Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAHASISWA Departemen Teknik Infrastruktur Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Muhammad Arif Billah, berinovasi menciptakan rumah garam bertenaga surya atau Smart House Salt Maker Tenaga Solar Cell. Ide ini dipicu fakta bahwa kualitas garam lokal belum dapat memenuhi kebutuhan dunia industri. Ia juga ingin inovasinya itu mendorong swasembada garam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Arif, inovasi yang diberi nama SHASA itu memungkinkan produksi garam lokal terus berkelanjutan dan tidak terpengaruh iklim dan cuaca. Sebab, selama ini petani garam sering terhambat cuaca hujan. Penyebabnya, pembuatan garam memang hanya dapat dilakukan pada musim panas atau saat cuaca cerah. "Dengan inovasi ini, produksi garam tetap berjalan meskipun cuaca hujan," ujar Arif, Selasa, 9 Maret 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inovasi yang dihasilkan oleh mahasiswa kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, 14 Juli 2002, itu berupa bangunan setengah lingkaran di atas kolam garam. Dindingnya dari kaca plastik, sedangkan kolam garam ditutup menggunakan pelat hitam transparan. Di luar bangunan dipasangi panel surya untuk menggerakkan peranti di dalam rumah garam tersebut.
Di dalam bangunan terdapat kotak kendali yang memiliki aki untuk menyimpan energi dari panel surya yang dibutuhkan untuk menyalakan lampu pemanas. Lampu itu dikontrol oleh arduino serta terhubung ke lima sensor (cahaya, salinitas, suhu dan kelembapan, serta hujan) yang berfungsi untuk mendeteksi cuaca di sekitarnya. "Sensor itu juga untuk mengendalikan sistem pintu rumah garam," tutur mahasiswa yang aktif dalam Tim Penalaran ITS itu.
Pintu rumah garam berfungsi mengontrol keluar-masuknya air, khususnya saat musim hujan dan cuaca buruk. Saat ada air laut masuk, dan pintu rumah garam terbuka, sistem pemanas yang dikendalikan ardunio akan bekerja mengolah garam. Dengan begitu, air tua atau air jenuh dari laut tetap bisa diproses. Alhasil produksi garam pun tak mengenal musim. "Karena, meskipun musim hujan, produksi garam tetap bisa dilakukan secara maksimal," ucapnya.
Menurut hitungan Arif, biaya secara keseluruhan untuk membuat alat ini lebih murah dibanding jumlah garam yang bisa dihasilkan. Misalnya kolam berukuran 7 x 8 meter persegi diperkirakan mampu menghasilkan garam sebanyak 500 kilogram. "Jika harga garam di kisaran Rp 500 per kilogram, untung yang dihasilkan lebih banyak," katanya.
Inovasi ini sudah disimulasikan di Banyuwangi. Hasilnya cukup memuaskan. Selain tak pernah rewel, pengecekan alat-alat sensor hanya dilakukan dua tahun sekali. Namun Arif mengakui bahwa pengadaan alat-alat tersebut tak murah untuk ukuran petani garam. "Bila ada pemangku kepentingan yang mendukung pengembangannya, biaya pengadaannya bisa lebih murah," tuturnya.
Arif sengaja memilih Banyuwangi sebagai tempat simulasi karena cuaca dan iklimnya cocok dijadikan lahan garam. Apalagi curah hujan di Banyuwangi juga tergolong tinggi. Ia berharap pemerintah dan pihak swasta melirik gagasannya tersebut dan bersedia mendanai pengembangannya.
Ide soal rumah garam ini membuat Arif meraih medali perak dalam Online National Essay Competition yang diselenggarakan oleh Indonesian Young Scientist Association Sumatera, Januari lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo