SALAH satu cabang industri yang maju pesat, baik teknologi maupun pemasarannya, ialah industri dirgantara. Terutama satelit-satelit yang dibuat untuk merekam bumi. Persaingan antara perusahaan yang didukung negara-negara maju pun semakin gencar. Sasaran perebutan pasar biasanya negara-negara berkembang, yang membutuhkan hasil rekaman penginderaan jauh itu untuk perencanaan pembangunan. Rekaman tentang permukaan bumi memang bisa memikat. Apalagi bila diberi warna. Rekaman itu memberikan gambaran menyeluruh mengenai daerah tertentu, kerusakan hutan, keadaan panen, pencemaran lingkungan, atau perkembangan urban. Namun, benarkah rekaman itu mempunyai pasaran luas? Landsat, misalnya, banyak menggugah perhatian terhadap penginderaan jauh. Tetapi secara komersial, satelit perekam bumi milik NASA itu merupakan kegagalan. Penjualan data hingga kini baru mencapai US$ 20 juta per tahun. Padahal, biaya operasinya US$ 30 juta, sedangkan sistemnya sendiri seharga US$ 1 milyar. Dalam pada itu, Landsat bukan lagi satu-satunya satelit yang merajai dirgantara dalam penginderaan jauh. Communications Satellite Corporation, Radio Corporation of America, Fairchild, General Electric, dan Space America merupakan perusahaan-perusahaan yang akan bergerak dalam bidang itu. Di Eropa, Prancis akan meluncurkan satelit Spot, dan datanya akan dipasarkan pcrusahaan Spot-Image. Perusahaan pertambangan dan minyak memang membutuhkan rekaman penginderaan jauh. Tetapi hanya sekali rekaman untuk waktu tertentu. Yang lebih banyak membutuhkannya justru para petani besar seperti di AS, terutama dalam meramalkan panen. Di AS, ada yang berpendapat bahwa ramalan pertanian melalui rekaman satelit memiliki ketelitian 95%. Suatu studi memperlihatkan, dengan menggunakan rekaman semacam itu mereka dapat menggaet keuntungan US$ 130 juta sampai US$ 270 juta per tahun. Kini, Spot-Image mengkampanyekan simulasi besar-besaran menggunakan rekaman melalui pesawat udara terbang tinggi, menghasilkan rekaman yang sama dengan yang akan direkam satelitnya nanti pada 1985. Mereka menjual satu set data US$ 3.000 untuk menutupi sebagian biaya kampanye itu. Usaha itu diharapkan mencapai break even point pada 1987-1988 melalui dua satelit, seraya mengumpulkan dana untuk meluncurkan satelit ketiga pada 1989. Space America akan meluncurkan satelitnya pada 1986, dengan menggunakan jenis lebih murah, seharga US$ 30 juta. Bandingkan dengan Spot yang mencapai US$ 100 juta, atau Landsat, yang jauh lebih mahal. Bagi negara berkembang, seperti Indonesia, masalahnya ada dua. Pcrtama, bagaimana mendistribusikan rekaman-rekaman itu dengan cara paling efektif dan paling efisien kepada pemakai. Dan kedua, meningkatkan kemampuan memanfaatkan (menginterpretasikan) rekaman tadi. Sebelum kedua kesukaran ini diatasi, membuat atau membeli satelit dan stasiun buminya bakal sia-sia belaka. M. T. Zen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini