Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mesin PCR dari Bandung

Tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung mengembangkan alat pendeteksi virus penyebab Covid-19. Mesin buatan lokal ini diproyeksikan sebagai sarana belajar di perguruan tinggi.

17 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mesin PCR dari Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peneliti Institut Teknologi Bandung menciptakan qPCR, mesin pendeteksi virus SARS-CoV-2.

  • Mesin sudah bekerja baik dan kini sedang disempurnakan perangkat lunaknya.

  • Tim peneliti berharap produk mesin PCR dalam negeri ini bisa dibeli oleh pemerintah.

JENIS mesin yang digunakan untuk pengujian sampel virus corona adalah quantitative polymerase chain reaction (qPCR)—teknik amplifikasi, deteksi, dan kuantifikasi fragmen asam dioksiribonukleat (DNA) secara bersamaan dan langsung. Selain digunakan untuk membantu pemeriksaan sampel di masa pandemi, mesin buatan lokal ini diproyeksikan sebagai sarana belajar di perguruan tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengajar yang terlibat dalam riset mesin qPCR alias real-time PCR ini adalah Anggraini Barlian dan Karlia Meitha dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB serta Adi Indrayanto dan Muhammad Iqbal Arsyad dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB. Purwarupa model awalnya rampung pada awal Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Adi Indrayanto, riset tentang alat PCR ini sudah ada. Tim mempelajari sistem dan cara kerjanya, termasuk dari mesin PCR impor. Dari kajian tim, diketahui ada beberapa masalah, antara lain komponennya tidak ada di Indonesia. "Lumayan banyak modifikasinya, hampir semua bagian," katanya, Rabu, 14 Juli lalu. Tim merancang sendiri bentuk mesin dan sistemnya.

Pembuatan alat itu dipicu keterbatasan jumlah mesin PCR di Indonesia. Di masa lonjakan kasus positif Covid-19 seperti sekarang, antrean pemeriksaan sampel pasien menjadi panjang dan lama. Semua mesin PCR yang digunakan saat ini merupakan barang impor. "Harga mesin PCR di laboratorium kami yang terbaru sampai Rp 2 miliar," tutur Karlia Meitha, Rabu, 14 Juli lalu.

Menurut Meitha, tidak semua kampus memiliki mesin PCR. "Kasihan juga banyak mahasiswa S-2 di ITB dari berbagai daerah yang S-1-nya belum pernah melakukan tes PCR sama sekali walau jurusannya biologi atau farmasi," ujar dosen di Kelompok Keahlian Genetika dan Bioteknologi Molekuler itu. Mesin PCR selama ini digunakan untuk menjalankan pengujian diagnostik berbagai virus, bakteri, juga jamur. Tujuannya: mendeteksi penyakit terkait dengan kesehatan orang, peternakan, dan pertanian. 

Meitha menjelaskan, tim sudah lima kali menguji mesin qPCR itu. Sampel yang digunakan dalam pengujian bukan virus corona, melainkan gen aktin (gen penyandi) dari tanaman. Gen itu dapat dipakai untuk percobaan guna membuktikan pengaturan suhu di mesin apakah sudah tepat, bisa melakukan PCR, dan menghasilkan spektrometri. Kalau semuanya berhasil, mesin dinilai bisa dipakai untuk berbagai jenis sampel, bukan hanya virus corona. "Seperti oven saja. Bisa untuk masakan apa saja," ucapnya. 

Setelah pengoptimalan spektrometri selesai, tim menguji mesin dengan virus corona. Pengujian berlangsung selama 90-120 menit. Meitha menambahkan, mesin qPCR mereka sudah bekerja dengan baik, tinggal membutuhkan penyempurnaan pada perangkat lunak. "Kalau dari prinsip mesin PCR, sudah 90 persen. Tinggal membuat algoritma siklus dari pendaran cahaya," ujarnya. 

Mesin qPCR buatan ITB ini bisa menjalankan dua proses penting secara bersamaan. Sambil memproses penggandaan asam ribonukleat (RNA) sampel menggunakan teknik thermal cycling, mesin mendeteksi RNA virus dengan teknik elektroforesis. Pendeteksian itu dilakukan dengan mengamati intensitas pendaran cahaya dari senyawa khusus fluorophore. "Makin banyak RNA virus yang digandakan, makin banyak senyawa khusus yang terikat," kata Anggraini Barlian. 

Senyawa khusus ini akan memendarkan cahaya jika diberi sinar dengan warna tertentu. Dari empat jenis senyawa itu, tim peneliti baru memakai satu jenis fluorophore, yaitu SYBR Green. Rencananya, tim terus mengembangkan kemampuan mesin dengan lebih dari satu fluorophore pada saat bersamaan untuk meningkatkan akurasi deteksi virus.

Tim peneliti berharap mesin qPCR yang bisa memuat 16 sampel ini dapat segera digunakan. Namun sebelumnya mereka akan melakukan beberapa kali percobaan lagi untuk menyempurnakan mesin sebelum diuji oleh lembaga pemerintah. Menurut Adi Indrayanto, biaya riset mesin ini sebesar Rp 1 miliar, berasal dari Kementerian Riset dan Teknologi. "Harapannya, mesin qPCR ini dibeli oleh pemerintah," ujar dosen di Kelompok Keahlian Elektronika ITB itu. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus