ALBANIA, pada suatu hari, langitnya yang diembusi Laut Tengah tak lagi mendengar satu suara. Ada sepuluh ribu mulut bergemerutuk gundah. Tentang "demokratis" dan "keterbukaan". Di Albania, waktu merambat terlalu pelan. Ketika dunia semakin majemuk, sejarah negara Balkan ini masih ditulis satu penulis: Partai Buruh Albania. Empat dasawarsa telah berlalu sebelum kehadiran paham lain selain komunisme dijamin pemimpin-pemimpinnya. Maka, di Albania, suatu hari di akhir Februari lalu, jalan-jalannya yang bisu diusik desing batu. Sepuluh ribu pasang tangan melemparkan kebencian pada simbol kebekuan: Enver Hoxha. Di ibu kota Tirana, di Koree, dan di Durres, patung pemuka komunis pertama Albania itu ditumbangkan jiwa yang letih diperbudak ideologi. "HOXHA, HITLER" EMPAT puluh tahun Enver Hoxha (1945-1985) memerintah dengan tangan besi. Musuhnya satu per satu "hilang", sementara hubungan dengan Amerika, Uni Soviet, Cina, dan sebagian negara Eropa Barat diputuskan. Ramiz Alia, penggantinya, menjanjikan pemilihan umum multipartai pada akhir Maret ini. Tapi rakyat tak sabar. Menyusul aksi mogok makan mahasiswa, warisan-warisan komunisme dicopot rakyat. Alia segera mengambil kekuasaan secara pribadi. Dalam kerusuhan, lima orang terbunuh pasukan keamanan, 900 orang dikabarkan kabur mencari suaka ke Italia. Fotografi: GAMMA, Teks: Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini