Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Cerita tentang Ondel-ondel

Seniman Edi Bonetski mengeksplorasi ondel-ondel dalam berbagai karyanya. Refleksi terhadap salah satu kesenian rakyat yang terpinggirkan di masyarakat urban.

10 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ondel-ondel menjadi inspirasi Edi Bonetski untuk berbagai karya.

  • Pada era 1950-an, ondel-ondel pernah dilarang digunakan untuk mengamen.

  • Edi menghadirkan karya dalam berbagai medium.

Nyok kite nonton ondel-ondel

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nyok kite ngarak ondel-ondel

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ondel-ondel ade anaknye

Anaknye nandak gel-igelan

Mak Bapak ondel-ondel ngibing

Ngarak penganten disunatin

Nyang nonton rame kegirangan

Ikut ngarak iring-iringan...

Lirik lagu Ondel-ondel yang dinyanyikan seniman Betawi, Benyamin Sueb, itu masih cukup lekat di ingatan sebagian masyarakat. Meski lagu tersebut mungkin tak lagi sering diperdengarkan, mereka masih sering melihat ondel-ondel di Jakarta dan sekitarnya sebagai elemen mengamen. Rombongan pengamen ondel-ondel biasanya mengarak dua ondel-ondel, dan anggota rombongan lainnya mendorong kotak sistem suara mini pemutar musik serta membawa ember atau kaleng untuk wadah uang.

Nah, ondel-ondel yang menjadi kesenian khas Betawi inilah yang dieksplorasi Edi Bonetski dalam ruang pamer di Galerikertas Studiohanafi. Pameran bertajuk "Ondel-ondel: Yang Rural dan yang Urban" itu digelar pada 24 Juni-24 Juli 2022. Tulisan J.J. Rizal tentang ondel-ondel menjadi sumber inspirasi seniman asal Tangerang ini berkreasi. Pengantar pameran itu ditulis oleh Heru Joni.

Herdy Aswarudi atau yang dikenal dengan Edi Bonetski di Galerikertas Studiohanafi, Depok, Jawa Barat. TEMPO/Magang/Muhammad Syauqi Amrullah

Di tangan Edi, ondel-ondel bukan hanya sebatas boneka raksasa yang sering hadir di jalan-jalan saat mengamen. Ia menghadirkan ondel-ondel dalam makna dan simbol hasil mengekstraksi tulisan sejarah budaya Betawi. "Saya menghadirkan apa yang ditulis J.J. Rizal. Ondel-ondel ini hanya pembuka dari rangkaian tiga budaya masyarakat," ujar Edi kepada Tempo, Kamis, 30 Juli 2022. Tiga budaya yang dimaksudkan adalah ondel-ondel, bedawangan, dan anak genderuwo.

Sejarawan Betawi, J.J. Rizal, dalam katalog pameran, menulis tentang sejarah budaya rakyat populer, yakni ondel-ondel, bedawangan, dan anak genderuwo. Ketiga hiburan itu selalu ditunggu-tunggu, terutama saat hajatan, seperti pernikahan, sunatan, dan syukuran. Seiring dengan perjalanan waktu, ondel-ondel, yang menjadi boneka penolak bala, makin tersisih di ruang perkotaan masyarakat urban. Wali Kota Jakarta Sudiro pada 1950-an pernah melarang penggunaan ondel-ondel untuk mengamen.

Sudiro menganggap seni tradisi yang luhur tak pantas digunakan untuk mencari uang. Bahkan ia menganggap itu bukan lagi mengamen, melainkan mengemis, sehingga memalukan. Pelarangan serupa dilakukan terhadap kelompok pengamen tanjidor. "Kelompok-kelompok ondel-ondel dan tanjidor pun dirazia. Mereka ditekan sedemikian rupa sehingga pada 1955 mengalami masa surut," kata Rizal, dalam katalog pameran.

Karya berjudul Tolak Bala: Kebo + Hongan + Dohan. Dok. pribadi

Edi menghadirkan ondel-ondel dengan mengolah aneka gagasan. Di taman galeri tersebut, misalnya, tergantung kepala kerbau yang mulai hangus di sebuah sangkutan besi. Di bawahnya, sebuah tong yang tetap dijaga baranya mengasapi kepala kerbau itu di samping perapian. Kepala kerbau tersebut tak lain merupakan sebuah bak besi berisi air. Tak jauh dari dua karya itu, di undak-undakan, Edi menempatkan 90-an ondel-ondel mini hasil kolaborasi dengan ibu-ibu.

Instalasi kepala kerbau yang dibiarkan hangus tersebut merupakan simbol. Biasanya kepala kerbau dipakai sebagai salah unsur upacara atau tradisi tertentu di masyarakat. Edi mengaku cukup sulit mendapatkannya dan sukar meyakinkan si tukang jagal. "Kepala kerbau ini memang untuk tolak bala. Kebo ini diartikan sebagai tolak kebohongan. Bukan terus yang aneh-aneh," ujar Edi.

Karya Edi Bonetski. TEMPO/Magang/Muhammad Syauqi Amrullah

Di ruangan galeri, pengunjung bisa melihat karya mural di tembok hingga lukisan pada kanvas yang terpajang di dinding. Ada pula negatif film rontgen anaknya yang telah tiada diberi lukisan tip-ex dan dipajang di sudut ruangan. Ia juga menempatkan 300-an negatif film kecil dalam beberapa kotak kecil yang bersanding dengan replika sebuah radio transistor lawas. Negatif film ini merekam situasi Jakarta, Betawi, pada 1971-1977. Ratusan negatif film itu diperoleh dari seseorang yang akan membuangnya.

Pada karya lain, Edi menggantungkan belasan karung beras yang telah dilukis di langit-langit ruangan. Hal itu sebagai respons atas lingkungan urban, perkotaan, dan orang-orang yang terpinggirkan. Ada pula ratusan mainan plastik anak, pengatur program televisi (remote control), dan botol cat dalam kotak kaca. Di sudut ruangan, di bawah tangga, tiga ondel-ondel berukuran kecil dan menengah diletakkan bersama tas-tas kertas yang memperkuat narasi boneka itu. Di ruangan lain, pengunjung bisa melihat hasil karya Edi dalam bentuk lukisan pada kertas-kertas dan koper-koper.

Karya Edi Bonetski. TEMPO/Magang/Muhammad Syauqi Amrullah

Heru Joni Putra, dalam pengantar pameran, menyatakan Edi dalam pameran ini sedang menyusun riwayat ondel-ondel yang bakal meledak di masa depan. Ia membayangkan ondel-ondel merupakan akumulasi dari berbagai kenyataan sosial dan politik yang dialami Edi. Sekarang kehadiran ondel-ondel di jalanan dianggap sebagai gangguan. "Hanya karena dua kasus yang melibatkan ondel-ondel, seperti pencopetan dan pemukulan, ternyata sudah cukup bagi pemerintah untuk menyimpulkan bahwa seni rakyat ini tidak layak menjadi bagian dari tata kota Jakarta," ujar Heru, dalam pengantar pameran.

Ia menjelaskan, Edi menggunakan sekumpulan material dengan  melonggarkan dari hubungan lumrahnya—hubungan kultural—dengan benda lain. Edi juga memberi fungsi tambahan pada benda-benda itu tanpa sama sekali menghilangkan jejak-jejak dari fungsi lumrahnya. "Ondel-ondel yang direkonstruksi Edi merupakan sebuah godaan untuk mencoba cara kita mengikat diri pada produk seni kelas bawah di kawasan urban Jakarta dan sekitarnya."

DIAN YULIASTUTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus