Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bus kini menyisir Jalan Alt Moabit di tepi Sungai Spree di Humbolthafen, Berlin. Dari dalam bus, telunjuk Da-niel Szabo de Bucs mengarah ke satu titik. ”Itulah Kathedrale des Verkehrs,” kata pemandu dari Goethe Institut itu kepada Tempo. Senyumnya mengembang.
Dia mengucapkan kata bahasa Jerman yang berarti ”Ka-tedral Lalu-Lintas”. Dan dari ba-lik ka-ca jendela, terpampang se-buah bangunan beratap-berdin-ding ka-ca, memanjang. Bentuknya seper-ti perahu tertelungkup. Di d-e-pan pintu masuknya, berdiri se-p-asang menara besar dan tinggi (saya tahu kemudian tingginya 46 meter). Itulah Hauptbahnhof Berlin, stasiun pusat ibu kota Jerman. Saat itu pembangunannya baru rampung sekitar 80 persen.
Awal Maret, saat musim semi baru mulai, Tempo mampir ke sana. Suasana sama sekali berbeda: tiada sisa angin musim di-ngin yang menusuk. Suara bor, alat pengelas, mobil pengeruk tanah, dan derap ratusan pekerja berseragam kuning—konon jumlahnya sampai 900 orang—me-nga-lah-kan kencangnya tiupan -angin. Semua sibuk. Hujan yang sesekali lewat pun tak dirasakan para tukang itu.
Mereka menanggung tugas berat: membangun stasiun terbesar di Eropa. Setiap hari relnya ba-kal dilewati 1.100 kereta api yang datang-berangkat berganti-an, 90 detik sekali. Langkah 300 ribu penumpang per hari-nya akan menjejali setiap bagian da-ri Hauptbahnhof yang berdiri li-ma lantai: -satu di atas, empat di ba-wah tanah. Ini memang proyek raksasa. Daniel, 38 tahun, putra daerah bekas Bavaria, Jerman Selatan—tapi merasa se-bagai Berliner sejati—sangat bang-ga. Mi-riam Dagan, rekannya, le-bih suka menjuluki bangunan itu ”glaspalast”, istana kaca.
”Lima tahun belakangan ini perkembangan Berlin jauh lebih cepat daripada sebelumnya. Jumlah penduduk dan orang yang da-tang pun meningkat tajam. Kami memerlukan stasiun sebesar Hauptbahnhof untuk meng-antisipasi perkembangan ke depan,” kata Miriam.
Hauptbahnhof istimewa. Di da-lamnya, kita bagai di dalam sang-kar raksasa. Atapnya putih, transparan. Kubahnya melengkung seperti langit kedua di atas kita. Yang paling penting, bulan Juni-Juli ini ia akan dipenuhi orang. Berlin menjadi tuan rumah partai final Piala Dunia, 9 Juli.
Die Berliner Mauer alias Tembok Berlin yang terkenal itu telah diruntuhkan, November 1989. Se-jarah kelam yang memi-sah-kan Berlin Barat dan Berlin Timur tinggal kenangan peng-antar t-i-dur. Kini Hauptbahnhof diba-ngun, menggantikan tem-bok maut itu sebagai mon-umen baru bagi Berlin. Monumen yang penuh suasana cerah, secerah ca-haya yang terpantulkan dari kaca yang -menghabiskan 9.117 panel kaca yang menyelimuti ”Katedral” itu.
Juga, monumen bagi dunia dan terutama Eropa. ”Bangunan ini dibangun untuk abad mendatang,” kata Chief Executive Deutsche Bahn, lembaga yang mengelola perkeretapian Jerman, Hartmut Mehdorn. ”Ini stasiun tercantik di dunia. Kami senang dan bangga karenanya. Kami membangunnya demi pertumbuhan Berlin, kota yang tengah bergerak,” ujarnya seperti dikutip Deutsche Welle.
Rencana pembangunan sta-siun ini sudah tebersit 13-14 tahun lalu. Berlin punya U-Bahn (kereta subway) dan S-Bahn (kereta di atas tanah) dengan pengaturan lalu-lintas yang baik. Mer-eka terintegrasi dengan sarana tran-sportasi lain, baik trem maupun feri. Dari titik paling timur, kita bisa mencapai titik paling barat dalam tempo kurang dari satu jam. Untuk jalur utara-selatan, ceritanya sedikit berbeda. Tak ada jalur lurus utara-selatan. Dibutuhkan pindah subway berkali-kali atau ganti trem bila orang dari kawasan paling utara ingin mencapai Berlin pa-ling selatan.
Ya, mereka telah mendapatkan lokasi terbaik untuk me-letakkan persimpangan jalur barat-timur dengan utara selatan. Tak susah mencarinya. Berlin pernah p-unya stasiun terbesar pada zamannya, Lehrter Bahnhof, yang terletak di pusat kota. Stasiun ini diba-ngun pada 1868, kemudian hancur pada Perang Dunia II dan tak difungsikan lagi. Letaknya di Humbolthafen, bekas wilayah Jerman Timur.
Setelah rusak, Lehrter Bahnhof bagai tanah tak bertuan. Pa-dahal, ini pusat kota. Se-arah dengan Sungai Spree, di se-belah kanan ada kantor Kanselir Jerman. Sebelah kirinya gedung Deutscher Bundestag (Parlemen Jerman). Di tengah-tengah mere-ka ada Taman Spreebogenpark yang hijau. Di areal 90 ribu meter persegi, setara dengan sekitar sebelas lapangan bola, c-etak biru itu dipampangkan. Sta-siun yang semula hanya untuk S-Bahn itu akan ditambahi fasi-litas rel bawah tanah untuk U-Bahn. Tanah pun digali. Puluhan bom aktif yang tak sempat meledak sisa perang banyak ditemukan di bawah tanahnya.
April 2002, satu jalur S-Bahn sudah bisa digunakan. Kereta atas tanah bisa berangkat-berhenti dari stasiun ini se-nyampang para pekerja menyelesaikan kese-luruhan proyek. Pada tahun itu juga stasiun ini diberi nama resmi Berlin Hauptbahnhof Lehrter Bahnhof.
Karena stasiun itu masih dalam taraf pembangunan, Tempo tak bisa turun menengok pembangun-an bangunan bawah tanah. Ada ba-nyak sign system di sekitar stasiun tanda orang tak boleh melewatinya. Di atas jembatan Su-ngai Spree depan stasiun, berjajar patung-patung tentara Romawi ker-dil, menunduk, seperti menatap orang yang lewat di bawahnya. Dari sana, Taman Spreebogenpark terlihat terbentang.
Sepasang sepatu raksasa ter-geletak di taman. Patung sepatu, bagian dari kampanye Piala Dunia 2006 program budaya bertitel ”Land der Ideen” (tanah tercetusnya ide-ide besar). Dua gadis cilik bermain menendang-nen-dang bola di dekat sepatu raksasa. Ini menjelang Piala Dunia, semua orang harus bergembira dengan bola.
Kami melanjutkan perjala-nan dengan berjalan kaki ke Bun-des-tag untuk makan siang di res-to-ran yang terletak di atap gedung parlemen itu. Jarak dari sta-siun hanya ”sepertiga batang me-rokok Dji Sam Soe”. Dari atas atap gedung yang juga disebut Reichstag ini, Hauptbahnhof terli-hat lebih gagah. Menara sta-siun itu sepuluh meter lebih tinggi dari puncak Bundestag.
”Saya tak sabar ingin melihat ‘Katedral Transportasi’ itu berfungsi,” kata Daniel sambil menepuk punggung Tempo. Meski, kata Daniel, dia harus kehilang-an suasana ramai yang biasa ada di Stadion Zoologischer Garten, stasiun yang semula difungsikan sebagai stasiun utama Berlin.
”Pemuda punk, pengamen ja-lan-an, museum seks..., semua ada di Zoologischer. Tapi mungkin le-bih baik begitu. Biarlah ke-si-bukan penumpang pindah ke Haup-tbahnhof, dan Zoologi-scher sibuk dengan suasana lain. Mungkin malah lebih bagus buat Zoo, ya,” katanya, tanpa meminta jawaban.
Harapan Daniel kini mungkin su-dah terwujud. Sesuai dengan ren-cana, akhir pekan kemarin genaplah pembangunan Hauptbahnhof Berlin. Jumat lalu, Kanselir Angela Merkel meresmikannya. Dan kemarin, Minggu, 28 Mei, stasiun itu resmi beroperasi.
Sepuluh tahun masa pemba-ngun-annya telah tuntas. B-iaya yang dihabiskan mencapai 700 juta euro (sekitar Rp 8,3 tri-liun), lebih besar 200 juta euro dari anggaran semula. Bila di-tambah dengan biaya pembangunan jalur baru utara-selatan dan pembe-nah-an stasiun-stasiun penu-n-jang, jumlahnya bahkan mencapai 10 juta euro.
Panjang bangunan utamanya 450 meter, luasnya 42 ribu meter persegi, di atas tanah dan di bawah tanah. Tak kurang dari 80 toko dan bermacam restoran terdapat di lima levelnya. Dan terdapat 54 eskalator, 43 elevator, serta puluhan tangga biasa.
Tempat pemberhentian kereta jalur barat-timur yang bisa meng-hubungkan Paris-Moskow ada pa-da kedalaman 12 meter. Pada kedalaman 15 meter, terdapat pemberhentian jalur utara-selatan tem-pat kereta arah Kopenhagen-Athena.
Ya, Hauptbahnhof telah meng-gan-tikan Tembok Berlin, peninggalan sebuah masa kelam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo