Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pihak Institut Sains dan Teknologi Akprind Yogyakarta angkat suara soal pembohongan publik yang dilakukan Dwi Hartanto. Menurut pihak Akprind Yogyakarta, mahasiswa doktoral di Technische Universiteit (TU) Delft Belanda mencoreng nama almamater kampus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami jelas kecewa dan merasa bersalah. Tapi itu tanggungjawab pribadi," kata Rektor Akprind Yogyakarta, Rektor Akprind Yogyakarta, Amir Hamzah, kepada Tempo, di kantornya, sambil menunjukkan kopian ijazah Dwi, Selasa, 10 Oktober 2017. "Kami juga kecewa saat dia tak mengakui kami sebagai almamaternya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amir menuturkan, selama proses pendidikan, Akprind telah berusaha senantiasa menekankan kepada nilai, etika, dan norma. Termasuk aspek kejujuran dan akademis.
Berbagai upaya dilakukan kampus kepada mahasiswa sejak mahasiswa diterima melalui pemberian pembekalan pada masa orientasi studi mahasiswa baru, pelatihan pengembangan kepribadian, kegiatan organisasi kemahasiswaan,sampai pembekalan menjelang wisuda. Pihak kampus selalu menekankan pada aspek soft skills dan kejujuran.
Secara kelembagaan, Amir mewakili Akprind Yogyakarta memohon maaf kepada publik yang merasa dirugikan akibat ulah Dwi. "Kami berharap semoga masyarakat, utamanya dunia pendidikan, dapat memandang masalah ini dengan arif dan adil serta dapat mengambil pelajaran dari kasus ini," ujarnya.
Baca: Ini 5 Dosa Dwi Hartanto
Dwi yang selama dikampus Akprind Yogya teregister dengan nomor mahasiswa 01052087 itu menjadi lulusan terbaik 2005 setelah menyabet Indek Prestasi Kumulatif 3,88. Dari salinan nilai akademik Dwi selama kuliah dari 2001-2005 yang diperoleh Tempo, dari total 64 mata kuliah yang diselesaikan Dwi hanya pernah mendapatkan 11 buah nilai B dan sebagian besar ia mendapatkan nilai A.
Pria kelahiran, Madiun, 13 Maret 1982, yang masuk Akrpind tahun 2001 diwisuda tepat waktu, yakni tanggal 26 November 2005. Skripsinya berjudul "Membangun Robot Cerdas Pemadam Api Berbasis Algoritma Kecerdasan ANN (Artificial Neural Network)".
Nama Dwi Hartanto naik daun dalam dua tahun terakhir setelah diberitakan berbagai media elektronik maupun televisi setelah mengaku diminta banyak pihak untuk mengembangkan pesawat jet tempur generasi keenam. Sosok Dwi Hartanto ditulis secara manis oleh berbagai media nasional sebagai doktor muda (28 tahun) calon profesor bidang roket dalam tiga tahun terakhir.
Dia dianggap "pahlawan" Indonesia di negeri Belanda. Faktanya, Dwi lahir pada 13 Maret 1982. Artinya, dia sudah berumur 35 tahun, bukan 28 tahun seperti yang diberitakan. Dia pun sempat mengaku bahwa ditawari menjadi warga negara Belanda, tapi ditolaknya. Selain itu, Dwi Hartanto sempat mengaku memenangkan lomba riset Space craft and Technology di Jerman dan mengalahkan sejumlah ilmuwan dari negara lain.
Adalah Deden Rukmana, profesor dan pakar urban studies di Savannah State University, Amerika Serikat, yang pertama kali mengungkap kebohongan Dwi Hartanto kepada publik dalam status Facebook miliknya. Menurut Deden, puncak kemarahan rekan-rekan ilmuwan Indonesia di Belanda timbul saat tersebar pesan di grup WhatsApp Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4). Deden termasuk anggota grup tersebut. Beberapa orang, menurut Deden, mengambil inisiatif membentuk tim untuk membongkar kebohongan Dwi.
"Rasa kebanggaan dan kekaguman saya terhadap Dwi Hartanto 'terganggu' ketika saya menerima rangkaian pesan dari WA group Pengurus I-4 yang membahas tentang yang bersangkutan. Pada tanggal 10 September 2017 lalu, salah seorang anggota pengurus I-4 secara terpisah mengirimkan dua dokumen lengkap berisikan investigasi terhadap beragam klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto," tulis Deden dalam akun Facebook-nya.
Dalam statusnya, Deden menyebutkan dokumen pertama terdiri 33 halamam berisi beragam foto-foto aktivitas Dwi Hartanto termasuk dari halaman Facebook-nya dan link berbagai website tentangnya. Salah satunya termasuk transkrip wawancara di program Mata Najwa pada Oktober 2016, serta surat-menyurat elektronik dengan beberapa pihak untuk mengklarifikasi aktivitas yang diklaim Dwi Hartanto.
Dokumen kedua, tulis Deden, sebanyak delapan halaman berisikan ringkasan investigasi terhadap klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto termasuk latar belakang S1 (Strata-1), umur, roket militer, PhD in Aerospace, Professorship in Aerospace, Technical Director di bidang rocket technology and aerospace engineering, interview dengan media international, dan kompetisi riset.
Dalam dokumen sepanjang lima halaman yang dimuat di situs ppidelft.net (Persatuan Pelajar Indonesia di Delft), Dwi mengaku berbohong atas semua informasi terkait dirinya yang diberitakan media nasional dan media sosial dalam tiga tahun belakangan ini. Surat klarifikasi bermaterai 6.000 tersebut tertanggal 7 Oktober 2017.
Dalam dokumen klarifikasinya, Dwi menyatakan bukan lulusan Tokyo Institute of Technology di Jepang. Melainkan lulusan strata-1 dari Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Fakultas Teknologi Industri, Program Teknik Informatika, yang lulus pada 15 November 2005.
Setelah dari AKPRIND, Dwi mengambil program master di TU Delft, Faculty of Electrical Engineering, Mathematics, and Computer Science, dengan tesis "Reliable Ground Segment Data Handling System for Delfi-n3Xt Satellite Mission".
Saat ini, Dwi masih menjalani program doktoral di grup riset Interactive Intelligence, Departement of Intelligent Systems di fakultas yang sama di Delft di bawah bimbingan Prof. M.A. Neerincx dengan judul disertasi "Computer-based Social Anxiety' Regulation in Virtual Reality Exposure Therapy". "Informasi mengenai posisi saya sebagai post-doctoral apalagi assistant professor di TU Delft adalah tidak benar," tulis dia.
Di surat klarifikasi itu, Dwi berjanji tak akan mengulangi kesalahannya tersebut dan tetap berkarya di bidang kompetensinya yang sebenarnya, yakni sistem komputasi. Dia berjanji akan menolak pemberitaan maupun undangan berbicara di luar kompetensinya. "Perbuatan tidak terpuji/kekhilafan saya, seperti yang tertulis di dokumen ini adalah murni perbuatan saya secara individu yang tidak menggambarkan perilaku pelajar maupun alumni Indonesia di TU Delft secara umum," tulis Dwi.
Simak artikel Dwi Hartanto lainnya hanya di kanal Tekno Tempo.co.
PRIBADI WICAKSONO