Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo langsung membuat video blog setelah meninjau bagian dalam kincir angin di pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) terbesar di Indonesia di Desa Mattirotasi, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, 2 Juli lalu. Banyak kincir angin di sini. Dan, yang saya senang, tiang-tiang yang dipakai untuk turbin ini adalah buatan dalam negeri, yaitu dari Banten. Dan kita harapkan ke depan seluruh komponen yang ada bisa dibuat di dalam negeri, ujar Jokowi dalam vlog #JKWVLOG KEBUN ANGIN di akun YouTube resminya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Jokowi wajar berharap demikian karena komponen utama PLTB Sidrap itu, yakni turbin angin, adalah Gamesa G114, yang dibuat perusahaan Spanyol, Gamesa Corporacion Tecnologica. Menurut Niko Priyambada, Senior Developer UPC Renewables Indonesia, yang menjadi kontraktor pembangunan PLTB Sidrap, turbin Gamesa G114 dirancang khusus bagi wilayah dengan kekuatan angin rendah hingga sedang. Turbin angin ini juga memiliki efisiensi kinerja yang sangat baik dibanding turbin angin lain sekelasnya dalam kondisi sumber daya angin yang kurang kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya, riset dan pengembangan teknologi sudah dilakukan beberapa lembaga penelitian serta perguruan tinggi Indonesia, juga para penghobi, untuk turbin angin berdaya hingga 1.000 watt. Sayangnya, kata Soeripno Martosaputro, Ketua Indonesia Wind Energy Society, kondisi pengembangan turbin angin Indonesia memprihatinkan dan perlu segera mendapat perhatian. Saat ini dalam status quo karena, sejak 2010, Lapan dan BPPT tidak lagi melanjutkan kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi turbin angin," ujar Soeripno, menjawab surat Tempo.
Dia menjelaskan, purwarupa turbin angin 5 kilowatt (kW) dan 10 kW buatan lokal sebenarnya secara fungsional telah beroperasi dengan baik dan menghasilkan daya nominal sesuai dengan desain. Beberapa purwarupa turbin tersebut pun telah dibuat dan diuji coba dengan hasil menggembirakan, seperti yang dipasang Balai Besar Teknologi Aerodinamika, Aeroelastika, dan Aeroakustika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Pantai Parang Racuk, Gunungkidul, DI Yogyakarta; Belu, Nusa Tenggara Timur; Sayang Heulang, Garut, Jawa Barat; dan Lebak, Banten. "Namun perlu penyempurnaan dalam hal desain estetik (bentuk dan kombinasi struktur) serta pengujian lanjut untuk durasi," ucap Soeripno.
Ihwal turbin angin berkapasitas besar, Soeripno mengatakan sudah ada purwarupa berkapasitas 20 kW buatan BPPT, turbin 50 kW rancangan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta turbin 100 kW karya konsorsium Pusat Penelitian Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). "Tapi proses pengujian tak selesai dan terevaluasi dengan tuntas. Akibatnya, penelitian ketiga prototipe tersebut terhenti," ujarnya.
Turbin angin buatan Yoyon Ahmudiarto, peneliti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI di Bandung, contohnya. Turbin angin jenis vertikal berkapasitas 1 kW yang telah dipatenkan pada 2012 itu akhirnya hanya dipasang di kantor LIPI di Subang, Jawa Barat. Meski dapat menghasilkan listrik, daya yang diproduksi tidak pernah sesuai dengan kapasitas karena kecepatan angin di wilayah itu rendah, yakni kurang dari 4 meter per detik.
Turbin vertikal buatan Yoyon berdimensi 1,7 x 1,7 meter dengan garis tengah 3 meter. Baling-balingnya, yang bergerak melingkar seperti komidi putar, memiliki bentuk yang unik. "Seperti kain layar kapal yangterkembang," kata Yoyon. Rancangan seperti itu dimaksudkan untuk mendapatkan bentuk baling-baling yang optimal agar mudah berputar dengan kekuatan angin rendah.
Agar daya listrik yang dihasilkan bisa berlipat ganda, Yoyon mendesain kincir anginnya itu bertingkat dalam satu menara. Generator ditempatkan di tengah atau sela turbin.Uniknya, arah putar baling-baling di kedua turbin dibuat berlawanan untuk meningkatkankecepatan putaran generator sehinggadaya listrik bisa bertambah. Jumlah turbin angin vertikal yang ditumpuk bisa lebih dari dua unit dan tidak harus genap.
Terobosan rancangan tersebut, kata Yoyon, dibuat untuk memperbaiki beberapa kekurangan turbinangin vertikal. Turbin jenis itu, dengan beragam bentuk dan fungsinya, lebih dulu dikenal sejak abad ke-18.Penggunaannya kemudian surut karena pengembangan turbin angin horizontal lebih maju.
Kekurangan turbin vertikal yang membuatnya ditinggalkan, menurut Yoyon, adalah susah berputar lagi ketika sudah berhenti. Selain itu, turbin rentan patah dan daya listrik yang dihasilkan rendah.
Soeripno Martosaputro mengatakan penelitian dan pengembangan teknologi turbin angin yang cocok dengan kondisi Indonesia harus kembali dihidupkan. Ia berharap ada kebijakan khusus dari pemerintah untuk penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan teknologi turbin angin ini sehingga harapan Presiden Jokowi agar semua komponen PLTB dibuat di dalam negeri dapat terwujud.
Kebijakan yang dimaksudkan Soeripno adalah penunjukan lembaga atau kementerian yang khusus melakukan riset dan pengembangan energi angin serta memberikan dana yang memadai. Sebab, dari pengalaman sebelumnya, dana pengembangan terbatas sehingga tidak cukup untuk sampai ke tahap pengujian prototipe. Pemerintah juga mendorong kerja sama lembaga riset dengan industri untuk membuat turbin angin skala industri serta produksi massal agar biaya produksi menjadi murah.
Soeripno menyebutkan peresmian PLTB Sidrap adalah bentuk pemahaman pemerintah terhadap manfaat energi terbarukan. Sebab, PLTB memanfaatkan sumber energi terbarukan yang bersih dan tidak menghasilkan emisi atau polusi. "Lebih jauh lagi, ini mendorong target Indonesia untuk meningkatkan persentase energi terbarukan dalam bauran energi untuk pembangkitan listrik menjadi 23 persen pada 2025," ujarnya.
Senada dengan Soeripno, Yoyon Ahmudiarto menyambut gembira hadirnya PLTB berkapasitas 75 megawatt ini. Namun Ketua Kelompok Riset Tenaga Angin LIPI itu juga menyimpan satu kekhawatiran. Ia teringat akan nasib PLTB di Nusa Penida, yang merupakan PLTBpertama dan terbesar saat diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 13 November 2007.
Di pulau di tenggara Bali itu, kata Yoyon, dipasang sembilan unit turbin horizontal atau kincir angin persis seperti yang dipasangdi Sidrap. Kapasitas setrum yang dihasilkan mencapai 720 kilowatt. Ternyata, baru setahun beroperasi, PLTB Nusa Penida, yang dibangun di Bukit Mundi Dusun Gunung Rata, Desa Klumbu, Nusa Penida, Klungkung, mangkrak. Listriknya tidak diterima PLN karena kualitas dayanya jelek. "Saya khawatir Sidrap juga akan begitu. Angin-anginan betul. Ada angin kencang, beberapa menit mati angin," katanya.
Yoyon mengakui, Sidrap berbeda dengan Nusa Penida. Menurut dia, potensi angin di Sidrap termasuk yang terbaik di Indonesia. Namun potensi itu masih di bawah standar kecepatan rata-rata angin di Eropa atau Amerika Serikat, yang di atas 10meter per detik.Berdasarkan data kecepatan angin per tahun pada 2004-2015, ujar Yoyon, kecepatan angin rata-rata per tahundi Sidrap berkisar 7 meter per detik. Pada periode Januari-April, kecepatan rata-rata angin per bulan terhitung rendah, yaitu 3-4 meter per detik. Adapun pada Mei-Agustus kecepatannyaterhitung tinggi dengan waktu puncak antara Juli dan Agustus.
Kecepatan angin 5-6 meter per detik menghasilkan sekitar 900 kilowatt setrum. Jika kecepatan angin naik menjadi 6-7 meter perdetik, dayanya bertambah jadi sekitar 1.500 kilowatt. "Masih jauh ke 2.500 kW," tutur Yoyon.
Dengan kondisi angin yang fluktuatif, menurut dia, ada potensi kualitas listrik yang dihasilkan PLTB Sidrap kurang bagus jika diterima PLN untuk dialirkan langsung ke pelanggan. "Solusinya perlu baterai, atau alat lain yang namanya roda gila. Tapi, untuk kapasitas yang besar, alat itu harganya mahal," ujarnya.
Solusi lain, menurut Yoyon, adalah mendirikan pabrik yang dapat memanfaatkan listrik PLTB. Pabrik tersebut bisamenanggung beban daya listrik yang fluktuatif, misalnya industri pengeringan atau produksi garam.
Niko Priyambada menampik anggapan bahwa PLTB Sidrap tidak efisien karena kondisi angin yang tidak kontinu sehingga membutuhkan baterai penyimpan daya berharga mahal. Menurut dia, sistem baterai yang terpasang pada suatu jaringan kecil mungkin dapat membantu stabilitas jaringan ketika produksi daya listrik PLTB menurun secara cepat. Namun, "Dengan peramalan ketersediaan angin secara benar, kondisi ini dapat dikelola melalui kapasitas terpasang cadangan jaringan tanpa memerlukan sistem baterai penyimpanan," ucapnya.
Dody Hidayat, Anwar Siswadi (bandung)
PLTB Sidrap
- Lokasi: Perbukitan Watang Pulu, Desa Mattirotasi, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan
- Luas area: 100 hektare
- Kapasitas: 75 megawatt
- Jumlah turbin angin: 30
- Jenis turbin angin: horizontal, kelas II-A
- Turbin angin: Gamesa G114 2,4 megawatt buatan Gamesa Corporacion Tecnologica, Spanyol
- Kapasitas turbin: 2,5 megawatt, dapat ditingkatkan menjadi 2,625 megawatt
- Tinggi menara: 80 meter
- Baling-baling: Terbuat dari serat kaca yang diperkuat dengan epoxy (resin poliester), panjangnya 57 meter
- Biaya pembangunan: US$ 150 juta (sekitar Rp 2,157 triliun)
- Tarif jual listrik ke PLN: US$ 11,41 sen per kilowatt-jam
- Pemilik: PT UPC Sidrap Bayu Energi, perusahaan konsorsium UPC Renewables Asia I dan III (Hong Kong); SunEdison Sidrap BV (Belanda); dan PT Binatek Energi Terbarukan (Indonesia)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo