Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALAH satu masalah yang kerap dihadapi nelayan kecil adalah mempertahankan kesegaran tangkapan sampai mereka tiba di pelabuhan. Selama ini, kerap terjadi tangkapan itu tak segar lagi atau malah membusuk karena perjalanan pulang yang memakan waktu berjam-jam. Enam mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia berusaha memberi solusi atas masalah itu melalui inovasi berupa Fishrage (Fish Storage), kotak portabel penyimpanan ikan berbasis zeolite dengan metode pendinginan absorpsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adinda Diva Sugiarto, salah satu anggota tim pencipta Fishrage, mengatakan ide awal inovasi ini dipicu oleh temuan kakak kelas mereka soal sistem pendingin untuk kotak vaksin. Ia dan kawan-kawannya lantas memikirkan kira-kira apa lagi manfaat yang bisa dihasilkan dengan sistem seperti itu. Lalu mereka teringat pada salah satu masalah yang banyak dihadapi nelayan tersebut. Menurut data Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungailiat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kerugian nelayan ditaksir Rp 40 juta per bulan karena ikan tangkapan mereka membusuk sebelum tiba di pelabuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Diva, tim mahasiswa itu terdiri atas Sharon Cecilya, Ardhanu Adha, Muhammad Fakhri Andika, Daffari Putri Utami, dan Muhammad Abi Rizky. Mereka dibimbing oleh Nasruddin, guru besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Inovasi Fishrage, yang saat ini masih berupa konsep, mengantarkan mereka meraih Gold Medalist kategori Engineering, Physics, and Energy dalam International Science and Invention Fair 2020, yang pengumumannya disampaikan pada 9 November lalu.
Berdasarkan konsep yang dibuat tim mahasiswa itu, Fishrage terdiri atas dua bagian: alat pendingin dan kotak penyimpanan. Alat pendingin berupa bilik refrigerant berisi air, pengontrol sekat antarbilik, dan bilik absorbent berisi senyawa kimia zeolite. Sedangkan kotak penyimpanan ikan terbuat dari bahan tiga lapis: high impact polystyrene di bagian dalam, polyurethane foam di tengah, dan high density polystyrene di bagian luar. “HDPE (high density polystyrene) untuk menghindari kerusakan bentuk akibat adanya benturan,” kata Diva.
Menurut Daffari, saat ini terdapat alternatif kotak pendingin berbasis termoelektrik dan metode pendinginan menggunakan es batu yang bisa dipakai nelayan. Namun pendinginan termoelektrik memerlukan listrik, yang mempersulit mobilisasi alat. Pendinginan menggunakan es batu juga dinilai kurang ekonomis bagi nelayan kecil.
Daffari mengatakan Fishrage punya sejumlah keunggulan, antara lain lebih ramah lingkungan karena tidak membutuhkan listrik untuk pengoperasiannya. Dari segi biaya, Fishrage ditaksir bisa lebih murah 52-72 persen dibanding kotak pendingin dengan es balok dan lebih hemat 3-4 persen dibanding penggunaan pendingin termoelektrik.
Fishrage dapat mempertahankan suhu dalam kotak sebesar 4-8 derajat Celsius sekitar 8 jam. “Itu adalah kalkulasi waktu yang dibutuhkan nelayan saat melaut,” tutur Diva. Ia menambahkan, biaya produksi alat itu sekitar Rp 9 juta. Harganya bisa turun 25-30 persen jika diproduksi massal. Memang mahal di awal, tapi murah saat pemakaiannya berikutnya. Kata Diva, alat itu hanya perlu diganti zeolite-nya setelah pemakaian sekitar satu setengah tahun.
Inovasi ini memang masih berupa konsep. Setelah menang kompetisi, menurut Diva, timnya akan mematangkan lagi akurasi sejumlah perhitungan alat itu. Timnya belum bisa mengujinya langsung di lapangan karena kendala pandemi. “Saat ini kami berencana mengembangkan Fishrage menjadi sebuah prototipe,” ujar Nasruddin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo