Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Penari Lembah Kupu-kupu

S. Prasetyo Utomo lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Dia menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018. Sejak 1983, ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa.

8 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penari Lembah Kupu-kupu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prasetyo Utomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMBAH Kupu-kupu dicapai Azqila dengan perjalanan perahu menjelang langit gelap. Ia mengikuti Anka, kekasihnya, seorang pemandu wisata, mengantarkan lima pasang turis Yunani, menaiki perahu dari pantai Oludeniz. Lima pasang turis itu mencari tempat sunyi di Lembah Kupu-kupu. Mereka mendirikan tenda di antara pohon zaitun, delima, lemon, dan aprikot. Menghadap teluk. Menyalakan api unggun pada malam senyap.  

Anka memainkan riq 1) dan Azqila berdiri di depan api unggun. Mempertontonkan getar pinggul, perut, dan dada mengikuti entakan perkusi itu. Ia biasa bekerja sebagai penari perut dalam gedung seni pertunjukan Hodja Pasha, Istanbul, yang senantiasa dikagumi turis. Sudah bertahun-tahun ia melatih getar pinggul, perut, dan dada, diperagakannya semenjak kecil di ladang delima Pamukkale. Ia pengagum kupu-kupu dan ingin menari seindah kupu-kupu di atas mahkota bunga. Ia pernah melakukan perjalanan seorang diri ke Museum Kupu-kupu di Konya. Tetapi tak terpuaskan dengan memandangi aneka kupu-kupu itu. Ia memimpikan mencapai Lembah Kupu-kupu, dan ingin menari perut dalam cahaya api unggun, dengan penonton yang mabuk raki 2).   

“Ayo, kita nikmati tari perut!” seru Anka. Lima pasang turis duduk di depan tenda, menghadap api unggun. Azqila memeragakan tari perut dengan iringan riq yang dimainkan Anka. Mestinya ia menari dengan iringan oud 3), qanun 4), nay 5), dan riq.

Saat Azqila melakukan shimmy, gerakan pinggul yang menggeletar, dan belly roll, yang menggetarkan otot-otot perut, para turis mulai rakus menenggak raki, minuman yang membuat mata mereka kian terbelalak. Ketakjuban lima pasang turis itu menjadi-jadi saat Azqila melakukan chest lift, membusungkan dada dan melakukan gerakan yang menggetarkan payudara. Sepasang mata Azqila serupa sihir penari purba. Penari perut itu sejenak terlupa dengan peristiwa dalam benaknya: bagaimana ia bisa menemui ibu kandung. Selama ini ia hanya mengenal ayah angkat yang sudah meninggal, dan ibu angkat yang tak merestui ia menjadi penari perut.

Dalam nyala api unggun itu, muncul hasrat yang menjilat-jilat jiwa Azqila saat bertemu dengan ibu kandung yang tak pernah dilihatnya.   

***

TERBANGUN pagi hari, Azqila sadar betapa indah teluk yang sepi dengan air laut yang tenang. Kupu-kupu aneka warna beterbangan di antara pepohonan zaitun, delima, lemon, dan aprikot. Tiap kali melihat kupu-kupu beterbangan, selalu ia ingin melakukan tari perut di antara alam, pepohonan, dan bunga-bunga.

Gadis itu teringat saat menemani ibu angkatnya memetiki buah-buah delima di ladang, dan berpamitan untuk meninggalkan Pamukkale, mencari peruntungan nasib di Istanbul demi menjadi penari perut.

Lama ibu angkat memandangi Azqila, seperti tak yakin bahwa anak yang telah dibesarkannya semenjak bayi itu akan meninggalkannya. “Kau akan mengikuti jejak ibu kandungmu sebagai penari perut?”

Azqila tak bisa menjawab. Ia juga tak pernah memahami akan hasrat yang senantiasa menjalar dalam hati untuk menjadi penari perut, dan rasa takjub yang tak pernah surut terhadap kupu-kupu. Ia selalu merindukan menari di antara kupu-kupu yang beterbangan di alam terbuka. 

“Apa kau ingin bertemu dengan ibu kandungmu?” kembali ibu angkat Azqila bertanya.

“Tentu. Aku akan mencarinya.”

“Kau bisa melacak dari panti asuhan tempat aku dulu mengambilmu,” kata ibu angkat gusar. “Kuambil kau dari sebuah panti asuhan di Istanbul.”      

“Akan kulacak panti asuhan itu. Akan kutemukan ibu kandungku,” kata Azqila, merasakan kegundahan hati, harapan untuk bertemu dengan ibu kandung, dan siapa tahu, bisa bertemu dengan ayahnya.

Azqila menyusuri pasir pantai. Membebaskan diri dari kenangan masa silam bersama ibu angkat di ladang delima. Ia memuaskan diri berlarian di antara aneka kupu-kupu yang beterbangan di sekelilingnya. Ia berenang di teluk yang tenang, di bawah tebing curam Gunung Babadag. Ia tak mau kehilangan kesempatan bermain-main di Lembah Kupu-kupu yang bertahun-tahun diimpikan.  

***

MENJELANG gelap malam, kelima pasang turis sudah duduk di depan tenda, menyalakan api unggun, menenggak raki dari botol, mendengarkan Anka mengentak riq. Sekilas Azqila memandangi lima pasang wajah turis yang mencari ketenangan di Lembah Kupu-kupu. Mereka seolah-olah tak memiliki persoalan hidup seperti yang dipendamnya selama ini. Atau, mereka telah melupakan persoalan hidup dengan tinggal di tenda bersama kekasih di Lembah Kupu-kupu, berenang di teluk yang jernih, menenggak raki sambil menonton tari perut pada malam hari?

Saat menari, Azqila membayangkan peristiwa yang dialaminya di Istanbul. Ia melacak panti asuhan yang disebutkan ibu angkatnya. Ia bertemu dengan Alara, perempuan delapan puluh tahun, pemilik panti asuhan. Alara tak menikah. Selama enam puluh tahun, Alara merawat anak-anak panti asuhan dan tak pernah merasa kesepian. Alara menemukan kebahagiaannya bersama anak-anak yang diasuhnya. Sepasang mata perempuan tua itu jernih dan tulus. Azqila tak pernah menatap sepasang mata yang jernih dan setulus itu.  

“Aku datang untuk mencari ibu kandungku,” kata Azqila. “Semoga kau bisa menunjukkan ibu kandung kepadaku.”  

Alara memandangi Azqila tajam, lama, cermat, dan menduga-duga. “Berapa umurmu? Dua puluh tahun? Semoga aku bisa menemukan catatan tentang ibu kandungmu.”

Alara mengajak Azqila ke ruang kantornya. Mencari dokumen yang telah tersimpan selama dua puluh tahun. Ditemukan. Tertulis dengan tinta yang sudah agak luntur. Tetapi masih jelas terbaca. “Ibumu seorang penari perut ternama. Tentu kau akan mudah menemukannya.”

Azqila melupakan bayangan wajah ibu kandungnya. Ia terus menggetarkan pinggul, perut, dan dadanya. Kali ini tiga turis perempuan turut menari perut bersamanya. Ketiganya masih muda, dengan tubuh yang singset, dan penuh gairah. Tetapi tak seorang pun sanggup mengikuti getar tubuh Azqila dengan sempurna. Azqila terlahir sebagai seorang dewi tari perut, yang tiap gerak tubuhnya mengguncang degup dada lelaki yang menontonnya.

“Ayo, getarkan pinggulmu!” seru turis lelaki sambil menenggak raki, dengan penuh ketakjuban. Azqila merasa sebagai kupu-kupu yang mengepakkan sayap, mencari mahkota bunga.    

***  

KUPU-KUPU memenuhi lembah di antara pohon zaitun, delima, lemon, dan aprikot. Kupu-kupu itu terbang begitu rendah di atas tenda-tenda yang dibongkar, botol-botol raki yang terserak dan abu api unggun yang lembap berembun. Kelima turis pagi ini meninggalkan Lembah Kupu-kupu dengan naik perahu, dan Azqila mesti menyertai mereka. Ia tak akan menemukan sebuah tempat yang paling nyaman untuk menari perut, sebagaimana di hadapan nyala api unggun, di tengah alam yang senyap, dengan cahaya mata lima pasang turis yang berkilat-kilat takjub memandanginya.

Azqila tak tahu kapan akan kembali singgah ke Lembah Kupu-kupu dengan gairah menari seperti semalam. Seperti tersihir, mereka terkesima dengan getar pinggul, perut, dan dada Azqila. Lima pasang mata yang terkesima bibir rekah berlapis mantra.

Perahu meninggalkan teluk dengan kupu-kupu aneka rupa beterbangan memenuhi lembah. Azqila masih ingat ketika melacak ibu kandungnya di panti jompo Darulaceze, yang didirikan Sultan Abdulhamid II pada 1895. Ia memasuki gedung tua aristokrat, terawat, tenang, dan teduh.

Azqila gugup menghadapi perempuan 40-an tahun, masih cantik dan singset, serupa dengan dirinya, bekerja melayani perempuan tua di panti jompo itu. “Kau Benazir, yang dulu pernah menjadi penari perut?”

“Kamu Azqila, anakku?” seru Benazir, yang melihat dirinya sendiri waktu muda, seorang penari perut yang senantiasa dipuja penonton dalam setiap penampilannya. Ia mengundurkan diri sebagai penari perut pada umur empat puluh tahun, ketika ia lebih merasa nyaman dan tenteram di tengah orang-orang jompo yang mesti dilayaninya.

Azqila memeluk ibu kandung dengan kerinduan yang bertahun-tahun dipendamnya. Terbongkarlah sebuah rahasia: ia sering bermimpi diajarkan tari perut oleh perempuan yang mirip dirinya. Rupanya ibu kandungnya selalu hadir dalam mimpi, membimbing tari perut, sampai ia benar-benar menjadi primadona di Hodja Pasha.

“Bagaimana kabar ayahmu?”

“Oh, Baba 6) sudah meninggal ketika aku berumur sepuluh tahun. Ia dimakamkan di Pamukkale.”

“Apa ibu angkat selalu berlaku baik kepadamu?”

Anne 7) selalu bersikap baik. Ia hanya tak suka aku menjadi penari perut.”

***

KUPU-KUPU turun dari tebing curam Gunung Babadag memenuhi lembah di antara kilau pantulan cahaya matahari dari permukaan air teluk. Azqila berdiri di perahu yang meluncur pelan, kembali ke pantai Oludeniz. Pinggul, perut, dan dadanya bergeletar dengan iringan riq yang dientak Anka, mengguncang perahu.

“Sudah saatnya aku meninggalkan Lembah Kupu-kupu,” gumam Azqila dalam hati. “Aku akan kembali ke Istanbul, pentas di Hodja Pasha, dan mencari kesempatan berlibur, untuk pulang ke Pamukkale, ziarah ke makam Baba. Ternyata Baba bukan ayah angkat. Dia ayah kandung, kekasih ibu yang melahirkanku.”

Perahu itu meninggalkan Lembah Kupu-kupu dengan laju sedikit oleng. Azqila tak bisa menahan diri untuk menggetarkan pinggul, perut, dan dada mengikuti irama riq yang dientak Anka sepanjang perjalanan perahu ke pantai Oludeniz.

 

Turki, Juli 2022–Pandana Merdeka, Januari 2023                   

 

 

Keterangan:

1) riq = alat musik perkusi

2) raki = minuman beralkohol Turki 

3) oud = instrumen senar leher pendek mirip kecapi

4) qanun = sejenis harpa

5) nay = sejenis suling

6) baba = ayah

7) anne = ibu

 

S. Prasetyo Utomo lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi berjudul "Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma". Sejak 1983, ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus