Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Soal Sriwijaya, Dosen UI: Jangan Ikuti Pendapat Babe Ridwan

Pernyataan Ridwan Said yang menyebutkan bahwa Sriwijaya tidak pernah ada dan hanya kelompok bajak laut itu, menuai kritik dari sejarawan dan arkeolog.

2 September 2019 | 13.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Arkeolog yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Agus Aris Munandar memberikan pesan kepada pembaca agar mengikuti saja kitab resmi yang sudah dikeluarkan tentang Kerajaan Sriwijaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sementara belum ada kajian yang mendukung pendapat Babe Ridwan (Sriwijaya fiktif) ya jangan diikuti. Ikuti saja kitab yang sudah resmi dikeluarkan selama ini itu saja. Kajiannya belum ada, itu cuma pendapat," kata Agus baru-baru ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan Sriwijaya fiktif pertama kali muncul pekan lalu, yang disampaikan Budayawan Betawi Ridwan Saidi atau Babe Ridwan. Pernyataan Babe Ridwan yang menyebutkan bahwa Sriwijaya tidak pernah ada dan hanya kelompok bajak laut itu, menuai kritik dari sejarawan dan arkeolog.

"Kalau begitu, prasasti mau dikemanakan, prasasti pertama saja Kedukan Bukit, itu kalau mau dibantah bagaimana caranya," ujar Agus. "Selain prasasti sebagai bukti sejarah adanya Kerajaan Sriwijaya, ada juga arca dan sisa barang kuno. Itu mau dibawa kemana."

Secara publikasi, kata Agus, Kerajaan Sriwijaya publikasinya cukup banyak, mulai dari buku karya O.W. Wolters dan masih banyak lagi. Namun, menurut Agus, Babe Ridwan kemungkinan tidak membaca penelitian yang terbaru.

Sementara, duta baca Provinsi Sumatera Selatan Firman Freaddy Busroh mengajak masyarakat khususnya kaum milenial untuk mempelajari lagi Kerajaan Sriwijaya dengan membaca buku menanggapi ramainya polemik Sriwijaya fiktif.

"Di sinilah momentum membangkitkan kepedulian sejarah, semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah harus meningkatkan lagi literasi sejarah, salah satunya dengan membaca buku-buku," ujar Firman seusai pembukaan Pekan Pustaka Palembang II, Ahad, 1 Oktober 2019.

Menurut Firman memahami Kerajaan Sriwijaya perlu didorong dengan distribusi buku bacaan lebih banyak lagi. Juga diimbangi dengan intensitas gelaran diskusi atau kajian yang menyasar kaum milenial, sehingga publikasi mengenai Sriwijaya lebih valid serta tetap eksis.

Dengan memahami sejarah, milenial dapat menanggapi informasi baru secara selektif dan positif dengan mengedepankan keilmiahan metode serta data. "Saya lihat nampaknya tidak banyak yang terpengaruh dari pernyataan beliau (Ridwan Saidi), karena sebagian menganggap data yang digunakannya masih belum jelas," tutur Firman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus