Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Selama dekade terakhir, para ilmuwan melihat ada bagian dari Bulan mendingin dan menyusut seperti kismis. Hal itu bagian dari satelit Bumi ini memiliki patahan yang disebut thrust faults, demikian dilaporkan laman Independent, Senin, 13 Mei 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NASA Ingin Kirim Astronot ke Kutub Selatan Bulan yang Misterius
Analisis terbaru, menggunakan data dari misi lembaga antariksa Amerika Serikat atau NASA, menunjukkan bahwa Bulan terus menyusut karena mengalami gempa di sepanjang patahan itu.
Para ilmuwan membandingkan proses itu dengan cara buah anggur yang secara bertahap akan mengeriput, membentuk garis-garis di permukannya dan ukurannya menyusut. Namun, tidak seperti kulit anggur, kerak di sekitar Bulan tidak dapat meregang dan justru rapuh, membuatnya pecah ketika penyusutan terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami pikir sangat mungkin bahwa gempa disebabkan oleh patahan yang tergelincir ketika kerak Bulan dikompresi oleh kontraksi global. Dan kekuatan pasang surut, menunjukkan bahwa seismometer Apollo mencatat Bulan yang menyusut dan masih aktif secara tektonik," tutur Thomas Watters, ilmuwan senior di Pusat Studi Bumi dan Planet di Smithsonian Institution di Washington.
Penelitian baru ini memungkinkan penciptaan algoritma untuk memproses data seismik yang diambil pada 1960-an dan 1970-an. Ini membantu memberi pengetahuan baru pada gempa di Bulan, termasuk pemahaman yang lebih baik tentang dari mana mereka berasal.
Setelah data lokasi dihasilkan, data diletakkan di atas gambar patahan dorong yang diambil dari studi 2010 menggunakan gambar dari Lunar Reconnaissance Orbiter NASA. Membandingkan keduanya, peneliti menemukan bahwa setidaknya ada delapan gempa disebabkan pergerakan lempeng di bawah permukaan Bulan, bukan dari dampak asteroid atau penjelasan lainnya.
Penelitian yang diterbitkan dalam Nature Geoscience itu membantu mengkonfirmasi bahwa Bulan masih mengalami aktivitas tektonik yang sebenarnya. Instrumen yang ditinggalkan oleh para astronot Apollo di masa lalu menyelesaikan pekerjaan mereka pada 1977.
Namun, para ilmuwan berpikir bahwa gempa dan penyusutan masih terjadi sampai hari ini di Bulan. Gambar menunjukkan bukti gerakan terbaru, seperti batu-batu besar dan tanah longsor yang tampaknya baru-baru ini jatuh.
"Kami menemukan bahwa sejumlah gempa yang tercatat dalam data Apollo terjadi sangat dekat dengan yang terlihat dalam citra LRO," kata Nicholas Schmerr, asisten profesor geologi di University of Maryland, dalam sebuah pernyataan.
Astronot Neil Armstrong (kanan) berjalan di permukaan bulan meninggalkan jejak kaki dan mengambil serta menyimpan debu bulan dan beberapa bebatuan kecil di dalam tas The Apollo 11 Contingency Lunar Sample Return Bag, pada 20 Juli 1969. AP Photo
Data seismik diambil dari instrumen yang dipasang astronot di permukaan selama misi Apollo 11. Alat itu sudah rusak, namun setidaknya telah merekam gempa Bulan sepanjang 1969 dan 1977.
"Sangat mungkin bahwa patahan masih aktif hari ini. Anda tidak sering bisa melihat tektonik aktif di mana pun kecuali Bumi, jadi sangat menarik untuk berpikir bahwa patahan ini mungkin masih menghasilkan gempa Bulan," kata Schmerr.
Terlebih lagi, sebagian besar getaran terjadi ketika Bulan berada pada titik orbitnya yang terjauh dari Bumi. Itu terjadi karena tekanan dari gravitasi Bumi mengganggu kerak Bumi. Para ilmuwan berharap untuk kembali ke Bulan dan belajar lebih banyak tentang apa yang terjadi.
"Bagi saya, temuan ini menekankan bahwa kita perlu kembali ke Bulan," ujar Schmerr. "Kita belajar banyak dari misi Apollo, tapi mereka benar-benar hanya menggaruk permukaan. Dengan jaringan seismometer modern yang lebih besar, kita bisa membuat langkah besar dalam pemahaman tentang geologi bulan."
Simak kabar terbaru tentang misi NASA ke Bulan hanya di kanal Tekno Tempo.co
INDEPENDENT | NATUREGEOSCIENCE