Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polusi udara memicu sejumlah penyakit, seperti asma, bronkitis kronis, dan kanker paru-paru.
Dengan kualitas udara saat ini, rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia akan berkurang dua setengah tahun.
Dari mana memulai mencegahnya?
ISTU Prayogi, warga Cipayung Jaya, Depok, Jawa Barat, sudah selalu memakai masker sebelum masa pandemi Covid-19. Pemicunya adalah gangguan pernapasan yang ia alami akibat pencemaran udara. Saat menghirup udara di luar rumah, hidungnya terasa ditusuk bulu ayam. Gejala awal terasa pada 1995, saat ia masih mengajar di sejumlah sekolah sebelum akhirnya menjadi pengemudi sarana transportasi online.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2016, pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 9 Februari 1965, ini mulai memeriksakan diri ke rumah sakit. Ultrasonografi tidak menemukan kelainan. Namun, saat ia menjalani pemindaian tomografi terkomputasi (CT scan), diketahui banyak lendir pada paru-parunya. Dokter memberi tahu bahwa ia terkena iritasi sehingga perlu memakai masker saat di luar rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istu tak mempercayai analisis dokter tersebut sampai dia membaca sejumlah kajian tentang masalah kesehatan itu. Pada tahun yang sama, ia memeriksakan diri ke Rumah Sakit Umum Daerah Depok. Tidak terdapat bakteri atau virus dalam sampel lendir paru-parunya. "Kemudian dokter memberi tahu bahwa saya tergolong sensitif terhadap udara kotor," kata Istu, Selasa, 28 September lalu.
Istu mengungkapkan, saat dia berada di luar rumah, kadang-kadang hidungnya mampat hingga membuatnya sulit bernapas. Biasanya dia akan berusaha bersin atau meminum air hangat untuk meredakan gangguan. Jika cara itu tak lagi manjur, dia akan menelan obat pereda nyeri. Pengalaman tak menyenangkan dengan udara kotor itulah yang mendorongnya mendaftar saat Lembaga Bantuan Hukum Jakarta membuka pos pengaduan pencemaran udara pada April 2019.
Aktivis lingkungan Khalisah Khalid, warga Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, punya alasan senada sehingga ikut mengadu. Ia khawatir akan anaknya yang sering mimisan. Anaknya yang berusia 10 tahun kerap tiba-tiba mengeluarkan darah dari hidung setelah banyak beraktivitas di luar rumah atau kecapekan. "Dari lahir sudah punya alergi," tutur perempuan kelahiran 1977 tersebut. Diagnosis awal menyatakan masalah anaknya berhubungan dengan udara cemar.
Aduan tentang polusi udara itulah yang kemudian berujung pada gugatan 32 warga terhadap Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, serta Gubernur Banten pada Juli 2019 yang menuntut pemulihan atas pencemaran udara di DKI Jakarta. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan itu pada Kamis, 16 September lalu. Pemerintah pusat mengajukan permohonan banding pada Rabu, 29 September lalu.
Agus Dwi Susanto, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, mengatakan udara kotor memiliki dampak langsung terhadap kesehatan. Gas atau partikel dari pencemaran udara itu bersifat iritatif. Efek jangka pendek bisa berupa mata merah, hidung berair, bersin, sakit tenggorokan, dan batuk. "Kalau berlanjut, bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut, meningitis, sampai pneumonia," ucapnya, Selasa, 28 September lalu. Pada orang yang memiliki asma dan penyakit jantung, polutan ini akan meningkatkan risiko terjadinya serangan.
Dampak terbesar bagi orang yang menghirup udara yang tercemar ada pada jangka panjangnya. Menurut Agus Dwi, gangguan bisa berupa penurunan fungsi paru-paru yang lebih cepat. Selain itu, risiko penyakit asma, bronkitis kronis, dan kanker paru meningkat. "Riset 2013 di Rumah Sakit Persahabatan menemukan sekitar 4 persen penderita kanker paru terkait dengan polusi udara," dia menambahkan. Data ini tidak berbeda dengan di luar negeri.
Papan pemantau Indexs Standar Pencemar Udara atau ISPU kota Palembang dipasang di Simpang Lima DPRD Sumsel. TEMPO/Parliza Hendrawan
Dampak jangka panjang lain, tutur Agus, disebabkan oleh masuknya partikulat berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron ke pembuluh darah yang berpotensi memicu penyakit kardiovaskuler dan stroke. "Bagi anak-anak, dalam jangka panjang itu menyebabkan gangguan tumbuh kembang dan kognitif," ujarnya. Namun, dia melanjutkan, kelemahan kita adalah belum ada data memadai tentang dampak polusi terhadap kesehatan.
Dalam gugatan mengenai polusi udara itu, para penggugat menyitir data lima jenis penyakit yang berhubungan dengan pencemaran udara di Jakarta, yaitu asma bronkial, penyakit paru obstruktif kronis, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia, dan penyakit jantung koroner. Jumlah kasus lima penyakit itu meningkat drastis di Jakarta. Pada 2010, tercatat ada 5.387.694 kasus. Enam tahun kemudian, jumlahnya naik menjadi 6.153.634. Taksiran biaya yang dikeluarkan warga Ibu Kota untuk pengobatan juga naik, dari Rp 38,5 triliun pada 2010 menjadi Rp 51,2 triliun pada 2016.
Menurut data AirVisual milik IQAir, Jakarta memang merupakan kota yang memiliki konsentrasi PM2,5—partikulat berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron—di atas standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pada 2018, level PM2,5 Jakarta berada di peringkat ke-10 daftar kota paling terpolusi, yakni 45,3 mikrogram per meter kubik (μg/m³). Pada tahun berikutnya, 2019, angka itu menjadi 49,4 μg/m³ atau menduduki peringkat ke-5 kota besar dunia. Pada 2020, Jakarta berada di peringkat ke-9 dengan 39,6 μg/m³.
Angka kandungan PM2,5 Jakarta pada 2018-2020 yang berkisar 35,5-55,4 μg/m³ itu masuk kategori "tidak sehat bagi kelompok sensitif". Status ini berada di peringkat keempat di bawah "tidak sehat", "sangat tidak sehat", dan yang tertinggi "berbahaya".
Rendahnya kualitas udara bukan hanya masalah Jakarta. Menurut AirVisual, rata-rata konsentrasi PM2,5 Indonesia pada 2018 sebesar 42,0 μg/m³, yang membuat negara ini berada di peringkat ke-11 daftar negara terpolusi di dunia. Pada tahun berikutnya, Indonesia naik ke peringkat ke-6 dengan PM2,5 sebesar 51,7 μg/m³. Pada 2020, Indonesia berada di peringkat ke-9 dengan konsentrasi rata-rata 40,7 μg/m³.
Menurut data Air Quality Life Index (AQLI) yang dikembangkan Energy Policy Institute at University of Chicago, Amerika Serikat, kota di Indonesia yang mempunyai konsentrasi PM2,5 tertinggi antara lain Palembang. Pada 2016, konsentrasi PM2,5 di Kota Pempek ini sebesar 59 μg/m³, sementara pada 2019 tercatat 56 μg/m³.
Soal pencemaran udara Palembang ini juga tecermin dari tingginya angka kasus ISPA dan pneumonia pada anak-anak. Pada 2015, tercatat ada 73.448 kasus ISPA, 2016 (78.865), 2017 (68.193), 2018 (60.246), 2019 (59.927), dan 2020 (25.946). "Kalau sekarang kasusnya jauh lebih sedikit," kata pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang, Fauzia, Senin, 27 September lalu. Sejak awal 2021 hingga Agustus lalu, terdata 9.052 kasus ISPA.
Adapun jumlah kasus pneumonia di kalangan anak-anak berusia 1-5 tahun pada 2015 tercatat sebanyak 5.198, 2016 (5.195), 2017 (5.252), 2018 (4.161), 2019 (4.575), dan 2020 (1.556). Sepanjang tahun ini sudah tercatat 975 kasus. Fauzia mengatakan salah satu faktor tingginya angka ISPA di kalangan anak-anak tidak terlepas dari kebakaran hutan dan lahan di sekitar Kota Palembang.
Selain meningkatnya jumlah kasus beberapa penyakit, harga mahal yang harus dibayar akibat polusi udara adalah berkurangnya usia harapan hidup. AQLI menerjemahkan paparan jangka panjang dari konsentrasi partikulat terhadap usia harapan hidup. Temuannya, paparan berkelanjutan dari tambahan 10 µg/m3 PM2,5 dapat mengurangi usia harapan hidup sebesar 0,98 tahun.
Menurut Direktur Eksekutif AQLI Ken Lee dalam webinar, 10 September lalu, saat ini lebih dari 93 persen dari 262 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah dengan level PM2,5 di atas ambang standar WHO. Jika konsentrasi PM2,5 saat ini bertahan, rata-rata usia harapan hidup akan berkurang dua setengah tahun relatif terhadap apa yang akan terjadi jika memenuhi pedoman WHO sebesar 10 μg/m³.
Di Jakarta, yang berpenduduk lebih dari 11 juta orang, rata-rata penduduk akan hidup lima setengah tahun lebih pendek jika tingkat PM2,5 bertahan di angka saat ini dibanding jika memenuhi ambang baku aman sesuai dengan pedoman WHO. Di kota-kota besar lain, seperti Bogor, Palembang, dan Bandung, usia harapan hidup masyarakat setempat bisa lebih pendek hingga lima-enam tahun.
"Polusi udara ancaman terbesar bagi kesehatan manusia di Indonesia. Biaya pengurangan emisi mungkin akan sebanding dengan manfaat besar dari udara yang lebih bersih dalam bentuk usia yang lebih panjang," tutur Ken Lee, yang juga peneliti senior di Department of Economics University of Chicago di Chicago, Illinois, Amerika Serikat.
Ihwal kontribusi polusi udara terhadap kasus kematian, Agus Dwi mengatakan belum ada data pasti. WHO memiliki perkiraan global bahwa pencemaran udara berkontribusi sekitar 29 persen terhadap semua penyakit dan kematian akibat kanker paru, 17 persen terhadap semua penyakit dan kematian akibat ISPA, dan 24 persen terhadap semua kematian akibat stroke. "Semestinya ada peninjauan terhadap ambang batas (kualitas udara) agar sesuai dengan ketentuan WHO," ujar Agus.
PARLIZA HENDRAWAN (PALEMBANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo