Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah radio transistor kecil menemani cangkir blirik, sekotak kapur, penghapus, kaca mata, dan sekotak tisu di atas meja. Semua benda itu bersanding dengan papan tulis hitam berukuran 140 x 180 sentimeter yang berdiri tegak. Bersih. Pelukis Ugo Untoro datang mendekat ke papan tulis lalu mengambil sebatang kapur dan menggoreskan perlahan di papan tulis hitam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ugo Untoro menggoreskan kapur perlahan hingga membentuk sebuah objek dan melengkapi dengan objek yang lain. Baru-baru ini, Ugo Untoro memperlihatkan proses dalam berkarya di luar kebiasaannya di Galeri Museum dan Tanah Liat, galerinya di Yogyakarta, dengan ‘ditemani’ banyak orang. Biasanya Ugo Untoro menekuni karyanya sendirian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Selama 10 jam maraton, Ugo Untoro menuangkan idenya dalam tajuk Homage to Black Boards. Dia menyelesaikan sembilan lukisan sejak sore hingga pukul 01.00 WIB di studio. Sejak awal melukis dengan kapur di papan tulis hingga akhir, prosesnya direkam dan disaksikan puluhan penonton secara daring. Beberapa di antaranya adalah kolektor.
Selesai satu lukisan, Ugo Untoro memandang karyanya sebentar lalu menjauh dari papan tulis. Seolah tengah meyakinkan diri bahwa hasil goresannya sudah sempurna. Ugo Untoro mundur menghilang dari layar beberapa saat. Lukisan yang dibuat dalam waktu 30-an menit tampak dibiarkan, seperti membiarkan penonton yang entah di mana berada menikmati karyanya, yang masih segar digoreskan.
Karya Ugo Untoro saat melukis selama sepuluh jam non-stop.
Beberapa saat terdengar suara klenengan, musik dan tembang Jawa mengisi suasana dengan gambar yang tetap menyorot pada papan tulis. Ada lukisan piano di pinggir jalan yang sepi, dengan latar diblok kapur putih, terlihat pula dua sosok laki-laki dan perempuan duduk berdampingan dalam ketelanjangan. Ada sosok yang seperti berjalan mundur terlihat dari bekas telapak kakinya, ada juga lukisan pintu berbentuk setengah oval.
Dan yang sangat sederhana: sebuah anak panah di bagian pojok kiri bawah dan tulisan The Death of Krisna di bagian pojok kanan atas. Atau lihatlah pula boks telepon yang patah dengan gagang menggantung. Pelukis ini dengan karyanya yang senapas, ingin mengajak penonton menikmati suasana sepi, sementara - kefanaan yang berujung entah kapan.
Dari karya-karya itu juga, Ugo Untoro ingin mengajak penonton merefleksikan apa yang telah dilalui selama ini. Contoh, lukisan dari sosok kurus di ujung kanan dan tapak-tapak kaki berjalan mundur dari ujung kiri bawah. Ada kesenduan, kemuraman dari karya-karya Ugo Untoro. Perspektif dan unsur cahaya tetap disuguhkan dalam karya-karyanya.
Bagi seniman kelahiran Purbalingga ini, Homage to the Black Board ini adalah sebuah penghormatan. Ada masa yang sangat membekas dari kenangan masa lalu ketika bersekolah sangat akrab dengan papan tulis. Pengalaman batin sebagai anak dari seorang guru yang mengajar dengan medium papan tulis dituangkan dalam lukisan. Tentu proses ini juga mengingatkan pengalaman pribadi penonton ketika mereka bersekolah dulu.
"Bentuk penghormatan itu sendiri bagi saya adalah dengan cara menggambar di papan tulis. Dan di situlah saya bersama-sama dalam waktu sepuluh jam," ujar Ugo Untoro kepada Tempo, 30 September 2020. Menurut dia, proses berkarya dengan papan tulis selama sepuluh jam ini masih terbilang singkat dibandingkan dengan pengalaman kurun waktu ketika ia belajar di kelas.
Mengikat memori dan pengalaman puluhan tahun dalam sepuluh jam berkarya ini, juga dirasakan cukup berat dan menantang. "Mungkin sama seperti seluruh teman yang terlibat dan mereka yang menonton," ujarnya.
Banyak hal yang disajikan untuk berefleksi pada situasi. Mulai dari piano di pinggir jalan, lalu gambar orang berjalan mundur, dua sosok yang duduk seperti menunggu sesuatu. Demikianlah Ugo menyampaikan sebuah penghormatan, nir keabadian sekaligus refleksi dari perjalanan masa lalu.