Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Udara Kotor Tanggung Jawab Negara

Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat seperti sebotol oksigen yang masih bisa kita hirup di tengah pencemaran udara. Pemerintah pusat melawannya.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Polusi udara menutupi langit di wilayah Jakarta Utara. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Putusan hakim Pengadilan Jakarta Pusat seperti oksigen di tengah pencemaran udara.

  • Pemerintah pusat melawan putusan itu dengan mengajukan banding

  • Bagaimana kedudukan hukum dan negara dalam kewajiban menyediakan udara bersih?

PUTUSAN Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021 yang mengabulkan gugatan pencemaran udara di Jakarta adalah contoh konstruksi hubungan masyarakat dengan negara. Mekanisme pengadilan adalah satu instrumen untuk menjawab ke mana masyarakat harus pergi jika hendak meminta negara memenuhi kewajibannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengadilan menyatakan penyelenggara negara yang digugat (Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, serta Gubernur Jawa Barat) telah melakukan perbuatan melawan hukum karena lalai melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengendalikan pencemaran udara di Jakarta. Pengadilan kemudian menghukum mereka mengeluarkan kebijakan pengendalian pencemaran udara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruang bagi masyarakat untuk menggugat negara dibuka dalam konstruksi gugatan warga negara atau citizen lawsuit atau actio popularis. Ruang ini dibuka karena ada sistem akuntabilitas yang mesti dibangun antara penyelenggara negara dan rakyatnya. Bentuknya beragam, dari kemungkinan menyoal undang-undang dan peraturan, memeriksa kepatutan suatu keputusan administrasi, hingga memeriksa perilaku serta tindakan langsung para penyelenggara negara kepada warganya. Tak semuanya berjalan baik dan berdampak, tapi ruang ini harus tersedia karena kekuasaan yang tak bisa diawasi akan menjadi sewenang-wenang dan menindas.

Wilayah hukum lingkungan memang banyak berkontribusi terhadap terobosan untuk membuat mekanisme hukum yang menuntut pertanggungjawaban negara semacam ini. Bukan hanya gugatan warga negara, ada pula model gugatan kelompok atau class action, yang sama-sama bertujuan memastikan lingkungan bisa dilindungi.

Forum-forum pengadilan ini berangkat dari pemikiran etika lingkungan, yang membongkar asumsi bahwa lingkungan akan memperbaiki diri sendiri, bertumbuh, dan terus berlangsung dalam sebuah mekanisme alami. Lingkungan hidup diterima sebagai sesuatu yang bersifat kodrati, didiamkan saja dan tak perlu diintervensi, taken for granted. Masalahnya, ketika manusia kian serakah, keseimbangan alam runtuh dan lingkungan tak akan mampu lagi berbuat untuk diri sendiri. Lingkungan hidup juga tak bisa bergerak mewakili diri sendiri untuk berdemonstrasi atau menggugat ke pengadilan.

Etika lingkungan merupakan kebajikan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya. Pergaulan manusia dengan lingkungan harus dikelola oleh otoritas negara karena masyarakat terdiri atas individu yang memiliki standar nilai berbeda. Namun otoritas negara tak selalu patuh pada etika lingkungan sehingga harus dibangun forum untuk meminta negara melaksanakan kewajibannya. Di sinilah mekanisme gugatan warga negara berada.

Sebagian masyarakat mementingkan kehidupan yang murah dan mudah tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan. Misalnya memakai kendaraan bermotor yang gas buangnya menimbulkan pencemaran udara. Sementara itu, listrik yang dihasilkan dari pembakaran batu bara juga dianggap lebih efisien untuk menyuplai kegiatan ekonomi masyarakat dan industri. Padahal, dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Greenpeace, salah satu kontributor buruknya kualitas udara adalah pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara, yang menyumbang 20-30 persen polusi udara di Jakarta.

Perilaku tak beretika lingkungan semacam inilah yang harus menjadi wilayah pengaturan negara. Kebijakan seharusnya dibuat untuk meminimalkan penggunaan energi kotor. Caranya, mengatur produksi energi, penggunaan, dan pengolahan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Yang diatur bukan hanya individu pengguna kendaraan bermotor dan listrik, tapi juga industri yang menghasilkan dan memasarkan penggunaan energi itu.

Dalam gugatan warga negara tentang pencemaran udara ini, hakim menegaskan, karena mempunyai otoritas, penyelenggara negara wajib menyediakan kerangka kebijakan untuk membuat udara Jakarta bersih. Pengadilan memberi perintah yang cukup rinci kepada Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, serta Gubernur Banten. "Hukuman" pengadilan membuat kebijakan semacam ini sesungguhnya tidaklah berat. Semuanya masih dalam batas kewenangan mereka.

Presiden, misalnya, diminta menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Gubernur DKI Jakarta diminta mengawasi ketaatan terhadap peraturan di bidang pengendalian pencemaran udara dan/atau ketentuan dokumen lingkungan hidup. Namun, dalam menyoal kewajiban negara, kita biasanya memang bisa melihat apakah negara sebenarnya tidak mampu (unable) ataukah tidak mau (unwilling). Bila melihat perintah hakim yang sebenarnya tak terlalu rumit itu, kemampuan rasanya bukan dalih yang bisa diajukan untuk menolak melakukannya.

Bila ada kemauan, tak sulit bagi penyelenggara negara untuk duduk bersama dan merumuskan kebijakan yang komprehensif guna menyediakan udara bersih bagi warga negara. Namun kemauan ini biasanya dilandasi dua masalah laten dalam pemerintahan Indonesia.

Pertama, hambatan-hambatan birokrasi untuk berkoordinasi karena merasa setiap kewenangan adalah otoritas tersendiri yang tak seharusnya dicampuri oleh otoritas pada bagian lain pemerintahan. Setiap bagian pemerintahan seakan-akan kerajaan-kerajaan kecil dengan wilayah yang tak bisa diterobos. Padahal birokrasi serupa mesin raksasa yang menyelenggarakan negara, semua terkoneksi dengan gerak komponen masing-masing supaya mesin negara terus bekerja untuk melayani warga. Juga seperti pada pabrik bermesin, yang dilihat bukan bagaimana setiap komponen mesin bekerja, melainkan hasil akhir yang mereka produksi. Soalnya bukan apakah sebuah kementerian berhasil atau tidak atau suatu provinsi dianggap sukses atau tidak, melainkan apakah negara berhasil memenuhi hak masyarakat bernapas dengan udara bersih.

Persoalan laten yang kedua adalah kepentingan ekonomi. Membicarakan kepentingan ekonomi juga tak sederhana di tengah kepentingan negara yang harus berhemat. Kita harus ingat, negara bukan benda, melainkan entitas tersendiri, organisasi dengan banyak aktor dan banyak kepentingan. Negara sering dikendalikan oleh kelompok-kelompok pengusaha, oligark, yang sesungguhnya membuat kebijakan di balik layar jabatan publik.

Terlalu banyak pengusaha yang harus berpikir ulang mengenai bisnis mereka apabila negara membuat kebijakan ramah lingkungan. Industri mobil dan sepeda motor akan terbatasi apabila pengaturan mengenai gas buang kendaraan bermotor diperketat. Bahkan pengusaha tambang batu bara penyuplai pembangkit listrik terancam menutup bisnisnya bila kebijakan penggunaan energi baru dan terbarukan dibuat.

Tak terhitung banyaknya rekomendasi kebijakan lingkungan yang berkelanjutan. Dari komitmen global yang memberikan kerangka besar mengenai lingkungan yang lebih bersih dan sehat sampai rekomendasi konkret untuk mendorong peralihan menuju energi bersih. Namun semuanya akan merusak kenyamanan pebisnis yang selama ini meraup keuntungan mudah dari mengeruk alam Indonesia yang kaya ketimbang mendorong inovasi. Maka kelompok ini akan mengupayakan segala daya dan upaya untuk mencegah kepentingan bisnisnya terganggu. Di sini tangan-tangan oligarki bekerja untuk mencegah keputusan politik yang tak menguntungkan mereka diambil.

Maka putusan Pengadilan Jakarta Pusat itu seperti sebotol udara bersih yang masih bisa kita hirup di tengah jelaga. Putusan ini memberi harapan baru tentang pengadilan yang bisa berpihak pada hak orang banyak. Namun kita tak bisa buru-buru merayakan kemenangan. Putusan pengadilan hanya memerintahkan kebijakan, belum menjadi realitas tindakan. Apalagi pemerintah pusat meminta banding atas putusan tersebut.

Langkah tidak langsung menerima putusan pengadilan untuk mengendalikan pencemaran udara, alih-alih langsung bertindak membuat kebijakan, mengkonfirmasi kondisi negara yang terlalu mementingkan investasi dan digerakkan oleh pebisnis. Untuk kepentingan ekonomi, negara bisa tega mengabaikan hak asasi warga negara sekadar bernapas dengan udara bersih.

Bivitri Susanti, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bivitri Susanti

Bivitri Susanti

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus