Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kalau ada yang menganggap semakin banyak kejadian hujan ekstrem (lebih dari 150 mm per hari) di Jakarta, ternyata total curah hujan tak pernah berubah signifikan di wilayah ini setiap tahunnya. Yang terjadi adalah kategorinya saja berubah di mana hujan ekstrem meningkat 25 persen frekuensinya, sementara pengurangan terjadi untuk hujan intensitas lebih rendah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Temuan itu didapat dari studi iklim urban Jakarta selama 130 tahun sampai akhir abad 21 oleh peneliti di Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Siswanto. Hasil studi untuk gelar doktoral di Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda, pada 2023 tersebut dibeberkan Siswanto dalam sebuah diskusi daring pada akhir Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau curah hujan dibagi kategorinya, perubahan mencolok pada hujan ekstrem yang meningkat drastis, 25 persen, dari sisi intensitas juga frekuensi," katanya saat dihubungi kembali pada Rabu, 5 Juni 2024.
Di sisi lain, jumlah hari hujan berkurang signifikan. Artinya, Siswanto menjelaskan, hujan semakin jarang tapi ketika turun, intensitasnya bisa lebih lebat dan ekstrem. "Ini menjadi mengamini semacam adagium dalam perubahan iklim: the wet get wetter, the dry get drier."
Menurut Siswanto, temuan itu tercermin pula dalam kejadian banjir besar Jakarta pada 2007, 2015, dan 2020. Temuan historis dari data yang ada menyebutkan curah hujan harian mencapai 340 mm dalam sehari terukur di stasiun BMKG di Pondok Bentung dalam kejadian banjir 2007.
Menjelang banjir besar 2015, hujan ekstrem 367 mm dalam sehari dicatat di Sunter. Sedangkan banjir merendam sebagian besar wilayah Jakarta pada 2020 lalu didahului hujan 377 mm yang dicatat di Halim Perdanakusuma.
Suasana sejumlah kendaraan melintasi banjir yang menggenangi kawasan Bundaran Bank Indonesia di Jakarta Pusat, Selasa, 25 Februari 2020. ANTARA
Sebelum periode tiga banjir 2007, 2015, dan 2020 itu, Siswanto mengungkap, "Banjir besar Jakarta biasanya memiliki curah hujan 100-an atau 200-an milimeter per hari."
Dalam studinya, Siswanto juga membuat pemodelan seandainya kondisi lingkungan di Jakarta tak berubah sejak dari masa pendudukan Belanda, di mana hanya 20 persen wilayahnya yang memiliki penduduk. Pemodelan dilakukan untuk periode 2013-2015 dan, meski terjadi peningkatan suhu udara permukaan yang melampaui kenaikan suhu global, banjir besar 2015 tak terjadi.
"Pesan dari studi ini adalah kalau kota di-manage tidak ugal-ugalan, dengan tetap mengatur dan mengendalikan tata guna lahannya, kejadian ekstrem-ekstrem itu bisa dihindarkan," katanya.
Siswanto menegaskan bahwa perubahan iklim global sebanyak 70 persennya direpresentasikan oleh perubahan lingkungan perkotaan (urban). Ini, kata dia, harus disadari pare pengambil kebijakan. "Jadi, perubahan kota mempengaruhi iklim yang ada di kota tersebut."