Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Julukan Kota Hujan ternyata belum cukup untuk Bogor. Salah satu wilayah di Jawa Barat itu juga dikenal sebagai pemilik hari petir terbanyak, menurut catatan Guinnes World of Records pada 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahli Meteorologi Institut Pertanian Bogor (IPB), Sonni Setiawan, mengatakan kombinasi antara curah hujan yang melimpah, serta frekuensi petir yang tinggi, memperkuat reputasi Bogor sebagai salah satu kota dengan sambaran petir terbanyak di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Petir merupakan salah satu fenomena dalam badai guruh alias thunderstorm berupa kilatan yang terjadi di dalam awan cumulonimbus. Awan cumulonimbus ini terbentuk akibat adanya gerak konvektif, yakni saat parsel udara lembab bergerak vertikal ke atas akibat gaya apung,” katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 5 April 2024.
Selama proses konvektif tersebut, kata Sonni, udara lembab mengalami pendinginan, kemudian mengubah uap air dalam parsel menjadi awan. “Kumpulan awan konvektif bergabung membentuk awan cumulonimbus. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya badai guruh.”
Pengajar bidang geofisika dan meteorologi itu menyebut gerak konvektif ini tidak bisa terjadi secara spontan. Perlu pengaruh atau forcing eksternal yang mendorong parsel udara lembab.
Dorongan itu meliputi turbulensi, topografi, pemanasan radiatif yang tidak merata di permukaan, serta adanya pegunungan atau gunung yang besar. Butuh juga konvergensi skala besar di permukaan.
“Salah satu dari lima forcing tersebut berinteraksi dengan variasi angin dalam arah vertikal (vertical wind shear), sehingga awan cumulonimbus ini dapat berkembang menjadi badai guruh,” tutur Sonni.
Banyak Pemicu Petir di Kawasan Bogor
Sonni mengungkapkan, petir terjadi karena pemisahan muatan listrik di dalam awan cumulonimbus. Pemisahan itu membuat distribusi muatan listrik dalam awan tidak seimbang, sehingga terjadi loncatan listrik atau petir sebagai upaya menyeimbangkan muatan tersebut.
Salah satu dosen di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (FMIPA) IPB itu juga menyebut muatan listrik dalam cumulonimbus muncul dari kandungan senyawa elektrolit dalam droplet atau tetes air. Senyawa itu datang dari aerosol-aerosol yang terlarut dalam tetes awan. Aerosol itu bisa berupa garam dan senyawa-senyawa polutan. Ketika droplet bertumbukan satu sama lain, terjadi pemisahan muatan listrik.
Di Bogor, dia meneruskan, frekuensi petir sangat tinggi akibat kombinasi efek turbulen, perbedaan pemanasan di permukaan, topografi, pegunungan yang besar, serta konvergensi skala besar dengan wind shear.
“Keberadaan gas-gas polutan juga membuat frekuensi kejadian petir di Bogor sangat tinggi,” tutur dia.
Aktivitas bintik hitam di permukaan matahari—biasa disebut sunspot—juga mendongrak aktivitas petir dalam awan cumulonimbus. Sunspot berpotensi mempengaruhi aktivitas petir di atmosfer. Periode bintik matahari terjadi setiap 11 tahun.
“Fenomena petir di kawasan Bogor belum banyak dikaji secara intensif,” ucap Sonni.