Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Peneliti di Universitas Islam Negeri atau UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fahrul Nurkolis menerima hak paten atas senyawa antikanker dan antidiabetes. Pemuda berusia 25 tahun itu meneliti senyawa bioaktif dari bahan alam, yakni Echinacea purpurea, anggur laut, dan bawang dayak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Perlindungan Paten Sederhana diberikan untuk invensi produk peptida Pudjialanine rudyline dari tanaman anggur laut sebagai obat diabetes," kata Fahrul, Senin 3 Maret 2025. Diterangkannya, paten untuk invensi tersebut diberikan selama 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan pada 21 November 2024 lalu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Fahrul, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa dengan ribuan spesies tumbuhan yang berpotensi menjadi sumber obat alami. Beberapa telah terbukti memiliki senyawa yang berkhasiat anti-inflamasi, antimikroba, antidiabetes, dan antikanker.
Senyawa bioaktif dari bahan alam ini memiliki potensi untuk mencegah kanker dengan menghambat proliferasi sel kanker, menginduksi apoptosis, atau menghambat jalur sinyal kanker. Juga antidiabetes dengan mengatur insulin receptor (IR), GLP-1R atau Glucagon-Like Peptide-1 Receptor dan PPARs atau Peroxisome Proliferator-Activated Receptors untuk meningkatkan sensitivitas insulin dan metabolisme glukosa.
Fahrul meneliti potensi-potensi itu pada tiga spesies tumbuhan, yakni Echinacea purpurea, anggur laut, dan bawang dayak. Jenis yang pertama tanaman herbal asli Amerika yang memang dibudidayakan di Indonesia, sedangkan anggur laut banyak ditemukan di wilayah pesisir Indonesia.
"Bawang dayak merupakan tanaman asli Indonesia, terutama di Kalimantan, dengan ketersediaan yang cukup tinggi untuk pengembangan lebih lanjut," kata Fahrul.
Ia menjelaskan penelitiannya saat ini berada pada tahap karakterisasi senyawa baru dari ketiga jenis tanaman tersebut. Dengan pendekatan metabolomik dan proteomik, Fahrul dan timnya berupaya mengidentifikasi senyawa bioaktif yang berpotensi digunakan dalam pengobatan.
Lebih lanjut, penelitian ini dilakukan melalui tiga pendekatan utama. Pertama, metode in silico menggunakan molecular docking dan dynamic simulation untuk memprediksi bagaimana interaksi senyawa dengan target molekuler.
Kedua, tahap in vitro dilakukan dengan menguji senyawa tersebut pada kultur sel guna mencari konfirmasi efektivitasnya, terutama dalam menghambat pertumbuhan sel kanker dan mengontrol kadar gula darah.
Ketiga, tahap in vivo dengan menggunakan hewan model. Pada tahap ini, tim mengevaluasi efektivitas serta keamanan senyawa sebelum melangkah lebih jauh ke uji klinis pada manusia.
Secara keseluruhan, Fahrul menyebutkan, tantangannya ada pada isolasi dan identifikasi senyawa. Penyebabnya, senyawa bioaktif sering ditemukan dalam jumlah kecil dan memerlukan teknik ekstraksi canggih. "Juga, proses validasi dan uji klinis yang panjang sebelum produk bisa dikomersialkan adalah tantangan tersendiri," ujarnya.
Meski begitu, pemuda yang tercatat sebagai lulusan terbaik dan tercepat di Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi 2023/2024 di kampusnya ini yakin penelitiannya berpotensi besar dalam menghasilkan obat berbasis bahan alam yang efektif dan berasal dari sumber daya lokal Indonesia. Tinggal langkah selanjutnya, dia merinci, optimasi proses isolasi, validasi biologis lebih lanjut, serta eksplorasi kemitraan dengan industri farmasi. "Itu butuh waktu beberapa tahun ke depan,” kata dia.
Fahrul menuturkan, banyak tanaman Indonesia yang memiliki potensi sebagai bahan baku obat. Persoalan, diakuinya, adalah bagaimana riset bisa berlanjut hingga tahap produksi dan komersialisasi, sehingga manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat.
Fahrul mengingatkan tanpa dukungan industri dan pemerintah, Indonesia hanya akan menjadi pengekspor bahan mentah, sementara negara lain yang mengolahnya menjadi produk farmasi bernilai tinggi. Disorotinya, tantangan terbesar dalam hilirisasi riset farmasi berbasis bahan alam di Indonesia adalah kurangnya infrastruktur, regulasi, dan pendanaan untuk mengembangkan hasil riset menjadi produk siap pasar.
"Banyak penelitian hebat yang dilakukan oleh ilmuwan Indonesia, tetapi hanya sedikit yang benar-benar bisa masuk ke industri dan digunakan oleh masyarakat," katanya.
Sebagai salah satu ilmuwan muda yang aktif dalam forum akademik internasional, seperti Nordic Nutrition Conference di Finlandia, Asian Congress of Nutrition di Cina, dan International Conference on Nutrition and Growth di Portugal, Fahrul berharap riset-riset dari Indonesia bisa mendapat perhatian lebih luas hingga diakui dunia.
"Indonesia memiliki segalanya, sumber daya alam yang kaya dan ilmuwan berbakat. Jika kita bisa mengatasi kendala dalam hilirisasi riset, Indonesia bisa menjadi pemimpin global dalam industri farmasi berbasis bahan alam," tutur dia.