Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Film kolosal bali

Aktor ray sahetapy berpasangan dengan ida ayu made diastini, 22, membintangi film "pelangi kasih pandan sari". film kolosal ini bercerita tentang kerajaan bali dan masyarakatnya tempo dulu.

20 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK begitu sulit menjadi orang Bali. Ray Sahetapy, aktor laris asal Maluku itu, belum ada setengah tahun sudah menjadi orang Bali. Ke mana-mana ia berkain, mengenakan ikat kepala Bali, bahkan larut dengan adat Bali. Ia, misalnya, mengikuti upacara persembahyangan di Pura Tenganan Pegringsingan -- upacara sungguhan, tak ada kaitan dengan urusan film. Dewi Yull, yang suatu hari menjenguk Ray di Bali, sempat pangling. "Dewi kaget melihat perubahan saya," kata Ray tentang istrinya itu. Ray mengaku tak canggung mengenakan kain ke mana saja. Mengambil uang di bank, berbelanja ke toko, bahkan mengantar istrinya, Dewi Yull, ke Bandara Ngurah Rai, ia tetap anticelana panjang. Sekadar mau nyentrik-nyentrikan? "Tidak. Saya tak ingin kehilangan suasana Bali," katanya pekan lalu, ketika ia pulang sejenak ke Jakarta. Ray di Bali membintangi Pelangi Kasih Pandansari sebuah film kolosal tentang Bali di masa lalu, saat raja-raja Bali masih berkuasa -- dan pada masa hubungan antarmanusia di Bali masih terbelenggu perbedaan kasta. (Ini bukan proyek imbauan Rudini tadi.) Ray memerankan I Jaya, dari kasta rendah, yang menjalin kasih dengan Pandansari, anak raja. Karena perannya itu, Ray jadi fasih beberapa bahasa Bali "kelas tinggi". "Bahasa Bali itu memang dipakai dalam film," katanya. Apalagi yang jadi Pandansari betul-betul penari Bali dari "kasta tinggi", Ida Ayu Made Diastini, 22 tahun, mahasiswi ASTI Denpasar yang punya rambut panjang yang terpilih dari 20 calon. Dari pergaulan ini, Ray mengaku mulai mengenali kehidupan sosial masyarakat Bali, keseniannya dan hubungannya dengan Tuhan. Juga yang berbau, katakanlah, takhyul. Satu contoh saja. Ketika lokasi syuting akan pindah, orang-orang Bali yang terlibat dalam film itu sudah menyarankan agar kepindahan tidak pada hari Senin. Tapi jadwal sangat ketat. "Apa yang terjadi, ketika syuting dimulai, semuanya siap. Tapi begitu sutradara berteriak, 'Camera, action!' diesel langsung macet. Diulang berkali-kali tetap macet," tutur Ray. Akhirnya, Galeb Husin yang menyutradarai film ini menangguhkan syuting. Dan kata Ray, "Itulah Bali."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus