Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dandan Hindayana mengusulkan pemanfaatan serangga sebagai menu Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Usulan ini berangkat dari daerah tertentu yang menjadikan serangga seperti belalang dan ulat sagu sebagai sumber protein.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) Lailatul Muniroh memberikan pandangannya mengenai potensi dan tantangan implementasi dari usulan Kepala BGN tersebut. Laila menyebutkan ada beberapa faktor yang harus menjadi pertimbangan dalam mengadopsi serangga sebagai menu MBG.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari segi gizi, dia menuturkan, serangga memang memiliki kandungan protein yang tinggi. Namun, tantangan utama justru datang dari aspek budaya, psikologis, dan keamanan pangan.
Dikutip dari keterangan tertulis pada hari ini, Jumat 7 Februari 2025, Laila menyatakan bahwa memang ada beberapa daerah yang terbiasa dengan konsumsi serangga. Artinya konsumsi serangga bisa diterima oleh kelompok masyarakat tertentu. "Namun, tidak semua daerah menganggap serangga sebagai edible food,” katanya.
Dia juga menjelaskan bahwa kandungan gizi dalam serangga per 100 gram memiliki kadar protein yang lebih tinggi daripada daging sapi dan ayam. Serangga juga disebutnya kaya akan asam amino esensial dan asam lemak tak jenuh seperti Omega 3 dan Omega 6. Tetapi, dia menambahan, "Penting untuk digarisbawahi bahwa diperlukan jumlah serangga yang besar untuk memenuhi kebutuhan protein tersebut.”
Menurut Laila, perlu diingat juga bahwa penerimaan masyarakat masih menjadi tantangan. Sehingga inovasi dalam pengolahan serangga dibutuhkan agar masyarakat bisa menerima. Misalnya dalam bentuk tepung protein serangga yang dapat diolah menjadi berbagai makanan atau produk olahan lainnya.
Selain itu, Laila juga menjelaskan standar keamanan dan regulasi pangan pada serangga sebagai bahan makanan. Undang-undang pangan yang ada saat ini belum memberi penjelasan detail terkait serangga, termasuk bagaimana memastikan keamanan pangannya. Baru ada Peraturan Kepala BPOM Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pangan Olahan yang mengandung bahan pangan baru.
Hal tersebut, kata Laila, menjelaskan bahwa produk berbasis serangga perlu melalui evaluasi BPOM sebelum diizinkan untuk beredar sebagai makanan. Laila juga menyinggung potensi alergi dan keamanan konsumsi serangga. "Karena Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan tidak memberikan penjelasan terkait serangga sebagai komoditas pangan," katanya lagi.
Laila berharap pemerintah dapat menyusun regulasi yang jelas mengenai konsumsi serangga. Termasuk juga mengedukasi masyarakat tentang manfaatnya, serta berinovasi dalam mengembangkan produk berbasis serangga.
Selain itu, mendukung ekosistem budi daya serangga skala UMKM, menurut dia, juga dapat membantu penyediaan bahan baku yang berkelanjutan. “Jangan sampai program MBG ini hanya sekadar program bagi-bagi makanan,” kata dia.