Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Yang Tidak Dibilang Dalam Kampanye

Ada masalah penting yang tak diceritakan oleh Mas Sartonol (bukan nama sebenarnya) tentang keruwetan di balik kesibukan kampanye. Dan ia sadar akan fal-safahnya: politik merupakan pencerminan kebudayaan.

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang Dibilang POLITIK itu kan merupakan pencerminan kebudayaan saja to mas, tangkis mas Sartono (bukan nama dia) waktu ia digugat tentang mutu kampanyenya. Cobalah ingat dan perhatikan hubungan orang Indonesia dalam keluarga sebagai perbandingan, katanya. Orang tua, kalau mau jual pendapat atau memaksakan kehendak kepada anak, bukankah mereka suka pula membodohi, membohongi, menakut-nakuti, membuat janji-janji atau bagi yang suka tak sabaran, malah memaksa dengan kekerasan. Bahkan bila perlu anak yang bandel digebugi. Orang kebanyakan lazimnya tidak sabar menjelaskan kenapa anak mesti begini atau begitu. Kadang-kadang mereka sendiri sungguh mati, juga tidak tahu kenapa anaknya diharuskan menuruti maunya orang tua. Karena itu, kalau mereka harus mengikuti aturan baru yang lain dari kelaziman itu tidak mustahil akan ditemui penyimpangan dan "pelanggaran-pelanggaran". Begitu pula tuntutan yangmuluk-muluk terhadap perilaku politik, termasuk kampanye, bisa tidak berpijak pada realitas tata nilai yang berlaku di masyarakat kita. Tentu saja di dalam masyarakat kita ada norma-norma tatakrama. Ngomongin jahat temannya, tidak boleh. Lempar baru sembunyi tangan, tidak ksatria. Berbohong itu dosa dan sebagainya. Tetapi seperti juga kenyataan yang hidup dalam masyarakat ada nilai yang ketat dipatuhi, ada pula yang dianggap longgar ikatannya. Karena itu melanggar tatakrama bukan sesuatu yang luar biasa dalam masyarakat manapun. Tukang dagang yang bersumpah rugi, tukang dongeng yang ngarang siksa kubur secara ngawur, dan banyak lagi ragam pelanggaran tatakrama yang terjadi di masyarakat, sejak sebelum kampanye. Nah, kalau kita bikin aturan penilaian baru, yang tidak memperhatikan kenyataan ini, hasilnya bisa sangat mengecewakan. Soal pendidikan politik, tentu saja mas Sartono maklum. Karena ia pun bekas guru. Ia paham benar bagaimana beda pendidikan di Sekolah Dasar dan di Perguruan Tinggi. Di sekolah Dasar ia menganggap tepat bila ia sampaikan pesan dan keterangan sambil berpantun, bercokcok galecok atau memperagakan Petruk jadi ratu. Kadang-kadang perlu pula didatangkan tukang sulap, dagelan atau ondel-ondel. Sebelum turun kampanye mas Sartono sudah bikin perhitungan. Ia tengok statistik calon pemilih, tingkat pendidikan, kegemaran, pekerjaan dan semua corak sosial budayanya. Pokoknya, apapun kata orang tentang kampanye kemarin, mas Sartono sudah yakin betul cara yang ia tempuh itu adalah yang paling tepat dalam situasi dan kondisi sekarang. Yang Tidak Dibilang Ada masalah penting yang tidak diceritakan oleh mas Sartono tentang keruwetan di balik kesibukan kampanye. Sebagai politisi yang masih punya sisa-sisa common sense, sesungguhnya ia ingin agar wakil-wakil yang terpilih nanti terdiri dari kader-kader yang terbaik. Tetapi dalam soal inipun ia dimakan oleh falsafahnya sendiri bahwa: politik adalah penceminan kebudayaan tadi. Waktu itu, bermalam-malam ia bersama teman-temannya mengotak-atik daftar jago dan labonnya untuk dipilih yang pantas diajukan sebagai calon. Tetapi sekali kali mereka hendak menetapkan pilihannya, selalu pula muncul faktor X. Ada isteri pak Anu yang mogok total, sampai suaminya mengerahkan wibawa supaya sang nyonya masuk daftar calon. Ada adik ipar Kyai Z yang diberhentikan sebagai guru agama, sedang ia harus menghidupi isteri dan sembilan anaknya. Ada pensiunan pegawai yang masih kebelet penting biarpun tidak dikcnal pemilih. Ada kadernya yang jempolan, tetapi menurut wasit harus dipasang sebagai pemain cadangan saja Dan segerobak faktor X yang macam-macam lagi. Walhasil, daftar calon yang berhasil disusun juga mencerminkan taraf kebudayaan masyarakat yang nyata itu. Apa boleh buat. Soalnya sekarang dengan materi calon hasil berbagai "penyesuaian" itu, apa yang maksimal bisa dicapai di lembaga perwakilan nanti. Mas Sartono memang ulet. Ia digembleng untuk jadi politisi beneran. Segala taktik ia kembangkan. Dengan penuh semangat, pengertian dan akal sehat. Jangan Biiang-Bilang Menjelang akhir kampanye itu pun ia berfikir, retrospect. Tetapi ia tidak bilang siapa-siapa tentang soal yang satu ini. Dengan materi calon seperti itu, sesungguhnya merisaukan buat apa mesti repot-repot mencari suara banyak. Karena ia tahu kalau terpilih, sebagian dari jagonya itupun hanya bisa dirnainkan sebagai pupuk bawang saja di lembaga perwakilan. Makin banyak suara diperoleh dalam Pemilu bakalan makin repot untuk mengatur kawan-kawannya itu. Apalagi kalau ada yang nanti suka ngaco. Mendinga kalau mereka yang ikut main jamuran itu nanti bisa disetel: "setujuuuuuuu . . . " dan "cukuuuuuuup..." saja. Tetapi lalu ia sekali lagi ingat kembali falsafahnya tentang politik adalah pencerminan kebudayaan tadi. Salah satu warisan kebudayaan nenek moyang kita adalah gotong royong dan musyawarah untuk mufakat. Selama ini secara konsekwen azas ini dipedomani betul-betul. Di lembaga perwakilan tidak ada pemungutan suara, walaupun sesungguhnya kemungkinan itu terbuka. Tidak ada kecongkaan mayoritas, atau kerewelan minoritas. Maunya, demokrasi persaudaraan alias demokrasi kekeluargaan ditegakkan benar-benar. Lalu siasat apa yang dapat ditempuh dalam iklim kebudayaan demikian. Tentu siasat kenduri akan tepat, tiba-tiba muncul gagasan orisinil mas Sartono! Karena itu mulai sekarang perlu direka-reka siapa-siapa calon terpilih yang pantas dipasang sebagai tukang berpantun, penyampai tujuan hajatan, siapa jadi lebai pembaca doa sapa membagi berkat ian siapa tukang buka dan gulung tikar Slsanya cukup dan harus mau jadi tukang amien saja. Sebab, kalau ada beberapa orang yang tak bisa menahan diri, lalu rame-rame nyela turut baca doa pula, kenduri bakalan bisa adi kacau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus