Yang Dibilang
POLITIK itu kan merupakan pencerminan kebudayaan saja to mas,
tangkis mas Sartono (bukan nama dia) waktu ia digugat tentang
mutu kampanyenya.
Cobalah ingat dan perhatikan hubungan orang Indonesia dalam
keluarga sebagai perbandingan, katanya. Orang tua, kalau mau
jual pendapat atau memaksakan kehendak kepada anak, bukankah
mereka suka pula membodohi, membohongi, menakut-nakuti, membuat
janji-janji atau bagi yang suka tak sabaran, malah memaksa
dengan kekerasan. Bahkan bila perlu anak yang bandel digebugi.
Orang kebanyakan lazimnya tidak sabar menjelaskan kenapa anak
mesti begini atau begitu. Kadang-kadang mereka sendiri sungguh
mati, juga tidak tahu kenapa anaknya diharuskan menuruti maunya
orang tua.
Karena itu, kalau mereka harus mengikuti aturan baru yang lain
dari kelaziman itu tidak mustahil akan ditemui penyimpangan dan
"pelanggaran-pelanggaran". Begitu pula tuntutan yangmuluk-muluk
terhadap perilaku politik, termasuk kampanye, bisa tidak
berpijak pada realitas tata nilai yang berlaku di masyarakat
kita. Tentu saja di dalam masyarakat kita ada norma-norma
tatakrama. Ngomongin jahat temannya, tidak boleh. Lempar baru
sembunyi tangan, tidak ksatria. Berbohong itu dosa dan
sebagainya.
Tetapi seperti juga kenyataan yang hidup dalam masyarakat ada
nilai yang ketat dipatuhi, ada pula yang dianggap longgar
ikatannya. Karena itu melanggar tatakrama bukan sesuatu yang
luar biasa dalam masyarakat manapun.
Tukang dagang yang bersumpah rugi, tukang dongeng yang ngarang
siksa kubur secara ngawur, dan banyak lagi ragam pelanggaran
tatakrama yang terjadi di masyarakat, sejak sebelum kampanye.
Nah, kalau kita bikin aturan penilaian baru, yang tidak
memperhatikan kenyataan ini, hasilnya bisa sangat mengecewakan.
Soal pendidikan politik, tentu saja mas Sartono maklum. Karena
ia pun bekas guru. Ia paham benar bagaimana beda pendidikan di
Sekolah Dasar dan di Perguruan Tinggi. Di sekolah Dasar ia
menganggap tepat bila ia sampaikan pesan dan keterangan sambil
berpantun, bercokcok galecok atau memperagakan Petruk jadi ratu.
Kadang-kadang perlu pula didatangkan tukang sulap, dagelan atau
ondel-ondel.
Sebelum turun kampanye mas Sartono sudah bikin perhitungan. Ia
tengok statistik calon pemilih, tingkat pendidikan, kegemaran,
pekerjaan dan semua corak sosial budayanya. Pokoknya, apapun
kata orang tentang kampanye kemarin, mas Sartono sudah yakin
betul cara yang ia tempuh itu adalah yang paling tepat dalam
situasi dan kondisi sekarang.
Yang Tidak Dibilang
Ada masalah penting yang tidak diceritakan oleh mas Sartono
tentang keruwetan di balik kesibukan kampanye. Sebagai politisi
yang masih punya sisa-sisa common sense, sesungguhnya ia ingin
agar wakil-wakil yang terpilih nanti terdiri dari kader-kader
yang terbaik. Tetapi dalam soal inipun ia dimakan oleh
falsafahnya sendiri bahwa: politik adalah penceminan kebudayaan
tadi.
Waktu itu, bermalam-malam ia bersama teman-temannya
mengotak-atik daftar jago dan labonnya untuk dipilih yang
pantas diajukan sebagai calon. Tetapi sekali kali mereka hendak
menetapkan pilihannya, selalu pula muncul faktor X. Ada isteri
pak Anu yang mogok total, sampai suaminya mengerahkan wibawa
supaya sang nyonya masuk daftar calon. Ada adik ipar Kyai Z yang
diberhentikan sebagai guru agama, sedang ia harus menghidupi
isteri dan sembilan anaknya. Ada pensiunan pegawai yang masih
kebelet penting biarpun tidak dikcnal pemilih. Ada kadernya yang
jempolan, tetapi menurut wasit harus dipasang sebagai pemain
cadangan saja Dan segerobak faktor X yang macam-macam lagi.
Walhasil, daftar calon yang berhasil disusun juga mencerminkan
taraf kebudayaan masyarakat yang nyata itu. Apa boleh buat.
Soalnya sekarang dengan materi calon hasil berbagai
"penyesuaian" itu, apa yang maksimal bisa dicapai di lembaga
perwakilan nanti. Mas Sartono memang ulet. Ia digembleng untuk
jadi politisi beneran. Segala taktik ia kembangkan. Dengan penuh
semangat, pengertian dan akal sehat.
Jangan Biiang-Bilang
Menjelang akhir kampanye itu pun ia berfikir, retrospect. Tetapi
ia tidak bilang siapa-siapa tentang soal yang satu ini. Dengan
materi calon seperti itu, sesungguhnya merisaukan buat apa mesti
repot-repot mencari suara banyak. Karena ia tahu kalau terpilih,
sebagian dari jagonya itupun hanya bisa
dirnainkan sebagai pupuk bawang saja di lembaga perwakilan.
Makin banyak suara diperoleh dalam Pemilu bakalan makin repot
untuk mengatur kawan-kawannya itu. Apalagi kalau ada yang nanti
suka ngaco. Mendinga kalau mereka yang ikut main jamuran itu
nanti bisa disetel: "setujuuuuuuu . . . " dan "cukuuuuuuup..."
saja.
Tetapi lalu ia sekali lagi ingat kembali falsafahnya tentang
politik adalah pencerminan kebudayaan tadi. Salah satu warisan
kebudayaan nenek moyang kita adalah gotong royong dan musyawarah
untuk mufakat. Selama ini secara konsekwen azas ini dipedomani
betul-betul. Di lembaga perwakilan tidak ada pemungutan suara,
walaupun sesungguhnya kemungkinan itu terbuka. Tidak ada
kecongkaan mayoritas, atau kerewelan minoritas. Maunya,
demokrasi persaudaraan alias demokrasi kekeluargaan ditegakkan
benar-benar.
Lalu siasat apa yang dapat ditempuh dalam iklim kebudayaan
demikian. Tentu siasat kenduri akan tepat, tiba-tiba muncul
gagasan orisinil mas Sartono!
Karena itu mulai sekarang perlu direka-reka siapa-siapa calon
terpilih yang pantas dipasang sebagai tukang berpantun,
penyampai tujuan hajatan, siapa jadi lebai pembaca doa sapa
membagi berkat ian siapa tukang buka dan gulung tikar Slsanya
cukup dan harus mau jadi tukang amien saja. Sebab, kalau ada
beberapa orang yang tak bisa menahan diri, lalu rame-rame nyela
turut baca doa pula, kenduri bakalan bisa adi kacau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini