Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dari 12 stadion tempat pertandingan Piala Dunia 2018, Ekaterinburg Arena menjadi satu-satunya fasilitas yang “terbelah”. Alih-alih sebuah bangunan utuh beratap, stadion ini memiliki dua panggung terbuka setinggi 45 meter bagi para suporter di sisi belakang gawang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekaterinburg Arena berdiri di atas cagar budaya. Artinya, struktur bangunan yang awalnya bernama Central Stadium itu tidak boleh diutak-atik. “Stadion itu adalah monumen sejarah, warisan gaya arsitektur Uni Soviet,” kata Anatolii Kalitka, seorang warga Yekaterinburg, Jumat pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stadion ini menjadi petunjuk perkembangan olahraga di Yekaterinburg dalam dua abad terakhir. Awalnya, stadion ini hanyalah velodrome kecil. Kamaletdin Agafurov, seorang pedagang, mensponsori pembangunannya pada 1900.
Pada 1913, tiga lapangan sepak bola, tenis, dan area kriket melengkapi velodrome tersebut. Saat itu, sepak bola menjadi olahraga terpopuler di Yekaterinburg. Pada 1928, atau satu dekade setelah Revolusi Bolshevik yang merontokkan kekuasaan kekaisaran Rusia, Uni Soviet membangun Lenin Stadium, yang dilengkapi dengan tribun kayu berkapasitas 5.000 tempat duduk.
Stadion yang lebih besar dibangun pada 1953. Bangunan berwarna gading itu dipenuhi desain relief, pahatan, dan patung-patung. Stadion ini menjadi satu dari 10 fasilitas olahraga terbaik Uni Soviet. Di dalamnya ada arena ski es, hoki, sepak bola, balap sepeda, dan tenis. Hingga saat ini, warna dan ornamen dinding stadion masih terawat dengan baik.
Untuk perhelatan Piala Dunia, federasi sepak bola dunia, FIFA, menetapkan aturan bahwa stadion setidaknya harus berkapasitas 35 ribu kursi. Sementara itu, stadion yang menjadi markas Ural FC, klub Liga Primer Rusia, ini cuma bisa menampung 23 ribu orang.
Sejak 2010, stadion ini direnovasi. Bersama Luzhniki Stadium, Ekaterinburg Arena hanya mendapat jatah pemugaran. Sedangkan 10 stadion lainnya dibangun dari nol alias fasilitas baru.
Tidak boleh merombak bangunan asli, para arsitektur membuat “pembungkus” dari kerangka logam dan lembaran metal berlubang menjadi dinding stadion. Mereka sengaja membuka dua bagian dinding utara dan selatan sebagai tempat mendirikan tribun tambahan.
Praktis, dua tribun berkapasitas 12 ribu kursi ini berada di luar stadion. Para penonton duduk di sini beratapkan langit. Dari jalanan, kerangka-kerangka logam itu terlihat jelas seperti perancah untuk bangunan. Ide ini dianggap sebagai solusi terbaik agar tidak mengganggu bangunan lama.
Meski demikian, solusi alternatif itu tak lepas dari kritik. “Banyak yang menyebut tampilannya jadi aneh, apalagi jika dilihat dari sisi tribun tambahan karena stadion seperti dipotong,” kata Kalitka, yang merupakan pekerja desain tata panggung opera.
Seusai perhelatan Piala Dunia, tribun-tribun sementara itu akan dibongkar. Kapasitas tribun akan kembali menyusut menjadi 23 ribu tempat duduk. Namun wajah asli stadion bersejarah itu bakal kembali terbuka.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA