"SEUMUR-UMUR saya belum pernah mengalami seperti ini," kata Tuti Indra Malaon, pemenang Citra untuk aktris terbaik tahun ini ketika mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pekan lalu. "Saya tak mau dibeginikan." Mengapa tak mau ? Panitia FFI Bali menyambut para bintang dari Jakarta dengan payung kebesaran. Beberapa aktris yang sudah biasa dengan "upacara kebesaran" dengan kalem menerima saja dipayungi panitia dan lalu mereka, bagaikan putri-putri raja, berjalan menuju panggung yang sudah disediakan. Tapi Tuti Indra, 46, dosen di Jurusan Inggris Fakultas Sastra UI, yang baru di awal 1970-an ikut main film, jadi kikuk setengah mati. Sementara itu, tari Pendet terus berlangsung, dan para penari memberikan karangan kembang kepada para artis yang datang. Tapi di mana Tuti Indra Malaon? Waduh, di balik sebatang pohon kamboja, persis di sudut panggung, dua pemenang Citra asyik bersembunyi. Tuti ternyata ditemani Niniek L. Karim, peraih Citra untuk aktris pembantu. Rupanya, keduanya berhasil lolos dari payung kebesaran. Tapi gangguan belum sama sekali lewat. Begitu acara penyambutan di Ngurah Rai selesai, para artis diminta menaiki mobil-mobil terbuka yang sudah dihiasi warna-warna untuk diarak menuju hotel tempat menginap. Hampir semua artis sudah menaiki mobil, Tuti dan Niniek masih sembunyi. Lalu panggilan dari Panitia lewat pengeras suara terdengar. "Wah, mati aku. Mau diapain aku ini?" kata Tuti. Semula kedua peraih Citra itu menolak. Akhirnya mereka mengalah. Rupanya, pawai ini bukan sekadar mengantar para bintang ke tempat penginapan. Tapi keliling kota dulu, maka baru sekitar pukul lima sore pawai habis. "Saya sudah bekerja keras untuk film, sekarang dikerjain," komentar Tuti. Lalu disusul keluhan dari Niniek, yang juga dosen di UI: "Saya tak menduga risiko Citra seperti ini." Tapi mari pasang "porkas", apakah keduanya lain kali akan menolak Citra atau tidak, bila menang lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini