwakilan Departemen P & K Sulawesi Tengah di Palu. Judulnya: "Kekerabatan bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah". Cetakan stensil itu ditulis oleh Masyhuddin Mashuda B.A. dan kawan-kawan, kelimanya staf teras Perwakilan P & K di sana. Itulah hasil pra-survai keliling desadesa Sul-Teng selama 4 bulan yang dilakukan oleh kelima budayawan Palu itu dengan bantuan Gubernur Tambunan. Tapi kalau memang sudah begitu banyak jerih-payah yang keluar, mengapa tumpukan buku stensilan itu kini diterlantarkan? Koresponden TEMPO Husni Alatas - beberapa hari sebelum ia meningg&l yang tertarik pada hal itu, memperoleh jawaban bahwa LIPI di Jakarta"masih ragu" terhadap hasil penyelidikan itu. LIPI memanggil Masyhuda ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan isi buku itu. Soalnya kesimpulan pra-survai yang sudah diterbitkan itu, bertolak-belakang dengan anggapan yang sudah lama hidup di kalangan ahli-ahli bahasa Sulawesi. Makanya untuk sementara, atas permintaan LIPI, buku sederhana dengan 25 daftar kepustakaan itu "diberangus dulu". Begitu keterangan orang-orang P & K di sana pada Husni. Kelima budayawan Palu itu dalam buku mereka itu menolak anggapan bahwa bahasa-bahasa daerah Sulawesi Tengah termasuk dalam bahasa induk Toraja (Sulawesi Selatan). Pendapat yang ditentang adalah pendapat para sarjana Belanda yang menyelidiki hubungan antara bahasa-bahasa Sulawesi Tengah dengan bahasa Toraja di masa penjajahan. Di antaranya N.A. Adriani, S.J. Eser, dan Richard Salzner. Juga A. C. Kruyt, seorang antropolog perintis yang masuk ke Sul-Teng mendahului penjajahan Belanda dalam tahun 1905. Pendapat ahli-ahli Belanda itu juga dikaitkan dengan persamaan tata-cara berpakaian serta arsitektur tradisionil Sul-Teng. Seperti juga tradisi yang hidup di kalangan masyarakat Toraja, orang Sul-Teng juga membangun rumah adatnya menghadap ke Utara. Makanya secara antropologis pun masyarakat Sul-Teng pun dianggap termasuk dalam kelompok masyarakat Toraja. Namun dengan menggunakan teknik perbandingan lexicostatistik, Masyhuda dkk membuktikan bahwa anggapan para ahli Belanda itu tidak benar. Metode itu maksudnya adalah membandinkan sejumlah kata dasar yang bermakna sama, dan dari prosentasenya secara statistik mengukur perkerabatan di antara beberapa (kelompok) bahasa. Sebagai patokan penguji, diam 100 kata bahasa Indonesia yang awet. Ternyata, kelima ahli linguistik Sulawesi Tengah menemukan selisih perbedaan antara bahasa-bahasa daerah Sulawesi Tengah dengan bahasa Toraja "lebih dari 10%". Padahal, menurut teori sarjana Amerika Dyen yang mengembangkan metode lexicostatistik itu, selisih dua bahasa yang sekelompok tak boleh melebihi 10%. Lebih dari itu, kedua bahasa itu tidak termasuk satu kelompok. Berdasarkan penyelidikan itu, Masyhuda dkk mengusulkan suatu nama sendiri untuk kelompok bahasa-bahasa daerah Sulawesi Tengah, yaitu kelompok "Kaili Pamona". Nama itu merupakan gabungan bagi kelima bahasa daerah yang ada di sana. Yakni bahasa Kaili yang digunakan orang dari Palu sampai danau Lindu, bahasa Pipikoro, bahasa Bada di daerah Bada yang terkenal karena penemuan-penemuan megalitiknya, bahasa Napu, dan bahasa Pamona di kabupaten Poso. Sedang bahasa yang paling banyak pembicaranya di Sul-Teng adalah bahasa Kaili dan Pamona. "Dari 100 istilah yang kami selidiki, hanya 35% yang berkerabat dengan bahasa Toraja", ujar Masyhuddin Masyhuda. Juga secara linguistik dibuktikan bahwa berbeda dengan bahasa Toraja yang non-vocalis, bahasa-bahasa "Kaili Pamona" justru termasuk bahasa vocalis. Artinya, kaya huruf hidupnya. Berdasarkan berbagai penemuan itu mereka menyimpulkan bahwa bahasa Toraja tidak sekelompok dengan bahasabahasa daerah Sulawesi Tengah. Bahasa Toraja menurut mereka, bahkan tidak sampai menyeberang perbatasan Sul-Sel/Sul-Teng dan hanya berlokasi di daerah Seko, Rongkong, Toraja Timur, Wotu, Kesu, Pitu-uluna Salu, Mamasa, Tollu Lembangna, Duri dan Enrekang, yang semuanya masih terletk di propinsi Sulawesi Selatan. Jika hasil penyelidikan itu dapat di pertanggungjawabkan, penemuan itu memang besar artinya. Sebab sampai sekarang hasil penyelidikan Adriani dkk masih banyak penganutnya di Sulawesi Tengah. Bahkan buku-buku terbitan pemda Sul-Teng sendiri, untuk pavilyunnya di Taman Mini Jakarta pun masih mengutip pendapat sarjana Belanda itu, yang menyebut bahasa-bahasa daerah Sulawesi Tengah sebagai beberapa logat Toraja semata-mata. Kalangan LIPI di Jakarta yang dihubungi untuk mencek kebenaran laporan Husni Alatas itu, umumnya tak dapat memberikan jawaban. Drs S. Effendi Kepala Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Daerah Pusat Bahasa Nasional di jalan Diponegoro hanya mengangkat bahu. Penelitian semacam itu, "rencananya baru tahun depan", katanya pada wartawan TEMPO Said Muchsin. Begitu pula jawaban Dr EKM Masinambo, ahli bahasa dari Leknas/LlPI yang ditemui TEMPO di rumahnya. Dr Masinambo sendiri justru sangat tertarik pada riset Masyhuda, walaupun dia masih meragukan keampuhan metode lexikostatistik yang digunakan sarjana dari Palu itu. Makan Kata Masinambo: "Kata-kata dasar ada yang sukar diganti, seperti kayu, batu, makan dan lapar". Disebut kata dasar, sebab setiap orang selalu mengalaminya. Baru kalau dalam satu bahasa ada benda baru yang belum ada istilahnya, diimpor kata dari bahasa asing. Menurut Masinambo, jumlah kata dasar ada 00 di seluruh dunia dan paling sedikit 100. Jumlah 100 kata dasar itulah yang biasanya digunakan sebagai patokan analisa perbandingan bahasa. Sebagai ilustrasi, Masinambo mengambil contoh perbandingan antara bahasa Jawa dan Sunda. Kalau 100 kata dasar dari kedua bahasa itu 100% sama, maka kedua suku bangsa itu dinilai punya kesamaan bahasa. Dan kalau 90 yang sama dinilai ada "sedikit perbedaan". Begitulah seterusnya. Namun apa sebenarnya yang sama dan yang berbeda? Istilah makan (bahasa Indonesia dari bahasa Melayu) dan istilah kuman (bahasa Dayak) kedengarannya berbeda. Tapi artinya toh sama. Perbedaan timbul karena akar kata kan mendapat sisipan um dalam bahasa Dayak, dan awalan ma dalam bahasa Melayu. Makanya menurut Masinambo membandingkan 100 kata dasar "tidaklah mudah". "Masih banyak hal lain yang harus diteliti lebih lanjut. Sebab menRgunakall metode lexikostatistik saja, belum tentu benar", katanya menambahkan. Mungkin saja penelitian Masyhuda dkk lebih banyak didorong oleh usaha mencari identitas sendiri bagi orang-orang Sulawesi Tengah. Namun kegiatan di Palu itu perlu juga dicatat - tentu ada gunanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus