DI atas tanah seluas 540 mÿFD, mencuat sebuah bangunan bertingkat
empat. Gedung itu dibangun oleh Yayasan Dharmais yang diketuai
oleh Kepala Negara, sebagai model perumahan pegawai negeri
rendahan, asrama prajurit, dan golongan berpenghasilan rendah
lainnya. Menghabiskan 66 ton besi kanal produksi PT Krakatau
Steel serta ratusan ton batu apung (bermis) eks-Sukabumi, ia
dilengkapi dengan pelataran tempat bermain bagi anak-anak.
Dirancang sedemikian rupa, hingga tiap 16 apartemen dapat
dikelola sebagai satu Rukun Tetangga.
Contoh rumah sederhana bertingkat 4 itu, di desa Bulak Macan,
Bekasi, dua minggu lalu ditinjau oleh Presiden Suharto, Menteri
PU, Gubernur Jakarta Raya serta sejumlah pejabat teras lainnya.
"Kan tidak memalukan kalau rumah begini berdiri di belakang
gedung-gedung bertingkat di Jalan Thamrin," ujar Presiden kepada
Menteri PU Purnomosidhi. Sang Menteri pun manggut-manggut tanda
setuju. Malah dia mengusulkan, agar rumah bertingkat semacam itu
dapat juga dibangun di atas tanah-tanah kosong di Jakarta yang
selama ini hanya disewakan untuk mendirikan gubuk-gubuk
sederhana.
Tak lama setelah peninjauan ke sana, Gubernur DKI Tjokropranolo
pun menghimbau para pemilik tanah sepanjang jalan-jalan raya di
Jakarta agar mengiklaskan tanahnya untuk dihanguni perumahan
rakyat bertingkat empat. Dengan imbalan, para pemilik tanah tadi
boleh menempati dan memiliki lantai terbawah secara cuma-cuma.
Sedang lantai dua dan seterusnya akan disewabelikan kepada para
peminat rumah.
Gagasan rumah murah bertingkat 4 tampaknya sudah ditugaskan
kepada Menteri Muda Perumahan Cosmas Batubara yang tahun lalu
khusus mempelajari berbagai aspeknya di negeri Inggeris.
Direktorat Perumahan Ditjen Cipta Karya telah pula mengadakan
sayembara perencanaannya, yang akan ditutup 31 Januari. Kaum
pemborong bangunan yang beriin usaha di Jakarta menjadi
pesertanya. Bagi pemenang tak disediakan hadiah. Tapi bila
rencananya diterima, si pemborong akan diberi kesempatan pertama
membangun 120 sampai 150 unit rumah bertingkat tanpa lift itu di
bilangan Pasar Jumat, Jakarta Selatan, dengan biaya pemerintah.
Hak cipta pun tetap litangan perencana.
Calon penghuninya, seperti dijelaskan oleh ir Noer Saiyidi dari
Direktorat Perumahan, adalah yang penghasilannya rendah, yakni
Rp 20 ribu sampai Rp 100 ribu sebulan. Yang dimaksud itu adalah
seluruh pendapatan keluarga, dengan maksimal tiga anak.
Murahnya Berapa?
Peserta sayembara boleh juga mengajukan usul pembuatan
maisonette, yakni apartemen yang terdiri atas dua lantai.
Pokoknya, apartemen itu harus mencakup ruang makan, kamar
tidur, dapur, kamar mandi, dan, jangan lupa: tempat jemuran
pakaian. Biaya bangunan, walaupun sesudah K-15-N, tak boleh
melebihi Rp 40 ribu/mÿFD. Itu sudah termasuk keuntungan
pemborong, fasilitas umum seperti instalasi air minum,
Listrik berikut gardunya, serta penangkal petir dan pemadam
kebakaran.
Pemborong, tentu saja, menganggap harga minimum itu terlalu
rendah. Selain itu, pihak pengelola, Perumnas, mungkin bisa
mengalami kesulitan jaminan kredit dengan Bank Tabungan Negara
(BTN). Soalnya, BTN . selama ini memberikan kredit dengan
jaminan surat tanah. Hingga masih menjadi tandatanya, bagaimana
caranya memperoleh kredit bagi apartemen di lantai atas.
Betapapun juga, aspek teknis-finansiil itu telah berhasil menarik
animo lebih dari 100 peserta sayembara. Lebih-lebih karena kalau
menang, si pemborong tinggal membangun s~aja rumah bertingkat itu.
Urusan pemasarannya menjadi tanggungjawab Perumnas.
Apakah itu akan laku? Cosmas Batubara sendiri mengakui bahwa
masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan rumah bertingkat 4."
Ini tercermin, umpamanya, dari hasil survei LP3ES tentang bentuk
rumah yang diinginkan masyarakat berpenghasilan rendah di
Surabaya kota terbesar kedua di Indonesia. Menurut survei yang
disponsori Perumnas tahun 1975 itu, hampir 75ø/~ dari mereka
yang ditanyai menginginkan rumah yang mandiri. Hampir 25%
menginginkan rumah kopel, sejenis rumah Perumnas di Depok Baru
sekarang ini. Hanya segelintir kecil saja yang mau tinggal di
rumah flat bertingkat, atau bersikap pasrah saja (pokok asal
ada rumah).
Untuk Elite?
Staf LP3ES Amir Karamoy dalam majalah Prisma, Nopember 1978
masih menambahkan bahwa rumah mandiri yang diinginkan itu
hendaknya "berada langsung di atas tanah " Sebab "tanah" tulis
Karamoy, erat hubungannya dengan tradisi dan kultur masyarakat
agraris, ciri umum masyarakat kita." Adapun perumahan flat yang
sudah berdiri di Jakarta, menurut observasinya "umumnya dihuni
oleh masyarakat yang corak, struktur dan tingkat kebudayaannya
relatif kompleks, dan berlokasi di daerah elite." Contohnya,
flat Deparlu di Kebayoran Baru, yang didiami oleh golongan
berpenghasilan sedang ke atas. Bukan golongan berpenghasilan
sedang ke bawah yang mau ~dirangkul Perumnas.
"Kebudayaan hidup di flat" tampaknya meminta perhatian khusus
dalam perencanaan, seperti hubungan antara tanggungjawab
kolektif dan individu il dalam perawatan flat itu. Juga masalah
bising, penyediaan fasilitas sekolah transportasi umum,
tempat pembuangan sampah, dan kebun bersama. Disain p~rumahan
flat itu sendiri -- memanjang atau memutar -- dapat memecahkan
atau justru menimbulkan masalah menjemur pakaian, tempat rekreasi
ana~k-anak, serta jalur hijaunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini