Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK disahkan oleh DPR dan pemerintah pada 5 Oktober 2020, Undang-Undang Cipta Kerja telah menimbulkan polemik besar di tengah masyarakat. Meski omnibus law ini dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Presiden Joko Widodo alias Jokowi tetap gigih menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan, perppu tersebut ditetapkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi UU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah mengklaim telah memperbaiki berbagai ketentuan dan substansi yang dianggap menghambat investasi, misalnya ihwal penyediaan lapangan kerja dan perkembangan pasar tenaga kerja.
Namun kelompok pengusaha dan buruh sebagai pihak yang berhadapan masih berbeda pendapat soal UU Cipta Kerja. Hal ini dapat dilihat dari masifnya berbagai demonstrasi yang melibatkan buruh dan aktivis gerakan akar rumput di berbagai wilayah di Indonesia.
Kelompok pekerja menilai UU Cipta Kerja masih memuat aturan yang tak berpihak pada mereka, dari sistem pengupahan yang timpang antardaerah, adanya potensi penurunan nilai pesangon dan ketidakjelasan jaminan pekerja memperolehnya, tidak diaturnya persoalan cuti panjang, pengurangan istirahat mingguan, hingga tak adanya batas waktu yang jelas perihal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Sementara itu, pemerintah dan kelompok pengusaha terus mengklaim bahwa UU ini tidak melupakan pelindungan buruh meski tujuannya adalah mendukung investasi.
Kami meninjau persepsi masyarakat di media sosial terhadap UU Cipta Kerja dalam kaitannya dengan kesejahteraan buruh. Tinjauan ini kami lakukan melalui analisis big data di media sosial X (dulunya Twitter).
Tujuan peninjauan ini adalah melihat sejauh mana dampak yang dihasilkan dari proses pembentukan UU Cipta Kerja terhadap pihak-pihak yang terlibat, baik kelompok pengusaha ataupun buruh.
Berdasarkan tinjauan kami, mayoritas pengguna X mengungkapkan bahwa buruh masih berada dalam posisi subordinat. Artinya, hingga kini mereka belum berada pada kondisi yang sejahtera.
Persepsi Negatif Publik
Analisis ini kami lakukan pada 2 November 2020 hingga 13 Mei 2023. Setidaknya ada empat traffic tweet yang teridentifikasi dalam penelitian.
Analisis ‘big data’: ‘traffic tweet’ atas UU Cipta Kerja. theconversation.com
Pertama, tepat sehari setelah UU Cipta Kerja disahkan, mayoritas respons publik cenderung negatif. Hal ini muncul karena UU Cipta Kerja disahkan melalui proses yang tidak partisipatif dan cenderung mengabaikan suara buruh.
Kemudian, sekitar setahun sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja, traffic tweet kembali meningkat. Besar kemungkinan hal ini terjadi karena pada 27 November 2021, MK mengeluarkan putusan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat.
Pada 20 Mei 2022, kenaikan traffic tweet kembali terjadi. Selain karena Mei kerap dianggap sebagai bulan perlawanan kaum buruh, pada bulan itu juga terbuka pintu revisi UU Cipta Kerja.
Sebelum Rancangan Undang-Undang Pembentukan Perppu disetujui dan disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR, terjadi banyak penolakan dari publik. Penolakan tersebut berkaitan dengan pentingnya pendalaman atas materi RUU dan penguatan partisipasi publik dalam penyusunan UU.
Kenaikan traffic tweet terjadi lagi pada 21 Maret 2023, yakni tepat setelah disetujuinya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Cipta Kerja.
Selama periode penelitian kami, cuitan yang mendapat engagement tertinggi adalah yang membahas kejadian mikrofon yang mendadak mati, atau dimatikan, saat anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan, menyampaikan penolakan atas pengesahan perppu tersebut.
Adapun cuitan teramai adalah yang bernarasikan protes publik terhadap pengesahan UU Cipta Kerja pada 2020. Mayoritas protes tersebut mengungkapkan bagaimana publik merasa pemerintah bertindak bukan mewakili kehendak rakyat.
Berdasarkan empat momen traffic tweet tersebut, dapat disimpulkan bahwa publik menganggap UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tujuan kesejahteraan buruh dan merasa bahwa buruh masih berada dalam posisi subordinat.
Artinya, UU Cipta Kerja belum bisa dikatakan berdampak positif bagi publik, terutama golongan menengah ke bawah.
Hal ini sejalan dengan pendapat-pendapat para pakar bahwa UU Cipta Kerja justru merugikan posisi para pekerja dan hanya bertujuan menarik investor.
Era Perbudakan Modern
Alih-alih mensejahterakan pekerja, UU Cipta Kerja yang cenderung berpihak pada investor ini justru menciptakan sebuah dampak baru, yaitu modern slavery (perbudakan pada era modern). Ini merupakan praktik sistemis eksploitasi manusia yang melibatkan penindasan, penyalahgunaan, dan pembatasan kebebasan individu demi keuntungan ekonomi.
Korban, dalam hal ini buruh atau pekerja, dipaksa bekerja atau hidup dalam situasi yang terkekang dan sulit keluar dari perangkap. Kondisi tersebut tak ubahnya seperti perbudakan yang terjadi pada masa silam.
Perbudakan telah hadir selama ribuan tahun dan terjadi di semua peradaban hingga hari ini. Ada berbagai variasi bentuk perbudakan, misalnya gaji pekerja yang tidak sesuai dengan waktu bekerja, jaminan kesehatan dan keselamatan yang tak diberikan, serta bentuk lain sebagai langkah menekan biaya variabel produksi.
Sejak zaman dahulu kala, kesejahteraan buruh masih menjadi barang mewah. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, buruh dipekerjakan tanpa memperhatikan aspek kesejahteraan, tidak memperoleh upah, dan dituntut target pekerjaan yang tak masuk akal.
Hari ini, buruh memang tidak mengalami perbudakan paksa, tapi mereka berada dalam posisi yang inferior dan tertindas dalam struktur ekonomi yang kapitalistik.
Langkah pemerintah menerbitkan UU Cipta Kerja yang cenderung pro-investasi makin membuktikan bagaimana rakyat yang bekerja diperas tenaga dan keringatnya. Praktik atas pengabaian hak-hak pekerja inilah yang dapat disebut modern slavery.
Kampanye akbar Partai Buruh di Istora Senayan, Jakarta. ANTARA/Erlangga Bregas Prakoso
Tidak Hanya di Indonesia
Di seluruh dunia, jumlah pekerja yang menderita akibat kondisi kerja yang tak aman, tidak menentu, dan tak dapat diprediksi sangatlah banyak. Artinya, meskipun bekerja, kelompok buruh umumnya tidak memiliki pekerjaan dan upah yang layak, jaminan masa depan, perlindungan sosial, serta akses terhadap hak mereka.
Di India, misalnya, upah minimum New Delhi adalah sekitar Rp 1 juta per bulan, sedangkan di perdesaan angkanya bisa jauh lebih rendah. Sementara jam kerjanya panjang, umumnya delapan jam per hari, enam hari per pekan.
Namun banyak buruh di sana yang juga harus bekerja lembur sehingga total jam kerja mereka bisa mencapai 10-12 jam per hari. Selain itu, kondisi lingkungan kerja yang tidak aman dan tak sehat juga dapat menyebabkan kecelakaan kerja serta penyakit akibat kerja. Hal ini makin diperparah oleh serikat pekerja yang terfragmentasi sehingga tidak memiliki banyak pengaruh dalam memperjuangkan hak-hak buruh.
Di banyak negara, termasuk di Indonesia, ada kegagalan dalam memerangi perbudakan dan eksploitasi modern secara efektif melalui sistem tata kelola ketenagakerjaan yang ada.
Persoalan utama terletak pada lemahnya penegakan hukum dan penerapan regulasi yang tidak memihak pada buruh. Lemahnya penegakan hukum memungkinkan setiap perusahaan mengeksploitasi celah yang ada. Adapun regulasi yang tidak memihak buruh hanya akan memenangkan kepentingan kelas pemodal.
Pentingnya Peran Serikat Pekerja
Sebagai salah satu langkah solutif, penting bagi para pemangku kebijakan untuk mengoptimalkan peran dari serikat pekerja karena kelompok-kelompok inilah yang paling memiliki andil dalam mengawal hak-hak buruh.
Keberadaan Partai Buruh saat ini, contohnya, bisa menjadi platform perjuangan politik bagi kelas pekerja. Melalui penguatan kesadaran kelas dan hak-hak yang seharusnya mereka miliki, secara bertahap kaum buruh bisa mencapai taraf kehidupan yang lebih sejahtera.
Artikel ini ditulis oleh Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. Terbit pertama kali di The Conversation.