Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi Kanjuruhan masih menjadi catatan sejarah hitam dalam sepak bola Indonesia. Ratusan orang menjadi korban meninggal dan luka-luka dalam kejadian itu. Tempo mengali cerita dari suporter yang menjadi saksi kejadian memilukan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Lima belas menit setelah wasit Agus Fauzan Arifin meniup peluit tanda berakhir pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya di Liga 1 pekan ke-11 telah mengubah sejarah sepak bola Indonesia. Kekalahan dengan skor 2-3 dari rivalnya membuat Skuad Singo Edan tertunduk lesu di tengah lapangan di hadapan sekitar 40 ribu pendukungnya yang memadati Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pertandingan bertitel Derbi Jawa Timur itu dimulai sekitar pukul pukul 20.00 WIB dan berakhir 22.00. "Lima belas menit setelah pertandingan itu, ketika seluruh pemain Persebaya sudah masuk ke ruang ganti, ada dua suporter yang turun dari tribun dan mendatangi serta berdiskusi untuk memberi semangat para pemain Arema," ujar salah satu Aremania, Dito Suryo Prasetyo saat ditemui Tempo di rumahnya di Malang, Minggu, 2 Oktober 2022.
Tindakan dua orang suporter itu, kata Dito, membuat aparat mengejarnya ke dalam lapangan. Pengejaran itu yang memancing suporter lain untuk ikut masuk ke lapangan. "Padahal sebenarnya tidak ada apa-apa kalau aparat tidak mengejar, buktinya pas Persebaya masuk ruang ganti, tidak ada masalah," kata suporter Arema berusia 34 tahun ini.
Ketika makin banyak suporter yang turun ke lapangan, Dito yang menonton dari tribun VIP melihat terjadi pemukulan yang dilakukan oleh aparat yang berasal dari TNI dan Polri. Selain pemukulan, menurut Dito, aparat yang berada di lapangan pun mulai mengiring suporter kembali ke tribun dengan menembakkan gas air mata.
"Saya pun sempat turun dari tribun untuk menolong salah seorang suporter yang sempat dipukuli, abis itu saya diteriaki untuk kembali ke tribun pas gas air mata meletus di dekat saya," ujarnya.
Polisi tidak hanya menembakkan gas yang mengandung chloroacetophenone (CN), hlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA) dan dibenzoxazepine (CR) itu ke arah suporter yang berada di lapangan. Sasaran tembak pun diarahkan ke suporter yang tetap berada di Tribun. "Padahal kan yang di tribun tidak berbuat apa-apa dan sudah mau kembali," kata Dito.
Menurut dia, hampir setiap sisi tribun sempat ditembaki gas air mata untuk membubarkan suporter. Namun, kata Dito, yang paling parah terjadi di sisi selatan yang tepat berada di sebelah kanan Tribun VIP. "Ada kok itu video suporter yang di sisi selatan itu tidak melempar atau berbuat sesuatu tapi malah ditembaki gas air mata."
Setelah penembakan gas air mata itu, dia melanjutkan, kepanikan mulai melanda seluruh isi stadion. Setiap orang mulai menyelamatkan diri ke arah ruangan atau tempat yang tidak lagi lagi menghirup perihnya bau gas. "Kalau kami di VIP masih bisa akses air mengalir dari toilet yang ada dalam ruang tertutup di belakang tribun," kata dia.
"Yang kasihan itu teman-teman yang berada di tribun ekonomi karena tempat duduk langsung ke pintu yang malah beberapa dalam kondisi tertutup."
Selain tertutupnya sebagian pintu keluar stadion dari tribun, menurut Dito, jatuh banyak korban karena jalur evakuasi menuju rumah sakit yang hanya satu jalur yakni Gerbang Utama yang berada di Jalan Trunojoyo, Krajan, Kedungpedaringan, Kec. Kepanjen. Pintu alternatif yang juga terdapat di sisi timur Gerbang Utana tidak terbuka.
Jalur selatan yang melewati Markas Batalyon Zeni Tempur 5/Arati Bhaya Wighina Kodam Brawijaya tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat seperti ambulans. "Gerbang utama pun hanya satu yang terbuka malam itu, bagaimana ambulans mau lewat padahal disaat bersamaan ada yang mau balik, masih ada juga suporter yang masih marah dengan membakar mobil polisi di parkiran dan depan gerbang," katanya.
Menurut dia, jika akses evakuasi bisa lebih banyak, jumlah korban bisa diminimalkan. Dito menyebutkan evakuasi baru berjalan lancar setelah kerusuhan mereda sekitar pukul 01.00 WIB, sehingga lalu lalang kendaraan bisa lebih cepat menuju rumah sakit terdekat. "Tapi itu sudah terlambat karena korban meninggal sudah berjatuhan di lokasi."
Kondisi minimnya jalur evakuasi juga disampaikan oleh Trisman, 56 tahun. Anggota Tim SAR Kanjuruhan yang sempat ikut menonton laga derbi berujung tragedi tersebut.
Ia sempat menolong salah satu korban meninggal karena menghirup terlalu banyak gas air mata sehingga sesak napas. "Saya sempat gendong anak itu, tapi tidak bisa ditolong lagi setelah 15 menit, karena terjebak di tribun," ujar Trisman ketika ditemui Tempo di Patung Singa, Stadion Kanjuruhan, Malang, 3 Oktober 2022.
Setelah suporter sudah bisa meninggalkan tribun, menurut Trisman, upaya penyelamatan korban tidak bisa langsung dilakukan. Ia menyebutkan kendalanya terjadi pada akses ke rumah sakit. "Ambulans itu kesulitan lewat karena di depan ada mobil terbakar sehingga jalan depan gerbang mengecil," katanya.
Menyusul terjadinya Tragedi Kanjuruhan yang menyebabkan 125 orang meninggal menurut versi polisi, kompetisi sepak bola Liga 1 dan Liga 2 dihentikan dan belum bisa dipastikan kapan akan kembali digulirkan.
IRSYAN HASYIM
Baca Juga: Arema FC Tanggapi Akses Keluar Stadion Kanjuruhan yang Disebut Tertutup Saat Ricuh