Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ia diam sejenak mengangkat kedua tangannya, membuat gerakan lingkaran kecil di atas kepala. Sejenak sunyi, tak ada entakan kendang. Kakinya membentuk huruf X, sedikit menggeliat dengan gerakan tangannya. Kemudian Rianto melebarkan kakinya. Mengikuti entakan kendang, ia membuat gerakan gagahan dengan tangan terentang. Dengan cepat ia bergerak minggir, merunduk dan cepat berdiri. Bubuk putih menguar, bertebaran seiring dengan gerakan memutar dan dentum kendang bertalu yang dimainkan Rumpoko Setyo Aji, pemain kendang dari Banyumas. Rianto seperti sedang menabur sesuatu untuk tolak bala. Ia lalu terjatuh dalam temaram cahaya kemerahan. Dalam lampu berkerjap-kerjap, ia mencoba bangkit, menungging, bergulingan, namun kembali terjatuh. Ia berusaha berdiri perlahan, tangannya mengukel. Gerakannya lambat membalikkan tubuh membelakangi layar penonton. Ia berjalan perlahan. Panggung makin temaram, secercah cahaya yang makin redup kini hanya berfokus pada tubuh Rianto. Detak kendang pun terdengar pelan, jarang-jarang, dan lambat mengiring panggung yang gelap. Suasana kembali senyap. Rianto mementaskan karya berjudul Mantra Tubuh (Ritual in Distance), sebuah koreografi kontemporer dengan dasar gerak tari Lengger. Tari yang dipentaskan di sebuah gedung pertunjukan itu ditayangkan melalui saluran YouTube Budaya Saya, premier pada 3 Mei lalu. Koreografi ini didedikasikan untuk para dokter, paramedis, pekerja rumah, dan masyarakat yang sedang berada di rumah untuk ikut memutus mata rantai wabah virus corona. Karya koreografer asal Banyumas yang tinggal di Jepang itu menyuguhkan makna: tubuh yang dituntut berjarak dalam situasi pandemi sekarang ini untuk menguatkan tubuh spiritualnya. Gerakan dan entakan musik menjadi semacam mantra dan terapi untuk menguatkan tubuh secara fisik dan spiritual. Ia memulai koreografinya dalam keremangan panggung. Secercah cahaya yang amat redup memperlihatkan gerak kakinya yang berlari di tempat. Perlahan, terlihatlah siluet tubuh dan tangan bergerak di atas kepala. Entakan bunyi kendang dalam tempo lambat mengiringi gerakan Rianto. Sesekali terlihat gerakan lingkaran besar dari kedua lengannya. Selanjutnya, panggung makin terang, dalam cahaya melingkar di panggung berlatar putih. Intensitas kendang makin tinggi, makin cepat dan dinamis. Ukelan tangan dan putaran besar lengan Rianto pun makin cepat. Sesekali terdengar suara seperti bisikan-bisikan di tengah-tengah gerakan yang dinamis itu. Entakan kendang seperti menggoda penonton untuk ikut bergerak. Hampir sepuluh menit ia bergerak dalam koreografi ini hingga panggung gelap sejenak. Lampu hanya menyorot penabuh kendang. Ketika terdengar teriakan atau senggakan yang meriah, Rianto lalu muncul lagi dengan gerakan-gerakan dari tari Lengger yang lincah, kenes, dan menggoda. Pinggul bergoyang senapas dengan entakan kendang. Tukang kendang tak lagi hanya duduk, tapi sempat ikut berdiri dan mengikuti ke mana tubuh Rianto bergerak. Selesai dengan gerakan yang kemayu, ia memperlihatkan gerakan gagah, tetap dengan kendang yang mengentak. Tak hanya mengandalkan bunyi kendang dinamis, Rianto pun menari dengan iringan bunyi dari mulut yang tak kalah menarik. “Tak..tak ndlontang, tlang-tlang..ndlondang..ndlondang...tung..tung..slep. Tak ndlondang joss..joss...,” begitu terdengar suara menirukan entakan kendang mengikuti egolan pinggul Rianto. Panggung tetap memancarkan keriangan dengan gerak dan entakan kendang dan suara tiruan kendang. Rianto berharap karya ini mampu menumbuhkan kebahagiaan, perubahan, dan harapan. Karya koreografi ini diambil dari doa mantra-mantra tubuh tradisi yang dikembangkan dalam balutan tari kontemporer. “Karya ini mencoba mentransformasikan penggabungan suara musik dan mantra tubuh sebagai refleksi penyembuhan secara global,” ujar Rianto kepada Tempo, melalui aplikasi pesan. Tubuh, gerak tubuh, dan suara yang menembus batas imajiner penonton diharapkan mampu menyampaikan kekuatan fisik dan mendorong sisi spiritual. Lewat karya ini pula, ia berharap energi tarian terus membumi dan terhubung dengan bumi. “Dari sini kita dapat merefleksikan diri kita sendiri, baik dengan penonton melalui ciptaan ruang dan waktu, saling menghargai dan mendukung,” ujarnya. Rianto dan lebih dari 1.000 penonton di saluran YouTube memang berjarak ruang dan waktu. Tapi ia meyakini tubuh masih memiliki kecerdasan untuk berkomunikasi melalui layar. Koreografi yang dipertontonkan mampu menginformasikan kekuatan tubuh tari serta mengkomunikasikan hubungan spiritual antara medium tubuh dan musik. Dari sana harapannya mampu mentransfer semangat seni dari koreografer kepada penikmatnya. “Tubuh tradisi mampu menembus batas jarak, ruang imajinasi, sekaligus memberikan terapi untuk kualitas hidup manusia.” DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo