Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengiris hati, sedih, dan mengharukan. Suasana itu menguar di sepanjang film Keluarga Cemara. Film besutan Yendi Laurens itu mengetengahkan romantika kehidupan keluarga Abah (Ringgo Agus Rahman) dan Emak (Nirina Zubir). Kebersamaan dan perjuangan untuk mewujudkan kebahagiaan menjadi benang merah film yang diangkat dari serial televisi pada 1996 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluarga Cemara dulu adalah serial yang cukup digemari penonton. Ada Adi Kurdi yang berperan sebagai Abah yang sabar dan Lia Waroka atau Novia Kolopaking sebagai emak. Ada tiga anak-anak yang pintar, penurut, tapi cukup kritis: Euis, Cemara (Ara), dan Ragil. Serial itu diangkat dari novel Arswendo Atmowiloto berjudul sama, yang pernah dimuat bersambung di majalah Hai, 45 tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam versi film kini, ada Abah, Emak, Euis yang sudah SMP, Cemara (Ara) yang mau masuk sekolah, dan Ragil yang baru lahir. Ringgo Agus Rahman cukup bagus berperan sebagai Abah, ayah, lelaki yang sangat sayang kepada keluarganya. Ringgo, yang kadang berakting di film komedi, terlihat cukup meyakinkan sebagai ayah yang berjuang keras menghidupi keluarga.
Abah merasa bersalah telah menyusahkan kedua anak dan istrinya karena usaha propertinya bangkrut. Emak (Nirina Zubir) digambarkan sebagai istri yang sangat pengertian, sabar, dan ulet. Emak dalam film ini lebih sabar dibanding emak di sinetron yang sesekali masih menginginkan kehidupan di Jakarta dulu sebelum mereka bangkrut.
Penebusan dosa abah diwujudkan dengan bekerja keras. Namun itu malah membuatnya jatuh sampai kakinya patah. Ia pun menjadi kesal dan marah sendiri ketika merasa makin menyusahkan anak dan istrinya. Sampai-sampai kemarahan itu ditumpahkan kepada anak sulungnya, Euis (Adhisty Zara).
Euis adalah gadis remaja yang sedang mencari jati diri, menginginkan kebebasan dan zona nyaman bersama teman-temannya di kota. Konflik dan luka batinnya timbul karena sang ayah terus-menerus mengingkari janji, misalnya tak datang saat ulang tahun. Ia juga merasa sang ayah mengekangnya.
Ia pun tak siap dengan kebangkrutan sang ayah. Terusir dari rumah lalu pindah dan hidup di pelosok, tercerabut dari kehidupan nyaman di kota dengan segala hiruk-pikuk pergaulan dan hobi ngedance-nya. Hingga beradaptasi dengan kehidupan di kampung dan ikut membantu berjualan.
Puncaknya, Euis dan Cemara nekat merebut sertifikat rumah mereka yang hendak diserahkan kepada pasangan yang membeli. Mereka menghalangi penjualan rumah agar bisa kembali ke Jakarta. Abah pun murka dan meluapkan segala penyesalan dan amarahnya kepada diri sendiri serta anak-anaknya. Namun Euis spontan melawan,"Abah hanya bisa janji."
Perlawanan Euis seperti meruntuhkan batin Abah. Ia semakin terpuruk dan menyesal karena tak mampu membahagiakan keluarganya. Namun, dengan bijak, emak menguatkan suaminya, memeluknya dengan segenap cinta. Kedua anaknya pun ikut luruh.
Mereka menyadari situasi susah dan harus saling menguatkan. Sebuah momen yang menyentuh batin dan membuat penonton ikut terharu. Tapi ada saatnya penonton dibuat tertawa. Misalnya, tingkah dan celetukan lucu dari Cemara (Widuri Sasono) atau tingkah Ceu Salma (Asri Welas), perempuan yang memberikan pinjaman, cerewet tapi mudah terharu akan hal-hal sentimental.
Film Keluarga Cemara secara plot tak jauh dari plot serial televisi yang disutradarai Ed Pesta Sirait. Dialog-dialognya sarat akan nilai-nilai budi pekerti. Hanya, penulis naskah dan sutradara mengemas persoalan dan situasi dengan konteks kekinian dan plot yang lebih disederhanakan. Misalnya, bisnis properti dengan segala aspek pergulatannya hingga jatuh-bangun serta anak remaja dengan peer group-nya yang demam ngedance dan tak bisa lepas dari ponsel serta media sosial.
Abah, yang di televisi menjadi tukang becak, kini berprofesi sebagai pengemudi ojek online. Adapun Euis, sebagaimana di televisi, tetap ada adegan berjualan opak sepulang sekolah demi membantu orang tuanya. Seperti di serial, ada pula adegan Euis dirundung teman-teman sekolahnya ketika ia mendapat menstruasi.
Film ini memperlihatkan masa sulit jatuh bangkrut, harus bergulat dengan lingkungan baru dan ekonomi susah. Namun Abah dan Emak tetap berusaha mengajarkan nilai-nilai budi pekerti kepada anak-anaknya. Mengajari nilai-nilai kehidupan yang serba tak mudah.
Keluarga Cemara boleh dikatakan mampu memberikan teladan kepada keluarga muda kini bagaimana membangun dialog dalam keluarga dan memberikan pengertian tanpa terlalu menggurui, tapi memberikan contoh dalam bersikap. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo