Soeman Hasibuan adalah orang Tapanuli yang menjadi tokoh masyarakat di daerah Riau. Disebut-sebut sebagai "pemula" cerita detektif Indonesia dengan karyanya: "Mencari Pencuri Anak Perawan". Soeman seorang pendidik dan guru yang telah mendirikan sekolah dari tingkat SD sampai universitas. Ketika menjabat anggota tertua BPH Riau (menggantikan gubernur bila berhalangan) pernah didamprat Dr. Soebandrio, gara-gara tidak menyambut Waperdam I masa Orla itu dengan upacara militer. Berikut ini sebagian riwayat hidupnya, atas permintaan TEMPO, dituturkan kepada Julizar Kasiri. NAMA saya Soeman Hs. Karena sudah pernah pergi ke Mekah, maka menjadi Haji Soeman Hs. Kata Hs ini, di Pekanbaru, mungkin sudah banyak orang yang tahu. Tapi di tempat lain belum tentu. Kata ini adalah kependekan dari Hasibuan, salah satu suku di Tapanuli. Jadi, jelasnya, saya ini berasal dari Tapanuli Selatan. Orang Tapanuli Utara disebut sebagai orang Batak, yang kebanyakan beragama Kristen. Orang Tapanuli Selatan disebut orang Mandailing, beragama Islam. Di Kota Suburuan, Tapanuli Selatan, ada sebuah kampung yang bernama Kotanopan. Di situlah asal ayah saya. Sesudah beliau menikah, pada masa muda-mudanya, entah apa sebabnya, terjadilah pertikaian di antara famili. Perselisihan zaman dahulu itu biasanya dalam soal mempertahankan martabat. Kemungkinan, ayah saya, sebagai keturunan raja-raja, tersinggung hatinya. Tapi pastinya saya tak tahulah. Lalu diting- galkannyalah Kotanopan tadi, dan pergilah beliau merantau. Dulu itu, orang merantau tidak seperti sekarang. Mereka merantau berjalan kaki. Anehnya, kalau mereka tiba di sebuah kampung, lalu kebetulan putus belanja, mereka akan tinggal di kampung itu. Kadang-kadang berladang selama setahun. Baru tahun depan, bila sudah ada bekal, melanjutkan perjalanan lagi. Berikutnya, berjumpa satu kampung lagi, mungkin mereka singgah lagi. Sekitar dua tahun, ayah saya itu baru sampai di Bengkalis. Ia merantau hanya berjalan kaki dan naik sampan. Kapal pada waktu itu boleh dikatakan tidak ada. Tiba di Bengkalis, ayah saya ini menemui orang-orang yang patut di situ. Karena asalnya petani, ia carilah pekerjaan bertani. Oleh orang-orang sana, beliau diberi sebidang tanah di Jalan Bantan, yang terletak di Kampung Bantan. Menurut sejarahnya, kampung itu dibangun oleh orang Banten, Jawa Barat. Sekarang ini orang Banten itu tidak ada lagi di situ. Sewaktu di kampung, ayah saya pandai mengaji Quran. Waktu itu orang yang pandai mengaji Quran dan tahu tentang agama sedikit. Orang memanggilnya lebai. Karena namanya Wahid, maka dipanggillah ia dengan nama Lebai Wahid. Tapi anehnya ayah saya jarang menggunakan nama Hasibuan. Sebetulnya, orang Tapanuli itu lazimnya lebih suka memakai nama suku dari nama sebenarnya. Misalnya Jenderal A.H. Nasution, yang sering dipakainya adalah Nasutionnya. Pada saya, hal itu terbalik. Nama saya yang saya jelaskan, sedangkan nama suku saya singkat. Alasannya, karena Bengkalis itu tanah Melayu. Dan orang Tapanuli hanya ada dua atau tiga orang. Jadi, apalah gunanya saya bikin suku itu. Di samping itu, saya tertarik pula dengan orang Melayu. Di Bengkalis itulah saya lahir pada 1904, menurut keterangan ayah saya. Tapi tahunnya yang tepat saya tidak tahu. Jadi, sekarang usia saya sudah lebih dari 85 tahun. Seingat saya, saya masuk sekolah Melayu (sekarang SD) pada 1912. Pada waktu itu usia masuk SD adalah tujuh tahun. Jadi, hampir tepatlah saya lahir tahun 1904. Di samping bertani, malam-malamnya ayah saya jadi lebai, mengajar anak-anak mengaji Quran. Maka, datanglah anak-anak ke rumah dan saya pun ikut mengaji. Karena itulah saya bisa sedikit-dikit membaca Quran. Sebagai lebai, ayah saya banyak bergaul dengan para saudagar. Mereka menceritakan keadaan di Singapura atau Malaya. Saya amat suka mendengar cerita itu. Mereka, misalnya, menceritakan bagaimana di Singapura waktu itu banyak perampok. Ada centeng dan cangsing (tukang pukul). Kalau pergi ke Singapura harus hati-hati. Kalau mau membunuh orang, bisa, asal ada uang. Jumlah orang Melayu di situ tidak begitu banyak. Tapi ketika itu mereka masih berkuasa. Mereka kebanyakan orang Jawa, tak heran kalau di sana ada kampung Jawa. Melalui cerita-cerita itulah, saya mendapat ilham bagaimana keadaan rakyat di sana. Banyak cerita saya kemudian mengarah ke cerita khayal. Saya sekolah di Bengkalis sampai 1918. Itu berlangsung selama lima tahun. Pada masa sekolah di SD itu minat baca saya begitu besar. Kalau dibandingkan dengan anak sekolah sekarang, minat baca kami lebih besar. Dari kelas satu, pelajaran membaca sangat dipentingkan oleh guru-guru Belanda. Malah di kelas satu itu kami sudah lancar membaca buku-buku. Mulai kelas tiga, kami sudah membaca buku-buku yang lebih tebal. Sebab, di zaman itu, di tiap-tiap sekolah Melayu, sudah diadakan bibliotik oleh pemerintah Belanda. Atau Taman Pustaka. Di taman bacaan tersimpan beratus-ratus buku. Ada karangan asli orang kita, seperti Siti Nurbaya. Ada buku asing yang sudah dimelayukan. Di antara cerita dari Belanda, cerita detektif banyak. Setelah di kelas lima semua sudah saya baca. Entah kenapa saya ketagihan benar membaca buku pada waktu itu. Apalagi cerita-cerita dari luar negeri, khususnya cerita detektif. Waktu itu, taman bacaan menyewakan satu buku dua sen untuk seminggu. Bisa dibawa pulang. Kadang-kadang saya pinjam tiga buku sekaligus. Soal biaya hidup pada waktu itu tidak terlalu sulit. Orangtua saya bertanam nanas dan kelapa. Hasil nanas dan kelapanya cukup untuk hajat hidup kami sekeluarga. Di samping itu, ada penghasilan lain sebagai lebai. Di zaman dahulu lebai itu dihargai orang. Kalau petani dapat padi, dikasihkan sedekah pada lebai. Di waktu bulan puasa banyak orang yang berfitrah kepada lebai. Apalagi keperluan hidup tidak seperti sekarang. Di Bengkalis -- waktu itu masuk Sumatera Timur -- kebanyakan penduduknya orang Melayu dan Cina. Di kota boleh dikatakan Cina-lah yang banyak. Malah ada satu kota yang namanya Bagansiapi-api. Kota ini ketika itu dijuluki sebagai Hong Kong Indonesia. Dalam sepuluh orang, paling banyak satu orang Melayunya. Sama seperti anak-anak sekarang, waktu itu saya suka bermain-main. Saya senang main kelereng, main gasing, layang-layang, dan main bola. Semua permainan itu saya lakukan sampai tamat sekolah Melayu. Pada malam harinya, di samping mengaji, saya membaca. Barulah setelah kelas lima, setelah banyak membaca buku, timbullah cita-cita saya menjadi pengarang. Saya tertarik pada buku Siti Nurbaya karangan Marah Rusli. Juga cerita yang lucu-lucu seperti Teman Duduk karangan Muhammad Kasim -- guru saya semasa di sekolah guru. Karena membaca Teman Duduk-lah saya dapat mengarang Kawan Bergelut. Di samping orang Cina, di Bengkalis banyak orang Jawa. Bahkan ada juga orang Bawean. Orang Bawean ini banyak yang merantau ke Singapura. Di kota itu mereka banyak yang bekerja sebagai sopir motor. Setelah tamat, saya mengikuti ujian calon guru. Yang mengikuti ujian 24 orang. Mereka itu tidak hanya datang dari Bengkalis. Ada yang datang dari Siak, Pekanbaru, Selat Panjang, dan daerah sekitar Bengkalis lainnya. Dari 24 orang yang ikut, yang lulus enam orang. Delapan belas orang dikatakan kalah. Satu di antara enam yang lulus itu dikirim ke Medan, yaitu saya. Di Medan, saya sekolah di Normaal Kursus (Sekolah Calon Guru) --semacam kursus -- selama dua tahun. Di situlah saya berjumpa dengan guru saya, Muhammad Kasim. Sebelum saya tamat, tapi sudah dua tahun di Sekolah Calon Guru, diadakan pemilihan oleh pemerintah Belanda. Maka, terpilihlah empat orang dari sekolah tersebut untuk melanjutkan ke Normaal School di Langsa, Aceh. Kembali saya terpilih. Maka, pada 1920 saya dikirim ke Langsa. Sewaktu di Normaal Kursus, pada sore harinya, saya sering datang ke rumah Muhammad Kasim. Kadang-kadang ia bercerita kepada saya bagaimana pengalamannya mengarang buku Teman Duduk. Kadang-kadang pula saya disuruhnya membawa buku ke rumahnya, sepulang sekolah. Pada waktu itu, merupakan kehormatan bagi kami, muridnya, bila disuruh mengantarkan buku oleh guru ke rumahnya. Pada hari Minggu, kami disuruh bergotong-royong membersihkan pekarangan rumah guru. Ini suatu kebanggaan. Sekarang kebanggaan seperti itu tidak ada lagi. Entah di mana letak salahnya, saya tidak tahu. Kalau berjalan, kami tidak berani mendahului guru, walau satu langkah pun. Kalau itu kita langgar, rasanya merupakan suatu kesalahan besar. Setelah tamat pada 1923, saya diangkat menjadi guru bahasa Indonesia di HIS, Siak Indrapura. Barangkali, pertimbangannya, sewaktu di Normaal School Langsa, Aceh, saya adalah yang terbaik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Karena saya orang Melayu, jelas Melayu saya lebih baik dibandingkan dengan mereka yang lahir di Aceh. Kebetulan istri saya dulunya murid saya di sekolah HIS itu. Ia duduk di kelas enam. Orangtuanya berasal dari Padangpanjang. Entah bagaimana, ya, mungkin takdir Tuhan jugalah, saya membayar makan pada neneknya. Lalu dijodoh-jodohkannya dengan cucunya itu. Karena Tuhan menakdir, jadilah ia istri saya. Tapi ia tidak tamat di HIS. Waktu itu Siak Indrapura termasuk negeri yang hebat karena merupakan tempat kedudukan Sultan Siak. Siak merupakan kesultanan yang terbesar di Sumatera. Jadi, negeri itu termasuk negeri yang enak. Mudah melancong ke Singapura. Tiap-tiap bulan Maulud, oleh pemerintah Belanda pada waktu itu, sekolah "ditempokan" tujuh hari lamanya. Dalam bulan Puasa sampai empat puluh hari. Kami guru-guru sempat melancong ke Singapura. Ongkosnya hanya dua setengah gulden. Lamanya perjalanan satu hari satu malam. Ada cerita di Singapura itu yang menarik hati anak-anak muda. Di sana, kalau pangkas rambut pada orang Melayu, kita membayar lima belas sen. Tapi pada orang Keling (India) bayarnya dua puluh lima sen. Kalau yang memangkas wanita Jepang, bayarannya satu dolar. Pada 1930, ada seorang guru dari Jawa pindah ke HIS Siak Indrapura. Ia masih muda seperti saya. Rupanya, guru ini pernah mengikuti Sumpah Pemuda pada 1928. Di situlah pertama kali ia mendengar lagu Indonesla Raya. Ia tertarik mendengar lagu ini. Kebetulan pula ia pandai bermain biola. Di Siak Indrapura, kami, empat atau lima orang, sering kumpul-kumpul di rumahnya. Sambil minum kopi, ia coba-cobalah menggesek biola dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, yang waktu itu dilarang oleh pemerintah Belanda. Kalau ketahuan, bisa dihukum. Tempat pertemuan itu sering berganti-ganti. Malam ini, misalnya, di tempat kawan itu. Besok malam di tempat saya. Besoknya lagi di tempat teman yang lainnya. Karena seringnya lagu ini dinyanyikan, saya tertarik pula menyanyikannya. Lirik lagu itu tidak seperti yang sekarang ini. Rumah orang di Siak rumah panggung, bertiang. Entah bagaimana ada yang tahu bahwa di rumah saya orang menyanyikan lagu Indonesia Raya. Hal itu diberitahukan kepada kontrolir -- pimpinan pemerintah tertinggi di tempat itu -- oleh mata-mata yang orang Melayu yang mengintai di bawah rumah saya. Besoknya saya dipanggil oleh kontrolir. Saya tidak bisa mengelak. Sebulan kemudian, keluarlah surat keputusan yang menyatakan, saya mesti dipindahkan ke Pasirpangaraian. Peristiwa ini terjadi pada 1920. Pasirpangaraian waktu itu adalah kota kecil, yang disebut sebagai tempat pembuangan pegawai. Dari Siak Indrapura ke Pasirpangaraian dibutuhkan waktu sepuluh hari sepuluh malam. Mula-mula dari Siak naik kapal ke Bengkalis, lalu diteruskan ke Bagansiapi-api. Dari Bagan naik motorboat, sudah itu naik sampan dan dilanjutkan lagi dengan jalan kaki. Baru sampai ke Pasirpangaraian. Di tiap-tiap kampung yang dilewati, kami bermalam semalam. Nyamuk begitu banyaknya. Begitulah susahnya perjalanan waktu itu. Jadi, saya ini benar- benar orang buangan. Memang ada juga yang dipindahkan ke Pasirpangaraian untuk memajukan daerah. Untuk orang itu ada perjanjian, kalau sudah dua tahun, dia boleh pindah. Ke mana saja pasti dikabulkan. Itu upahnya. Sesudah tiga tahun saya coba bikin surat minta pindah, tapi tidak dibalas. Sesudah lima tahun, saya coba lagi, juga tidak dibalas. Sadarlah saya bahwa saya ini orang yang dihukum. Ini berlangsung sampai Belanda pergi dari Indonesia. Bahkan, pada masa pendudukan Jepang, saya masih berada di kota itu. Setelah merdeka, barulah saya dipindahkan ke Pekanbaru. Banyak pengalaman saya dapat di Pasirpangaraian. Saya melihat bagaimana Belanda menanamkan kekuasaannya dengan memakai tangan kelima sultan di Pasirpangaraian. Kelima sultan itu di bawah kontrolir. Jadi, kalau kontrolir ingin memerintah rakyat untuk membuat jalan, dipanggillah raja-raja itu. Mereka lalu memerintahkan rakyatnya bergotong-royong membuat jalan. Jadi, tampaknya raja-raja itu diperalat. Ini tidak mengenakkan saya. Di lima wilayah raja-raja itu, hanya ada satu sekolah dasar. Di sekolah itu -- karena tidak ada yang pantas -- saya diangkat jadi guru kepala oleh Belanda walau saya orang yang diasingkan. Begitu kejamnya Belanda dalam bidang pendidikan. Kok, dalam lima kerajaan kecil di daerah Pasirpangaraian, cuma ada satu sekolah SD yang lima tahun. Lainnya ada sekolah desa yang tiga tahun. Jadi, orang yang patut-patut dari kelima kerajaan, kalau ingin bersekolah, mesti datanglah ke sekolah di Pasirpangaraian. Saya mulai mengarang pada 1923, sewaktu saya berada di Siak Indrapura. Saya ini kan senang membaca. Sehabis membaca, timbul tanda tanya dalam pikiran saya, kenapa tidak bisa mengarang, sementara orang lain bisa. Padahal, saya mempunyai kemampuan bahasa Indonesia (Melayu) yang baik semasa di sekolah. Datang satu perasaan yang mengatakan, "Saya akan mencoba mengarang." Saya membaca bermacam-macam karangan. Terjemahan dari bahasa Belanda, Inggris, dan sebagainya, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Salah satu jenis karangan orang luar yang menarik hati saya adalah karangan yang berbau detektif. Karangan orang Prancis seperti Alexander Dumas, misalnya. Barangkali daya tarik inilah yang menyebabkan karangan saya berbeda dengan Marah Rusli, misalnya, yang hendak meringankan adat dan mengangkat derajat perempuan. Dalam karangan saya, saya melihat keadaan Melayu terlampau ketat dengan adat. Ada beberapa orang kalau mengasuh anak perempuan terlampau dipingit. Keluar tak boleh. Apalagi bercampur dengan laki-laki lain. Lewat pekarangan pun, kalau ada laki-laki melintas, tak boleh. Itu terlampau ketat. Di samping itu, mereka mengawinkan anak perempuan hanya pada laki-laki yang mereka kehendaki. Kalau laki-laki yang dikehendakinya itu baik dan sepadan, itu tidak apa-apalah. Tapi bagaimana kalau tidak. Ada orangtua yang mengawinkan anaknya dengan laki-laki yang lebih tua dari dirinya sendiri. Apa sebab? Karena ia berutang budi pada laki-laki itu. Kadangkadang ia diancam karena tidak bisa membayar utangnya. Itu semua tak saya sukai. Saya coba mengarang buku, supaya adat itu dilapangkan. Cita- cita, apa yang dikehendaki oleh anak kita untuk jodohnya, kabulkan sajalah. Sebab, yang akan memakai adalah dia. Jadi, kebanyakan buku saya seperti Kasih tak Terlarai atau Mencari Pencuri Anak Perawan kira-kira menggambarkan cerita semacam itulah. Kenapa saya tulis cerita dalam bentuk lakon detektif? Rupanya, tiap-tiap buku yang berbau detektif memang membuat penasaran pembacanya. Mereka ingin membacanya sampai tamat, supaya tahu ujung ceritanya. Kalau kita baca buku biasa, kadang-kadang setengah buku sudah tahu akhir ceritanya. Tapi buku detektif tidak. Ia sembunyi-sembunyikan dulu, bukan? Hampir tamat baru kita tahu. Itulah yang mendorong kita membaca buku itu sampai habis. Saya pikir-pikir, alangkah baiknya saya menulis seperti itu pula. Zaman dulu ada yang namanya honorarium. Yang banyak honorariumnya di antara karangan saya itu adalah Mencari Pencuri Anak Perawan. Tiap-tiap satu kata dibayar setengah sen. Misalnya "saya makan nasi". Itu dibayar satu setengah sen: Dari buku Mencari Pencuri Anak Perawan itu saya menerima tujuh puluh lima gulden. Waktu itu seekor kerbau besar harganya dua puluh gulden. Jadi, saya dapat membeli tiga setengah ekor kerbau, yang sekarang sekitar Rp 600 ribu. Dalam karangan-karangan saya, saya selalu menampilkan tokoh-tokoh asing, karena orang-orang asing inilah yang mudah mening- galkan adat itu. Orang Melayu kan tidak mudah. Kalau menceritakan orang asing meninggalkan adat, itu mudah. Tirulah orang asing yang berani meninggalkan adatnya yang buruk dulu. Sudah itu ada juga cerita saya yang berkaitan dengan perkara agama. Karena ada juga orang yang memelihara anak yatim, yang ia angkat sebagai anak angkat. Tapi perlakuannya terhadap anak yatim itu, bila dibandingkan dengan anak kandungnya, jauh berbeda. Anak angkatnya diperlakukan semacam pelayanlah. Itu juga saya tidak suka. Kalau kita mengambil anak angkat, samakanlah ia dengan anak kita. Kalau anak kita disekolahkan, ia juga disekolahkan. Dalam Kasih tak Terlarai, hal itu saya jelaskan. Tapi di akhir buku itu saya gambarkan, pada anak angkat itu ada perasaan hendak membalas budi, yang melebihi dari anak kandungnya. Kalau kita baca buku-buku lama, yang umumnya mengarah-arah ke cerita Arab lama, sering kita temukan kata "alkisah" dan "maka". Misalnya, "Alkisah, maka terjadilah .... Maka datanglah orang tua itu ...." "Alkisah" dan "maka" terus ada pada tiap-tiap kalimat. Itu saya tak mau. Apa gunanya? Kami dari Pujangga Baru tak memakainya lagi. Itu salah satu bedanya saya dengan pengarang-pengarang sebelumnya. Gaya, atau mempermainkan kata, saya peroleh dari bermacam bacaan, di samping tumbuh dari perasaan sendiri. Dalam cerita lama, misalnya, kalau kita ingin menceritakan kecantikan seorang wanita, kita sering mengatakan: "Bibirnya merah bagaikan delima merekah. Hidung yang mancung bagaikan .... Pipinya licin bagaikan pauh dilayang". Itu semua tidak ada lagi pada zaman kami, Pujangga Baru. Terlampau dibuat-buat. Cukup kita katakan "Mukanya sangat menarik". Selain itu, karangan saya kuat kepada resam Melayu. Atau kuat kepada pembawaan-pembawaan Melayu. Kita tahu bahwa pembawaan Melayu itu banyak memakai peribahasa atau pepatah-petitih. Apalagi orang Minang. Itu jangan ditinggalkan. Ada peribahasa Melayu yang hebat mengatakan, "Hemat pangkal kaya, sia-sia akan tumbuh." Pepatah ini bukan untuk kelakuan manusia saja, tapi dalam bahasa pun hemat itu dipakai oleh si Melayu. Sekarang tidak. Orang terlampau royal memakai bahasa. Satu contoh, sering orang mengatakan: "Bapak-bapak kami persilakan naik ke atas. Ibu-ibu kami persilakan turun ke bawah". Dalam bahasa Melayu tidak ada itu. Yang ada: "Bapak-bapak kami persilakan naik. Ibu-ibu kami persilakan turun". Orang Melayu tahu, kalau naik mesti ke atas. Turun mesti ke bawah. Apa perlu ditambah ke atas lagi? Dalam bahasa Melayu tidak ada itu. Silakan naik. Cukup. Habis perkara. Jadi, bahasa Melayu ini hemat, tidak royal. Di sanalah letak keindahannya. Sekarang kan tidak. Bila seorang terhormat berbicara di depan umum, misalnya. Orang yang di bawahnya sering menganggap bahwa cara berbicara orang di atas itu sudah betul. Lalu ia turunkan kepada bawahannya lagi, sebab menteri itu bercakap begitu. Padahal, menteri itu salah dalam berbahasa. Satu contoh lagi, kita sering mendengar orang mengatakan, "Saudara-saudara, marilah kita panjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa". Dalam bahasa Melayu, memanjatkan doa tidak ada. Yang dipanjatkan itu beruk. Yang ada, "Marilah kita berdoa". Tapi karena orang di atas bercakap begitu, sampai di kampung-kampung pun orang mengatakan, "memanjatkan doa". Sampai sekarang lima karangan saya itu masih dicari orang. Sebab, karangan itu masih sering dipakai untuk ujian SMA. Pernah anak-anak SMA datang ke rumah minta buku saya, tapi sudah tidak ada lagi. Padahal, buku-buku itu sudah sampai cetak ulang yang kelima. Waktu Gubernur Arifin Achmad, buku-buku saya itu dicetak, lalu dibagikan ke sekolah-sekolah. Begitu pula pada waktu Gubernur Subrantas. Tapi pada masa gubernur yang sekarang ini, saya tidak tahu. Kalau saya bandingkan buku-buku saya itu dengan buku-buku sekarang ini, dalam bahasa Indonesianya, belum ketinggalan. Sebab, tulisan yang diterima pada waktu itu oleh Balai Pustaka adalah tulisan yang baik. Tulisan yang terang dan tegas dibaca. Tulisan yang seperti sekarang ini kebanyakan mereka kembalikan. Begitulah sukarnya mengarang pada waktu itu. MEMBUAT MARAH MENTERI YAMIN SAYA menjadi guru selama tiga puluh delapan tahun. Pernah menjadi guru SD. Guru SMP. Dan di SMA, mengajar bahasa Indonesia. Sekali-sekali memberi kuliah bahasa di universitas. Itu hanya sekadar berceramah. Jadi, saya adalah seorang guru yang sekaligus berjiwa guru. Selama zaman Belanda, saya menjadi guru. Sewaktu tinggal di Pasirpangaraian, saya menjadi kepala sekolah. Datang Jepang pada 1942, saya diangkat oleh Jepang sebagai Singaku (penilik sekolah). Kemudian, oleh Jepang juga, saya diangkat menjadi anggota Sangikai -- semacam anggota DPR -- Riau. Anggota Sangikai ini terdiri dua kelompok: yang pertama dipilih oleh rakyat, dan yang kedua diangkat oleh Jepang. Saya ini termasuk anggota Sangikai yang dipilih oleh rakyat Pasirpangaraian. Ada tipu-muslihat Jepang mencari orang yang dipilih oleh rakyat. Sebab, dalam penilaian Jepang, orang yang dipilih oleh rakyat ini adalah orang yang rapat dengan rakyat. Jadi, orangnya bisa dipergunakan untuk menghadapi rakyat. Di samping itu, tak tertutup kemungkinan bagi orang ini melawan Jepang karena ia dekat dengan rakyat. Mudah bagi mereka itu melawan pemerintah Jepang karena rakyatnya banyak. Jadi, saya termasuk anggota Sangikai yang dimata-matai oleh Jepang. Pada waktu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, kami di Pasirpangaraian tidak tahu. Berita kemerdekaan itu baru diketahui pada September 1945 melalui perantaraan kawat pos. Kawat itu berisi perintah dari pusat bahwa setiap rumah harus menaikkan bendera merah putih. Karena takut, pegawai kantor pos tersebut hanya menaikkan bendera merah putih kecil saja. Lalu saya tanya ada apa. Maka, dijelaskanlah oleh pegawai pos bahwa kita sudah merdeka pada Agustus 1945 lalu. Dari situlah saya dan masyarakat Pasirpangaraian tahu bahwa Indonesia sudah merdeka. Maka, tiap rumah di Pasirpangaraian menaikkan bendera merah putih. Karena tak ada kain, kertas pun jadi. Untuk memberikan warna merah, digunakanlah buah kayu kesumba yang warnanya merah. Begitulah keadaan pada waktu itu. Kemudian datang perintah dari pusat untuk membentuk cabang KNIP di daerah, yang anggotanya dipilih oleh rakyat. Saya diangkat menjadi Ketua KNIP di daerah Pasirpangaraian. Waktu itu terjadi perbedaan pendapat di kalangan pegawai. Sebagian pegawai ada yang menginginkan ketua yang lama yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda. Setengah lagi betul-betul ingin merdeka. Kalau pegawai diangkat menjadi ketua, itu berbahaya. Maka, diangkatlah orang luar yang seolah-olah wakil pemerintah. Jadi, diangkatlah saya sebagai ketuanya. Sebetulnya, yang menarik hati pegawai untuk tetap pada pemerintah Hindia Belanda adalah karena ada sebuah kawat menjanjikan, "Supaya pegawai yang lama tetap menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Bagi mereka yang tetap menjadi pegawai, maka segala gajinya yang tak dibayar selama pendudukan Jepang akan dibayar oleh Belanda." Tentu pegawai senang mendengar itu. Saya tak mau itu. Semasa menjadi anggota KNIP di Pasirpangaraian, saya diangkat pula menjadi anggota DPR Riau. Itu terjadi sekitar 1946. Kantornya di Pekanbaru. Dari Pasirpangaraian ke Pekanbaru saya naik kereta angin selama tiga hari perjalanan. Kalau di perjalanan bertemu truk lewat, beruntunglah kami bisa naik truk. Kalau tidak, ya, bersepedalah sampai ke Pekanbaru. Tahun 1948 terjadi agresi Belanda kedua. Waktu itu, saya diangkat oleh pemerintah menjadi KPG (Komandan Pangkalan Gerilya) di Pasirpangaraian. Saya heran, apa sebabnya saya diangkat menjadi KPG. Ini kan urusan perang, sedangkan saya adalah guru. Tentu ada muslihat dari pemerintah kita di balik pengangkatan ini. Karena mereka tahu bahwa saya menjadi guru di Pasirpangaraian ini sudah 15 tahun. Tentu murid saya banyak yang sudah jadi orang. Sebab, di situ hanya satu sekolah. Murid dari berbagai daerah datang ke Pasirpangaraian. Pada waktu itu, guru sangat dihormati murid. Jadi, yang diharapkan pemerintah pada saya dengan diangkatnya menjadi komandan gerilya itu, supaya bisa mengerahkan para pemuda, bekas murid-murid saya. Memang, sewaktu saya mencari pemuda untuk bergerilya di hutan, banyak yang mengatakan mau. Bahkan, ketika dikatakan tak ada senjata, mereka sendiri yang menjanjikan akan mencari senjata. Jadi, waktu itu, terasa ada nikmat- nya menjadi guru. Kalau orang lain yang menjadi KPG waktu itu, saya rasa payah itu. Kami sempat berperang secara gerilya dengan Belanda, yang anggotanya kebanyakan orang kita. Kadang-kadang perang itu berlangsung berseberangan sungai. Kalau pasukan Belanda kuat, kami tak berani menyerang. Tapi kalau persenjataannya lemah, ya kami serang. Sesudah Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada Indonesia, pada 1950-an saya dipindahkan ke Pekanbaru. Karena saya dianggap sudah lama menjadi guru, diangkatlah saya menjadi Kepala PPK (sekarang Kanwil Departeman P dan K) Pekanbaru dan daerah sekitarnya. Di situ saya ditugasi membangun sekolah-sekolah yang selama pendudukan Jepang banyak rusak dan tak diurus. Begitu pula selama agresi Belanda itu, banyak orang yang tak sekolah. Barang sekolah banyak pula yang hilang. Bahkan bangku-bangku sekolah dijadikan kayu api. Sementara itu, ada pula sekolah yang sengaja kita bakar karena kita tak mengerti perang. Kita menganggap kalau tentara Belanda itu masuk, tentu mereka tinggal di sekolah. Tempat mereka bermalam. Untuk itu, lebih baik, supaya Belanda tidak bermalam di sekolah, kita bakarlah sekolah itu. Tapi kenyataannya tak begitu. Tentara Belanda tak mau tinggal di rumah atau sekolah, mereka tinggal di kemah. Jadi, rugilah kita membakar sekolah karena kita tak tahu taktik perang. Sekolah itulah yang akan kita bangun. Waktu itu tak ada dana, maka kita lakukanlah gotong-royong. Kita cari kayu, lalu kita paku bersama-sama. Kalau tidak ada atap seng, kita gunakan atap rumbia. Kalau tidak dapat dua kelas, satu kelas pun cukup. Itulah yang saya lakukan untuk menghidupkan kembali sekolah-sekolah dasar di Pekanbaru dan Kampar. Barulah setelah itu dibangun SMP -- waktu itu SMP di seluruh Riau baru ada satu. Kemudian pada 1953, setelah tiga tahun di Pekanbaru, ada beberapa orang pegawai yang tamat SD datang ke rumah saya. Waktu itu paling tinggi pegawai tamatan SD. Mereka bertanya, "Bagaimana nasib kami, Pak? Kalau hanya begini, kami tak bisa berbuat apa-apa. Bapak kan PPK. Harus dicarikan akal bagaimana supaya kami bisa melanjutkan sekolah ke SMP," kata mereka. Saya cobalah menghubungi bupati dan orang-orang yang patut. Ternyata, kawan-kawan setuju. Maka, didirikanlah SMP swasta di Pekanbaru. Di SMP itulah, pegawai-pegawai yang tamat SD ditampung. Karena mereka pegawai, sekolah diadakan pada sore harinya. Setelah berjalan tiga tahun, selesailah mereka di SMP. Tentu perlu pula dicarikan sekolah lanjutannya. Olang-orang itu datang lagi kepada saya, dan menanyakan kelanjutan sekolahnya. Waktu itu tidak ada satu pun SMA di Riau. Bersepakatlah saya dengan teman-teman untuk mendirikan SMA. Maka, pada 1954 saya dirikanlah SMA swasta, Setia Dharma. Ini SMA pertama di Riau. Kebetulan waktu itu datang Menteri PPK, Prof. Muhammad Yamin. Lalu, saya bawa ia ke Setia Dharma. Di situ ia berpidato, begitu pula saya. Sewaktu saya pidato, mulut saya telanjur mengatakan, "Pak Menteri, kami di Riau ini seolah-olah dianaktirikan." Lalu Menteri bertanya, "Ada apa itu?" Dan saya jelaskan, di seluruh Riau ini tak ada satu pun SMA. Tapi kalau kita pergi ke Sumatera Utara, Aceh, atau provinsi lain, banyak kita temukan SMA. Jadi, kami merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Untuk itu, kami mohon supaya SMA Setia Dharma ini diberi guru pemerintah. Ia tak menjawab. Tiba di Jakarta, ia mengirim surat kepada Gubernur Sumatera Tengah, Marah Ruslan. Isi suratnya, antara lain: "Sampaikan kepada Soeman Hs., ia itu pegawai. Nah, istilah anak tiri itu bukanlah perkataan yang seharusnya keluar dari mulut seorang pegawai tapi dari mulut anggota DPR. Dia itu bukan anggota DPR. Beri tahu sama dia." Begitulah Muhammad Yamin marah kepada saya. Tapi di akhir surat ia menegaskan bahwa ia tidak akan memberi guru untuk SMA Setia Dharma, tapi akan mendirikan sebuah SMA di Pekanbaru. Kami bersorak karena yang kami hajati memang itu. Meskipun saya kena marah, tak apalah. Sebab, hajat saya tercapai. Lantas didirikanlah SMA 1 Pekanbaru. Berhubung guru-guru kurang pada waktu itu, saya terpaksa ikut mengajar bahasa Indonesia. Tapi, insya Allah, SMA Setia Dharma, sekolah menengah atas pertama di Riau, sampai sekarang tetap berjalan dengan baik. Boleh dikatakan, mutu SMA itu -- kebetulan saya ketua yayasannya -- tidak di bawah SMA-SMA yang lain. Banyak sekolah pemerintah di bawah mutu Setia Dharma. Sesudah itu, terpikir oleh saya, kenapa Riau, yang banyak menghasilkan minyak, kok tidak memiliki satu pun universitas. Dibentuklah suatu panitia yang mengkaji kemungkinan untuk mendirikan universitas. MENDIRIKAN UNIVERSITAS ISLAM RIAU PADA 1961, datanglah Kaharuddin Nasution, sebagai gubernur pertama Provinsi Riau -- tadinya Riau masuk Provinsi Sumatera Tengah. Saya diundang ke rumahnya. "Saya dengar Bapak begini, begini .... Nah, saya ingin Bapak bekerja sama dengan saya," kata Kaharuddin Nasution. Saya jawab bahwa saya ingin pensiun. "Kirimlah kawat ke Jakarta untuk segera pensiun," jawabnya. Sebelum jawabannya saya terima, Kaharuddin Nasution meminta kepada Menteri Dalam Negeri, supaya mengangkat saya menjadi anggota BPH (Badan Pemerintah Harian) Riau. Waktu itu anggotanya empat orang. Lalu saya paparkan keinginan saya untuk mendirikan universitas di Riau. Ternyata, ia menyambut baik rencana itu. Kemudian kami dirikan dua universitas di Riau pada waktu yang hampir bersamaan. Satu Universitas Riau, universitas negeri, dan satu lagi Universitas Islam Riau (UIR), universitas swasta. Universitas swasta ini didirikan oleh Yayasan Lembaga Pendidikan Islam --kebetulan saya sebagai ketua umumnya. Peresmian Universitas Islam Riau dilakukan oleh Kaharuddin Nasution pada 1962. Dua bulan kemudian barulah diresmikan Universitas Riau. Pada waktu peresmian itu, Kaharuddin tak berada di Pekanbaru. Nah, berdasarkan peraturan waktu itu, kalau gubernur berhalangan -- sakit atau ke luar daerah -- yang mewakili gubernur adalah anggota BPH yang tertua. Kebetulan saya anggota BPH yang tertua. Maka, sayalah yang kemudian meresmikan Universitas Riau. Karena universitas itu milik pemerintah, saya tak ikut campur mengurusnya. Saya hanya mengurus Universitas Islam Riau. Sejak 1962 sampai sekarang, saya masih tetap menjadi Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Islam, lembaga yang mendirikan UIR. Sebelum mendirikan Universitas Islam Riau, saya telah mendirikan SMP Islam. Pikiran itu muncul ketika saya melihat perkembangan sekolah Kristen. Timbul pertanyaan dalam hati saya kenapa orang Islam tidak berbuat seperti itu. Saya ini kan anggota Masyumi. Jadi, jiwa saya adalah jiwa Islam. Maka, saya dirikanlah SMP Islam, di bawah lembaga pendidikan Islam yang saya ketuai. Di bawah yayasan ini berdirilah TK Islam, SMP Islam, SMA Islam, dan Universitas Islam Riau. Inilah yayasan yang paling lengkap di Indonesia. Ada empat fakultas di universitas kami yang mendapat persamaan dari pemerintah. Mendapat persamaan ini tidak mudah. Ada berpuluh-puluh universitas di Sumatera, tapi yang mendapat persamaan itu baru sedikit. Karena itulah universitas kami mudah mencari murid. Yang mendorong saya bekerja dalam bidang pendidikan, di samping tiga puluh delapan tahun menjadi guru, karena jiwa saya adalah jiwa seorang guru. Pernah, waktu di kelas lima SD, saya melihat guru pergi ke sekolah berpakaian putih-putih rapi. Alangkah cakapnya mereka itu. Itulah yang menyebabkan saya tertarik menjadi guru. Sifat itulah yang terbawa pada saya sampai sekarang. Jadi, kalau ada urusan yang berkaitan dengan guru, saya selalu kepingin ikut. KIAT MENULIS BUKU BEBERAPA tahun lalu saya hampir setiap hari berjalan pagi. Sekitar jam setengah enam singgah dulu di warung kopi Cina. Sambil minum kopi, saya ngobrol-ngobrol dengan teman. Setelah itu saya berjalan kaki lima kilometer. Mula-mula ke arah barat Pekanbaru. Besok ke timur. Besok lagi ke utara, dan begitu seterusnya. Itu saya lakukan hampir dua puluh tahun. Tanpa terasa, jantung saya sehat dibuatnya. Di samping itu, saya selalu senang naik kereta angin ke mana-mana. Kabar saya senang naik kereta angin sampai ke telinga Daoed Joesoef, yang waktu itu menjadi Menteri P dan K. Sewaktu ke Pekanbaru ia singgah di Universitas Riau. Di situ Daoed Joesoef bertanya kepada Prof Suhardi, teman saya, "Kenal Pak Suman Hs.?" "Saya kenal betul," jawab Prof Suhardi. "Coba pinjamkan kereta anginnya itu. Saya mau coba kereta angin dia itu," kata Daoed Joesoef. Datanglah Suhardi ke rumah saya meminjam kereta angin. Saya merasa keberatan. "Berikan sajalah kereta angin Bapak," kata Suhardi. Maka, Daoed Joesoef jalan-jalan di Pekanbaru dengan kereta angin saya. Menteri rupanya ingin mengatakan bahwa berkereta angin bukanlah suatu kehinaan. Sekarang saya dilarang berkereta angin, terutama oleh anak-anak dan kawan-kawan. Mereka takut akan terjadi kecelakaan. Saya mulai mengarang sesudah menjadi guru. Saya diangkat menjadi guru pada 1923 di Siak Indrapura. Kemudian, setelah diang- kat, saya sudah tertarik untuk mengarang. Pertama yang menarik saya adalah Muhammad Kasim, guru saya. Beliau mengarang Teman Duduk. Buku itu saya baca. Di sekolah guru saya itu banyak bercerita tentang pengarang. Saya pun tertarik menjadi pengarang. Di samping itu, saya rajin sekali membaca buku-buku di perpustakaan. Timbul dalam pikiran saya, kenapa orang ini bisa mengarang. Kenapa saya tak bisa? Kemudian saya senang mendengar cerita dari kawan dan orang-orang tua. Cerita tentang orang kampung. Cerita tentang orang pulang dari Singapura. Itu juga menimbulkan minat saya untuk menjadi pengarang. Karya saya pertama adalah Kasih tak Terlarai. Buku itu menceritakan, kalau kita mempunyai anak angkat, ia harus disamakan dengan anak kita. Janganlah terlampau direndahkan anak angkat itu seperti budak. Dan jangan pula ditinggikan anak kita sebagai anak raja. Itu tak boleh. Saya ingin, kalau kita mengambil anak yatim piatu sebagai anak kita, hargailah anak itu sebagai anak kita sendiri. Dalam cerita itu kenyataannya tidak. Maka, saya bantah pada akhir cerita, bahwa anak angkat inilah yang membalas guna. Jadi, maksud saya, kalau kita memelihara anak angkat, janganlah khawatir bahwa ia tidak membalas guna. Buku itu tidak terlalu tebal. Begitu saya kirimkan ke penerbit Balai Pustaka, langsung diterima. Honornya tak seberapa, hanya tiga puluh tujuh gulden. Tapi terbitnya buku itu membuat saya sangat gembira. Sebab, cita-cita saya menjadi pengarang terkabul. Buku pertama itulah yang mendorong saya mengarang buku yang lain. Jadi, saya merasa, dengan buku pertama itu, saya sudah mulai berhasil. Waktu itu mengarang untuk Balai Pustaka tidak mudah. Banyak karangan orang yang ditolak oleh Balai Pustaka. Saya, alhamdulillah, yang pertama langsung diterima. Maka, lahirlah karangan saya kedua Mencari Pencuri Anak Perawan. Buku ini termasuk yang paling cepat saya tulis. Saya pilih nama Sir Djoon, nama peranakan orang Inggris dalam buku itu, karena saya ingin buku tersebut dibaca orang, tidak saja di Riau, tapi juga di Singapura, dekat Bengkalis. Waktu itu hubungan antara Bengkalis dan Singapura tidak seperti sekarang. Dulu, kita berangkat ke Singapura tidak perlu pas. Malah orang Bengkalis banyak kawin dengan orang Singapura. Jadi, kalau saya buat nama orang Singapura dalam cerita itu, tentu lebih menarik untuk mereka. Si Nona ini nama peranakan Cina. Di Bengkalis itu peranakan Cina cukup banyak. Kalau kita berjumpa lima orang di jalanan, kira-kira satu oranglah peranakan Cina. Jadi, supaya menarik dibaca oleh peranakan Cina, saya berilah salah satu nama tokoh dalam cerita itu, Nona. Alhamdulillah, memang berhasil. Dan memang nama dalam hidup manusia adalah hal yang menarik. Di samping itu, nama-nama tersebut mudah dihafal oleh pembaca. Buku yang saya karang judulnya harus menarik. Maksudnya, sebelum buku itu dibaca, pembaca sudah mulai tertarik. Misalnya, Mencari Pencuri Anak Perawan. Saya selalu berusaha mencari judul buku yang menarik. Macam Kasih tak Terlarai. Menarik, bukan? Percobaan Setia, menarik juga. Setia kok dicoba-coba. Apa mungkin disebabkan saya senang membaca buku detektif? Itu tak dapat saya terangkan. Barangkali ya. Di buku detektif banyak nama yang dirahasiakan, tapi menarik. Saya juga senang membaca cerita-cerita lucu Melayu lama. Misalnya Lebai Malang. Saya menganggap buku-buku yang lucu lebih banyak disukai orang. Apalagi waktu itu orang sudah mulai suka jalan-jalan, turne, dan sebagainya. Buku-buku tebal tidak ada dibawa orang. Sedangkan kalau sambil turne, kita bawa buku tipis atau buku yang lucu. Tapi itu juga ada kaitannya dengan sifat saya. Kadang-kadang saya diundang orang untuk berpidato. Pidato saya agak disenangi orang. Walau itu pidato resmi, mesti saya selipkan cerita lucunya. Kadang-kadang, sebelum berpidato, saya cari akal agar orang tertawa. Kalau orang sudah ketawa, apa yang kita katakan akan mereka ikuti saja. Di samping itu, saya juga senang mendengar pidato-pidato. Saya tertarik sekali mendengar pidato Haji Agus Salim. Pernah waktu di sekolah guru Medan, saya mendengar pidato beliau. Ada-ada saja yang disebutnya, tapi menarik. Dari beliau, saya banyak mendapat ilham. Ia luar biasa dan tidak tinggi hati. Ia bisa bergaul dengan kalangan rendah. Dalam buku saya, tokoh-tokoh saya bertengkar, tapi pada akhirnya mereka mesti berdamai. Begitu semuanya. Seperti Kasih tak Terlarai, mula-mula mereka mau berbunuhan, tapi setelah tua mereka berdamai. Maka, diangkatnya anak angkatnya menjadi anak kandungnya. Itu damai namanya. Saya berpendapat, bagaimanapun salah manusia, pada suatu saat ia akan tobat. Kalau sudah tobat, tujuannya akan baik. Jadi, kalau kita berbuat salah, jangan takut, asal kita mau mengubah kesalahan tersebut kemudian hari. Jiwa saya begitu. Saya waktu muda pernah juga nakal, tapi itu saya sadari dan saya ubah. Dalam karangan saya lebih banyak memperhatikan cara berbahasa. Jadi, orang menganggap, kalau dibaca dari langgam bahasa, memang orang tertarik. Tapi jangan dibaca dari langgam misi. Misalnya pada Mencari Pencuri Anak Perawan. Kan mustahil, mencuri anak perawan itu bisa. Tapi karena saya menceritakan baik dan menarik, jadi orang tertarik dengan bahasa buku itu. Dengan sendirinya orang tertarik pula pada isi buku itu. Kalau kita lihat isi buku karangan Raja Ali Haji (pengarang Riau sebelumnya), di samping bercerita tentang sastra, ia menceritakan bagaimana manusia itu, supaya hidup bertabiat baik. Kalau kita baca Gurindam Dua Belas-nya, kan nasihat saja isinya. Hubungan kami begitulah kira-kira. Saya, dalam buku karangan saya, menceritakan bahwa akhirnya hidup manusia itu baik. Kebanyakan, buku Raja Ali Haji seperti itulah. Saya tidak pernah berhubungan dengan tokoh Pujangga Baru seperti Armijn Pane atau Amir Hamzah. Saya tidak pernah bertemu dengan mereka, kecuali dengan Hamka dan Sutan Takdir Alisjahbana. Hamka, dulu, pernah datang ke Pekanbaru. Dengan Sutan Takdir, saya bertemu di Jakarta. MENERIMA YANG ADA DI hari tua ini, saya boleh dikatakan sebagai NTR swasta. Pada tiap-tiap perkawinan besar atau kecil, saya selalu diundang. Di situ, saya diminta memberi nasihat perkawinan kepada kedua pengantin. Itu tetap saya lakukan, paling kurang sekali sebulan. Itu saya kerjakan sejak 1950. Juga sebelum pekawinan, saya selalu diundang. Sebab, saya sebagai orang tua dianggap tahu adat perkawinan. Jadi, mereka minta nasihat bagaimana melaksanakan perkawinan. Memang perkawinan itu tampaknya mudah, tapi adat jangan dilanggar. Sampai sekarang, saya masih menjadi Ketua Umum Yayasan Pendidikan Islam, yang dibentuk pada 1962. Di Setia Dharma, saya juga ketuanya. Sosial Budaya Riau, saya ketuanya. Di sinilah kesibukan saya. Kadang-kadang saya ke rumah sakit. Kadang-kadang saya ke Universitas Islam Riau, hanya sekadar melihat-lihat. Pada malam hari, saya tidak bisa tidur di bawah pukul 10. Untuk bisa tidur, saya selalu membaca. Kadang-kadang saya membaca buku-buku agama, tafsir Quran, dan lain-lain. Siang hari, saya tidak bisa tidur. Itu sudah lima tahun lamanya. Saya, dari kecil, sudah terbiasa mendengar pengajian dari lebai. Atau pergi ke masjid mendengar ceramah. Di situ, saya mendengar nasihat bahwa hidup di dunia ini ada senang dan ada susah. Kalau datang susahnya, janganlah terlalu dipikirkan. Sebab, ia akan pergi pada suatu saat. Meskipun kita panggil, dia tak akan datang lagi. Senang begitu juga. Jangan terlalu gembira di waktu senang. Ia juga akan pergi. Kalau sudah pergi, dipanggil tak datang lagi. Jadi, apa yang ada, terimalah. Nasihat itu masuk akal saya. Dan saya pakai. Itulah barangkali yang membawa umur baik. Hidup itu bisa diukur oleh rasio. Tapi, tidak bisa diatur oleh rasio. Kebanyakan, pada saya, hidup itu diatur oleh takdir. Bagaimana sesuatu itu saya pikirkan, harus begini, harus begitu, tapi kalau takdir mengatakan tidak, ya, tetap tidak juga. Sebaliknya, yang tidak saya pikirkan, kala takdir mengatakan ya, ia akan dapat. Namun, saya tidak membuang rasio. Ia tetap saya pakai. Tapi akan seratus persen saya pakai, itu tak bisa. Memang pengalaman saya begitu. Jadi, takdir dan rasio itu sama-sama saya pakai. Misalnya, saya punya keinginan pergi ke Mekah. Tapi, bagaimana bisa pergi ke sana kalau tidak punya uang. Entah kenapa, tiba-tiba saya dipanggil Gubernur Arifin Achmad. "Apakah Bapak tidak ingin pergi ke Mekah?" Gubernur bertanya kepada saya. Tentu saja saya jawab ya, tapi uang tidak ada. "Kalau begitu," kata Gubernur, "Bapak siapkan paspor, kami akan belanjakan Bapak ke Mekah dengan uang negara."' Maka, berangkatlah saya ke Mekah pada 1976. Padahal, pada waktu ia menjadi gubernur untuk kedua kalinya itu, ia tidak begitu baik dengan saya. Ada perbuatan dia yang tidak saya sukai. Lalu saya kritik, menyebabkan ia marah kepada saya. Itulah yang mengherankan, kenapa saya ditawarinya naik haji. Belakangan, baru saya tahu bahwa ia menyadari kebenaran yang saya kritikkan kepadanya. Karena ia hampir pensiun, untuk mengobati kesalahannya itu, maka saya disuruh pergi ke Mekah. Sewaktu saya menjadi kepala sekolah, saya selalu memberi contoh lewat diri saya. Waktu benar-benar saya jaga. Dulu, orang masuk sekolah pada pukul 7.30. Seperempat jam sebelum masuk, saya harus ada di sekolah. Melihat saya seperti itu, guru yang membantu saya ikut pula datang sebelum pukul 7.30. Malah ada di antara mereka yang hadir lebih dulu daripada saya. Sekali seminggu saya datang ke kelas mereka, memperhatikan bagaimana ia mengajar dan sekaligus saya memberi contoh. Sedang guru, kalau ia mengajar, tidak boleh berdiri di depan kelas. Itu akan menghalangi murid-murid melihat ke papan tulis. Jadi, ia harus berdiri agak ke samping. Kemudian seorang guru tidak boleh merokok di depan kelas. Memang ada guru yang begitu. Tapi ini pantang sekali menurut saya. Sebab, murid akan mencontoh apa yang dilakukan gurunya. Jadi, saya hanya memberi contoh, bukan teguran. Alhammdulillah, ya, sekolah yang saya pimpin itu baik mutunya. Muridnya cukup banyak karena satu-satunya sekolah di lima kerajaan (kecil) waktu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini