Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Bioteknologi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Profesor Arief Widjaja, berupaya mengembangkan kemampuan mikroalga, tumbuhan air yang memiliki kecepatan serap karbon di atas rata-rata. Seperti tumbuhan lain, spesies renik ini menyerap karbondioksida atau CO2 melalui fotosintesis. Bedanya, mikroalga melalui proses itu dengan sangat cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kemampuan itu berkaitan dengan laju pertumbuhan mikroalga yang juga lebih cepat dibanding tumbuhan biasa,” katanya Arief, dikutip dari web resmi ITS, Kamis, 23 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hidup di perairan tawar maupun laut, mikroalga bisa tumbuh dalam hitungan jam, berbeda dengan tanaman lain yang pertumbuhannya berdurasi bulanan. Tanaman kecil itu menyerap CO2 dari lingkungannya dengan pigmen klorofil.
Selama fotosintesis mikroalga mengubah, CO2 diubah menjadi glukosa nantinya dipakai sebagai sumber energi, sedangkan oksigen dilepaskan sebagai produk sampingan. Proses fotosintesis mikroalga, menurut Arief, setara laju pertumbuhan bakteri.
“Laju pertumbuhan ini proporsional dengan jumlah karbondioksida yang diserap,” tutur dia. “Tingkat penyerapan mikroalga jauh lebih efisien dibanding tumbuhan biasa,” ujar Arief.
Sayangnya, Arief mengimbuhkan, daya serap emisi mikroalga masih terbatas pada pH tertentu. Jika tingkat keasaman emisi karbon terlalu rendah, mikroalga terancam mati karena gamgguan pada proses metabolisme dan fungsi selnya. Penelitian Arief ditujukan untuk menghapus batasan tersebut.
Peneliti biokimia itu berniat bermemodifikasi ketahanan mikroalga terhadap pH atau tingkatrendah. “Dengan variabel kontrol mikroalga, cahaya, maupun intensitas karbondioksida,” ujar dia.
Skema pemanfaatan mikroalga untuk menyerap karbon juga bukan tidak mungkin dikembangkan ke skala yang lebih besar. Bila batasan pH bisa diatasi, mikroalga hasil modifikasi bisa dipakai oleh industri yang menghasilkan emisi inggi.
Pelaku industri hanya perlu membangun menaruh kolam budidaya Alga di area pengolahan yang paling banyak menghasilkan emisi karbon. “Mikroalga dapat menyerap emisi sebelum emisi tersebut terbang ke area lain tanpa kontrol,” paparnya.
Selain menjadi penyokong reduksi CO2, Arief menyebut mikroalga bisa sekaligus dipakai sebagai bahan baku industri tertentu. Tumbuhan air itu bisa disulap menjadi nutrisi, serupa pembuatan spirulina, suplemen herbal yang memiliki kandungan protein tinggi.
Kandungan pati pada mikroalga juga bisa menjadi sumber gula dalam pembuatan sorbitol, pemanis yang diolah dari gula alkohol. Lipid dari mikroalga juga bisa dijadikan bahan bakar nabati atau biofuel.
“Meskipun kecil, manfaat mikroalga bisa dieksplorasi sebanyak mungkin,” tutur Arief.