Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Tempat tinggal bagi banyak orang merupakan prioritas, selain mencukupi kebutuhan pangan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, tempat tinggal pun tak lagi sekadar berfungsi sebagai tempat untuk berteduh dari panas dan hujan, melainkan juga sebagai investasi. Sejumlah orang melakukan investasi di pasar properti sejak beberapa tahun lalu karena perkembangannya yang menjanjikan.
Bagi generasi milenial yang lahir di atas 1980-an, sektor properti belum begitu menarik, baik sebagai investasi maupun hunian. Chief Creative Officer OMG & Consulting dan Co-Founder Inspigo, Yoris Sebastian, mengatakan generasi milenial memilih membeli pengalaman dibanding barang, termasuk properti. "Kecuali propertinya dibelikan orang tua, ya, pasti mau," katanya berkelakar kepada Tempo, Senin lalu.
Penulis buku Generasi Langgas yang bercerita tentang generasi milenial ini menuturkan generasi tersebut lebih memilih berpelesir dan mencari kuliner lezat. Di sana, Yoris mengimbuhkan, generasi milenial bisa membeli pengalaman yang kemudian diunggah ke media sosial. Bahkan berpelesir pun kalau bisa dicicil selama dua tahun untuk perjalanan yang jauh.
Hal ini membuat adanya pergeseran cicilan, dari rumah atau mobil ke cicilan untuk berpelesir. Belum lagi ditambah kegemaran milenial berganti telepon seluler. Dengan demikian, ketika berpelesir dan berwisata kuliner, momennya bisa terabadikan dengan baik.
Bagi milenial yang memiliki penghasilan tinggi, kata Yoris, mereka masih berminat mengambil rumah dengan skema kredit pemilikan rumah (KPR). Namun, Yoris mengungkapkan, kebanyakan mereka memilih tinggal bersama orang tua atau mertua. Bahkan di Amerika Serikat pun kecenderungannya juga tinggal dengan orang tua atau mertua.
Kendati begitu, Rumah.com baru-baru ini mengeluarkan survei berjudul Property Affordability Sentiment Index H1-2018. Survei tersebut bekerja sama dengan lembaga riset Intuit asal Singapura dengan total 785 responden dan menggunakan metode kuesioner online dengan margin eror plus-minus 4 persen. Hasil survei ini mencatat bahwa generasi Y-atau milenial-masih punya minat memiliki hunian.
Dalam survei itu, responden milenial lebih banyak berada dalam kategori pembeli rumah pertama. Mereka yang berusia 20-29 tahun sebanyak 69 persen berniat membeli rumah pertama, dan hanya 12 persen yang berniat untuk investasi. Adapun milenial yang berumur 30-39 tahun sebanyak 48 persen juga masih mencari rumah pertamanya dan 21 persen lainnya berniat untuk investasi.
Jika dilihat dari penghasilannya, 59 persen responden berpenghasilan di bawah Rp 7 juta berniat membeli rumah pertama mereka, dan 12 persen di antaranya berniat untuk berinvestasi. Sedangkan dari penghasilan Rp 7-15 juta, 47 persen di antaranya masih mencari rumah pertama, dan 23 persen lainnya sudah berani berinvestasi.
Bagi mereka yang berpenghasilan di atas Rp 15 juta, 47 persen dari mereka berniat untuk berinvestasi di sektor properti. Investor properti paling banyak berasal dari golongan usia di atas 49 tahun sebesar 33 persen, dan hanya 16 persen yang masih akan membeli rumah pertama.
Head of Marketing Rumah.com, Ike Hamdan, mengatakan biaya yang diperlukan untuk berinvestasi di pasar properti yang tinggi menjadi alasan masyarakat membeli rumah sebagai tempat tinggal. Ia menjelaskan, inilah yang ada di benak konsumen muda yang rata-rata masih menata kondisi keuangannya. "Saat keuangan sudah baik, konsumen mulai berpikir berinvestasi," katanya pada Rabu pekan lalu.
Ike menjelaskan, minat milenial terhadap rumah tapak masih lebih tinggi dibanding apartemen. Sebanyak 98 persen mengaku berminat membeli rumah, dan sisanya menyatakan tidak berminat. Sebanyak 94 persen milenial berusia 21-39 tahun menyatakan lokasi sebagai salah satu pertimbangan dalam membeli properti. Hal ini mengindikasikan lokasi lebih penting dibanding harga.
Rizen Panji, 27 tahun, pekerja swasta, mengatakan faktor harga menjadi alasan utama membeli rumah. Ia membeli rumah tapak di Depok sejak 2017, dengan pembayaran tunai sebesar 75 persen dan sisanya dicicil. Ia yang gemar berpelesir ini juga mengaku intensitasnya berpelesir berkurang sejak memiliki rumah. "Sedikit berkurang, jadi jarang bepergian," kata dia.
Yoris melihat ada kemungkinan milenial terancam tidak bisa memiliki hunian. Alasannya, harga properti yang terus naik tidak seimbang dengan kenaikan gaji milenial sebagai karyawan. Adapun milenial yang bekerja adalah demografi terbesar dari semua milenial di Indonesia, yaitu 84 juta dari generasi milenial yang lahir pada 1980-2000.
Ia melihat perlunya edukasi secara detail agar generasi milenial bisa memiliki properti sendiri, misalnya memiliki tabungan untuk tujuan berbeda. Meski begitu, ia tidak mempermasalahkan jika milenial memilih sewa apartemen saja. "Kita memasuki era ownerless, bisa jadi model bisnis properti yang berubah," kata Yoris. DIKO OKTARA
Menabung untuk Jalan-jalan
Milenial-atau biasa disebut Generasi Y-adalah generasi yang lahir pada 1980-2000. Hasil survei Merrill Edge, Bank of America Corporation, pada 2017 menunjukkan 63 persen generasi milenial menabung untuk memuaskan hasrat gaya hidup yang mereka inginkan. Mereka cenderung memiliki mentalitas fear of missing out atau FOMO. Secara sederhana, mentalitas ini dapat diartikan sebagai rasa takut tertinggal hal-hal menarik di luar sana atau menjadi tidak eksis.
Survei terhadap 1.023 responden dari generasi ini juga menyebutkan:
Jalan-jalan
- 81 persen cenderung menghabiskan uang untuk melakukan perjalanan
Kuliner
- 65 persen menyukai kuliner
Kebugaran
- 55 persen pergi ke pusat-pusat kebugaran
Bila milenial pada akhirnya membeli properti, kalangan ini akan:
-Memiliki tabungan yang berbeda-beda. Misalnya, ada tabungan untuk rumah, berpelesir, dan kuliner.
-Memilih lokasi properti yang sesuai dengan isi kocek. Hunian di tengah kota sudah pasti lebih mahal dibanding di pinggiran kota.
-Mengikuti program cicilan down payment atau DP.
-Mengambil KPR dengan tenor paling panjang.
DIOLAH BERBAGAI SUMBER | DIKO OKTARA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo