Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Titik temu perdebatan antara sistem singlex mux dan multi mux tetap tidak bisa membuat Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) dibawa ke sidang Paripurna pada masa sidang ketiga DPR Februari ini. Sebab, masih ada sejumlah pasal yang menjadi perdebatan di antara para anggota Badan Legislasi (Baleg). “Posisi kami sekarang menunggu dan siap membahas bersama pemerintah jika sudah ditugaskan rapat paripurna,” kata Wakil Ketua Komisi I –Komisi yang akan membahas RUU Penyiaran ini- Meutya Viada Hafid kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan lalu Ketua DPR Bambang Soelistyo mengumumkan DPR dan Pemerintah telah sepakat untuk menggunakan sistem hybrid multiplexing dalam RUU Penyiaran. Kesepakatan diambil dalam rapat yang dihadiri para pimpinan fraksi DPR dan Menteri Komunikasi dan Informasi Rudianta pada Selasa (13/2/2018).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya terjadi perdebatan alot perihal mana yang akan dipilih dalam RUU Penyiaran, multi mux atau single mux. Pada model multi mux penguasaan frekuensi dipegang banyak pemegang lisensi, yakni meliputi perusahaan-perusahaan penyiaran swasta dan pihak pemerintah. Ada pun model single mux, penguasaan frekuensi sepenuhnya ada di tangan negara.
Dalam single mux maka yang berperan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai penyelenggara layanan digital yang mengelola frekuensi dan infrastruktur digital. Pada model multi mux, LPP RTRI dan setiap lembaga penyiaran swasta berjalan masing-masing.
Sebelumnya Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Ishadi SK, menolak sistem single mux. Menurut Ishadi, sistem ini berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokrasi penyiaran. Menurut Ishadi dengan frekuensi dan infrastruktur dikuasai single mux operator, menunjukkan posisi dominan atau otoritas tunggal pemerintah yang berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.
Wakil Ketua Badan Legislasi Firman Soebagyo menyatakan model hibrida yang akhirnya disepakati itu bisa menumbuhkan demokrasi penyiaran serta persaingan usaha akan berlangsung sehat tanpa monopoli.
Dengan sistem hybrid ini maka pemerintah dan swasta membagi jatah frekuensinya. Dengan model ini, menurut Firman, swasta hanya menguasai satu frekuensi untuk dikelola sendiri. “Satu frekuensi kalau itu menggunakan resolusi tinggi maka bisa menjadi delapan channel ,” katanya. Ada pun swasta yang memiliki frekuensi lebih mesti mengembalikan kelebihannya ke negara.
Sebelumnya selain perdebatan mengenai single mux dan multi mux, ada juga perdebatan yang tak kalah alot mengenai sejumah aturan dalam RUU Penyiaran itu. Setidaknya ini menyangkut empat hal. Pertama, mengenai badan migrasi digital, dari analog ke digital. Kedua, batas akhir migrasi dari analog ke digital. Ketiga soal dividen, dan ke empat tentang investasi asing. Dalam hal terakhir ini, Pemerintah membolehkan investasi asing dengan maksimal 20 persen sedang Komisi I sebelumnya ”nol.” “Komisi I mengkehendaki "0" persen, tetapi Baleg menemukan ternyata ada peraturan presiden sebagai peraturan turunan UU Investasi,” kata Firman.
RUU Penyiaran yang “berhenti” di Baleg merupakan revisi UU Penyiaran No. 32/2002. RUU ini sudah setahun lebih berada di Badan Legislatif yang artinya sudah melewati masa sidang lima kali. Pekan lalu rapat pimpinan DPR meminta RUU Penyiaran ini segera diselesaikan dan dibawa ke rapat paripurna –yang tentu saja dalam masa sidang berikutnya.
“Kami harap apapun yang mengganjal di Baleg segera selesai. Jika pun ada yang belum disepakati sebaiknya dibawa ke Paripurna saja agar perjalanan RUU ini bisa jalan,” kata Meutya.
LESTANTYA R. BASKORO