Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Para Ahli Ingatkan Bahaya Sindrom Kessler Akibat Sampah Luar Angkasa yang Meningkat

Sampah luar angkasa kini menjadi masalah besar di orbit rendah Bumi. Para ahli mengingatkan bahayanya bagi kehidupan modern.

6 Januari 2025 | 11.39 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Orbit sampah antariksa (debris). (Wikipedia Commons)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sampah luar angkasa kini menjadi masalah besar di orbit rendah Bumi (LEO). Pada 19 Oktober 2024 lalu, Komando Luar Angkasa AS melaporkan insiden mengkhawatirkan, yaitu satelit Intelsat 33e yang pecah menjadi sekitar 20 bagian, menyebarkan sampah besar di ruang angkasa yang sudah padat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyebab pecahnya satelit tersebut belum diketahui, namun peristiwa ini memperbarui kekhawatiran akan semakin meningkatnya jumlah sampah luar angkasa di LEO. Para ahli memperingatkan bahwa masalah ini bisa mengarah pada Sindrom Kessler, yang dapat membuat eksplorasi luar angkasa dan penggunaan satelit menjadi tidak mungkin. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sindrom Kessler akan menjadi kenyataan. Jika probabilitas tabrakan begitu besar sehingga kita tidak bisa meluncurkan satelit ke ruang angkasa, maka kita dalam masalah,” kata John L. Crassidis, ahli sampah luar angkasa di Universitas Buffalo, dikutip dari Earth.com, Senin, 6 Januari 2025. 

LEO adalah wilayah ruang angkasa yang terletak antara 160 hingga 2.000 kilometer di atas permukaan Bumi, dan digunakan oleh banyak satelit dan stasiun luar angkasa. Satelit di LEO mengorbit Bumi dengan cepat, menyelesaikan satu putaran dalam waktu sekitar 90 menit, yang membuatnya ideal untuk hal-hal seperti prakiraan cuaca dan komunikasi.

Namun, semakin banyak satelit yang diluncurkan, semakin besar risiko tabrakan dan potensi terjadinya Sindrom Kessler, yaitu reaksi berantai tabrakan sampah luar angkasa. Saat ini, ada lebih dari 10.000 satelit aktif yang mengorbit Bumi, dengan sekitar 6.800 di antaranya milik jaringan Starlink milik Elon Musk. “Ukuran puing-puing yang kami lacak bervariasi dari fragmen kecil yang kira-kira sebesar bola sofbol hingga potongan lebih besar yang seukuran pintu mobil,” kata Bill Therien, CTO di ExoAnalytic Solutions.

Kepadatan sampah luar angkasa ini berisiko mengganggu layanan kritis seperti GPS, internet, dan televisi. Para ahli memperingatkan bahwa kegagalan satelit akibat sampah luar angkasa dapat menyebabkan gangguan luas pada kehidupan modern. 

Upaya sedang dilakukan untuk mengatasi krisis yang semakin besar ini. Badan Antariksa Eropa (ESA) tengah mengembangkan inisiatif untuk mengatasi sampah luar angkasa, termasuk proyek Clearsat-1 yang bekerja sama dengan startup Swiss, ClearSpace, untuk menangkap dan menurunkan satelit yang tidak berfungsi.

Namun tantangan dalam pelacakan dan mitigasi puing-puing masih sangat besar. ESA memperkirakan ada lebih dari 40.500 potongan puing lebih besar dari 10 sentimeter yang harus dilacak. “Bahkan dengan sensor terbaik saat ini, ada batasan pada apa yang dapat ‘dilihat’ atau dilacak secara andal, dan sampah luar angkasa yang lebih kecil seringkali tidak dapat dilacak,” kata Bob Hall, direktur di COMSPOC Corp.

Para ahli mendesak perlunya kerja sama internasional usndromntuk menetapkan regulasi ruang angkasa yang mengikat guna mencegah kemacetan di orbit. “Kekhawatiran terbesar adalah kurangnya regulasi,” kata Dr. Vishnu Reddy, profesor ilmu planetaria di Universitas Arizona.

Jika tindakan tidak segera diambil, sebuah laporan menyebutkan, konsekuensinya bisa menjadi bencana yang tidak hanya bagi eksplorasi luar angkasa tapi juga bagi banyak aspek kehidupan modern yang bergantung pada teknologi satelit.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus