SUDAH ratusan panggung dijelajahi, sudah b~nyak negara dikunjungi, tapi urusan "manggung" yang satu ini membuat penari Nungky Ku~sum~astuti tak bisa~ tidur nyenyak. Sarjana tari Institut Kesenian Jakarta itu harus memikirkan pertanyaan untuk bahan dialog dengan Presiden Soeharto pada temu wicara Indo Tourism '90~. Namun, tepat ketika dialog dilangsungkan, Selas~a pekan lalu, di Arena Pekan Raya Jakarta. "Kalimat yang saya rancang tak ada yang keluar. Yang ada kebanyakan spontanitas," cerita Nungky kepada Linda Djalil dari TEMPO.~ Kepada Presiden Soeharto, Nungky mempersoalkan kualitas penyajian ~seni b~udaya yang masih di bawah standar. Salah satu penyebabnya adalah dana yan~g terbatas. Lalu, "Mohon maaf, Pak, honorarium penari di Yogya hanya sekitar Rp 1.~000 sampai Rp 3.000~ sekali menari," kata Nungky. Pak Harto, sambil senyum simpul, menyela, "Lha, kalau menyanyi dapat berapa?~ Saya dengar-dengar katanya satu juta, ya? Ha ... ha ... ha . " Pak Harto te~rtawa. Nungky nyengir dan sadar bahwa Pak Harto salah terka, dikiranya ia juga penyanyi. "Maaf, Pak, saya bukan penyanyi." Selesai temu wicara itu, Nungky ketemu Presiden dan Ibu Tien lagi. "Ini lho, Pak, yang jatuh ketika menari di Taman Mini," ujar Kepala Rumah Tangga Istana, Sampurno, mengingatkan Pak H~arto. Lima bulan lalu~ ketika menarikan Rampai Aceh di hadapan Presiden di Taman Mini, Nungky jatuh dan tangan kanannya patah. "Lalu tangan kanan saya yang masih mencong ini dibelai Ibu Tien," ujar Nungky senang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini