Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Olympiastadion, Berlin, dua musuh itu kini ”hidup” berdam-ping-an. Yang pertama -Adolf Hitler, pemimpin besar NAZI. Dia menganggap orang kulit hitam bukan manusia. Yang ke-dua, Jesse Owens, atlet kulit hitam Amerika yang luar biasa, juga pem-benci Hitler.
Hitler menggusur stadion lama Grune-wald untuk membangun Olympia. Pada Olimpiade 1936 Hitler berharap, kehebatan ras -Ar-ya- dan kulit putih pada umumnya- akan terbukti. Jerman memang -men-jadi juara umum Olimpia-de. Ta-pi Owenslah monumen- hi-dup- itu-. Dia menjadi orang pertama- yang sukses menggondol em-pat emas sekaligus di Olimpia-de, di jalur lari jarak pendek. Stadi-on- Olympia kebanggaan Hitler menjadi saksi sejarah kehebatan -Owe-ns.
Pada 1984, nama Jesse Owen di-aba-dikan sebagai nama ja-lan se-k-tor selatan Olympia, Jesse Owens Allee. Ironis. Keti-ka masih- hidup, Hitler tak mau me-nya-lami- Owens- da-lam upacara pe-ngalungan me-dali.
”Kami bangga dengan stadion ini karena tak menyembu-nyikan apa pun, sejarah baik maupun yang buruk.” Pe-mandu wisata Stadion Olympia, Maren Krause, mengatakan hal itu saat berdiri di pintu ke-luar Jesse Owens Lounge. Letaknya sa-tu tingkat di atas pintu penghu-bung an-tara area parkir mobil VIP ke panggung kehormatan. Di si-tu dulu Hitler berjalan de-ngan gagah diiringi para ba-wahannya yang diibaratkan Maren ”berjalan merangkak”.
Olyimpia Berlin adalah satu dari 12 stadion yang bakal digunakan dalam Piala Dunia 2006. Dibanding Stadion Koeln, Frankfurt, Kaiserslautern, Stuttgart, atau Nuernberg (lihat boks), Olympia Berlin masih kalah tua. Tapi soal sejarah, Olympia dan Kota Berlin—tempat bekas reruntuhan tembok Berlin berada—tak ada dua-nya. Itu salah satu alasan Olympia Berlin menjadi tuan rumah partai final nanti, 9 Juli.
Bila berdiri di tribun timur dan mata menatap lurus ke depan, tampaklah dua Menara Glockenturm—simbol kebesar-an Olimpade 1936—yang berada di lapangan Maifeld, dan letaknya di luar arena sepak bola. Di belakang Maifeld ada teater terbuka Waldbuehne yang diilhami Epi-daurus, gedung teater abad III. Saat mengunjunginya pada akhir Maret, Tempo menyaksikan Waldbuehne tengah direnovasi.
Maren Krause juga menunjuk-kan batu prasasti bertuliskan na-ma-nama korban Perang Dunia II, di pintu utara. ”Hitler mena-ngis tersedu-sedu ketika Olympia dibombardir tentara Sekutu,” ka-ta-nya. Sesekali lengkingan burung gagak terdengar mengiringi pen-jelasan Maren.
Olympia Berlin mengalami renovasi terakhir pada 2004, khusus untuk menyambut Piala Dunia 2006. Biayanya 242 juta euro (sekitar Rp 2,7 triliun). Seperti ke-11 stadion yang lain, renovasi di Olympia Berlin tak mengubah arsitektur aslinya.
Stadion Hamburg, Hannover, Gelsenkirchen, Dortmund, atau Leipzig baru berdiri setelah Olympia Berlin ada. Karena itu, jangan membandingkan mereka dari segi nilai sejarahnya. Apalagi dengan Allianz Arena Muenchen yang baru dibangun pada 2002-2005, Olympia Berlin bak ”seorang kakek di depan cucunya”.
Pemerintah Jerman mengalokasikan dana kurang lebih 1,4 miliar euro (Rp 16 triliun) untuk merenovasi dan membangun ke-12 stadionnya. Dana terbanyak dialokasikan untuk Allianz Arena alias World Cup Stadion Muenchen—nama resminya pada Juni-Juli nanti—280 juta euro.
”Saya iri kepada mereka yang dapat bermain di stadion ini,” kata presiden pelaksana Piala Dunia 2006 Jerman, Franz Beckenbauer-, seperti dikutip Deutsche Welle. ”Di dunia ini tidak banyak stadion- yang menyerupai Allianz Arena. Jika berjalan melewati jalan tol dari arah utara, Anda akan melihat pemandangan terbaik dari stadion ini. Tak mengherankan bila banyak kecelakaan terjadi di area itu.”
Philipp Koester, Pemimpin Re-daksi 11 Freunde—majalah se-pak bo-la yang terbit dari Berlin—me-nga-takan campur tangan Beck-en-bauer membuat Muenchen men-jadi official city bagi Piala Dunia 2006. ”Padahal ibu kota Jerman ada di Berlin,” kata pria berusia 30-an ini.
Sebenarnya Muenchen punya- stadion yang tak kalah berseja-rahnya dibanding Olympia Berlin. Itulah Olympia Muenchen. Mes-ki tak setua ”saudaranya” di Ber-lin, Olympia Muenchen yang di-bangun pada 1974 menyimpan ke-nangan final Piala Dunia 1974. -Sa-at- itu, di bawah pimpinan kapten tim Becken-bauer, Jerman mengalahkan Belanda 2-1 dan menggondol gelar juara dunia.
Olympia Berlin telah ditinggal-kan dua penghuninya, klub Bayern- dan TSV 1860. Sejak 2005 mereka menghuni Allianz Arena.
Stadion Allianz Arena memang ”wah”. Situs resmi FIFA mengo-men-tari setiap stadion Piala Dunia Jerman dengan kata-kata ”sa-ngat bagus” atau ”hebat”, khu-sus Allianz Arena mereka menyebutnya dengan kata ”menakjubkan.” Bentuknya futuristik, mengge-lembung, sesuai dengan julukan-nya schlauchboot (rakit yang menggelembung). Itu karena selubung dari bahan dasar fiberglas yang menyelimutinya.
Bila pertandingan dilaksanakan ma-lam hari, selubung itu me-men-darkan cahaya berbeda: merah bila Bayern Muenchen yang bermain, biru bila TSV 1860 bertan-ding, dan putih jika tim lain bertan-ding.
Un-tungnya, final Piala Dunia nan-ti dilaksanakan di Olympia Ber-lin dan bukan di Allianz Arena. Bila Jerman masuk final, potensi kecelakaan mobil di sekitar stadion kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo