ATAS nama pemerintah Jepang, saya harus datang ke Imogiri memberi penghormatan untuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX," ini yang diucapkan Sumio Edamura, Dubes Jepang untuk Indonesia, sebelum memberi ceramah di UGM, Yogyakarta. Dan niat itu benar-benar dilaksanakan Senin pekan lalu. Edamura pergi ke Imogiri ditemani Rektor UGM Koesnadi Hardjasoemantri dan putra HB IX, G.B.P.H. Joyokusumo. Rombongan ini sejak di Yogya sudah mengenakan pakaian peranakan. Lalu, mereka mencari jalan pintas, menuju bukit Imogiri dengan berkendaraan. Begitu memasuki Astana Saptarengga, suasana menjadi khidmat. Joyokusumo melepaskan alas kakinya, diikuti oleh Edamura dan peziarah lainnya. Di makam Sultan HB IX, Edamura mengikuti semua laku Joyokusumo, dari menyembah, mlaku ndodok, sampai menabur bunga. Edamura sama sekali tak canggung. "Adat minum teh di Jepang dengan duduk di lantai 'kan mirip cara duduk silo di Jawa," komentar Joyokusumo. Tak urung ada rasa haru terbersit di hati Edamura. Sebab, katanya, Sultan salah satu kunci hubungan Indonesia-Jepang. Umpamanya dengan mengirimkan misi kesenian Indonesia ke Jepang. Juga kerja sama Kota Yogya dan Kyoto. Usai ziarah, Edamura menolak ketika diajak naik kendaraan. "Tidak, saya ingin mencoba lewat tangga " kata duta besar yang berkaca mata ini. Satu per satu tangga yang ratusan itu ditapaknya. Sampai-sampai Rektor UGM tertinggal di belakangnya. Apa kesan Edamura tentang Imogiri? "Ternyata, tidak seperti yang saya bayangkan. Sederhana sekali," ujarnya. Memang sederhana dibanding astana yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini