ILLYAS Pical memperpanjang gelarnya. Dan Taufiq Ismail 51 tahun, tetap berkampanye antitinju. Minggu lalu, di hadapan ratusan anak-anak muda di Pekalongan, Taufiq berseru, "Tinju merupakan adaptasi kebudayan lain, dan kita terpeleset menirunya. Ikut dalam lembah kejahilan." Lalu ia mengutip hadis Rasul, "Apabila engkau memukul hindarkan memukul muka." Nah, sasaran tinju justru muka. Sehari sebelumnya, di surat pembaca Kompas, Taufiq menulis sajak berjudul "Memuja Kepalan, Menghina Kepala" Februari tahun lalu, di kolom yang sama, Taufiq sudah menulis sajak antitinju berjudul "Lonceng Tinju". Pada "Lonceng" ia berkisah bagaimana ia sendirian (antitinju), tapi pada "Memuja" Taufiq bercerita tentang nasib petinju yang kepalanya sudah jadi tengkorak, dan diwawancarai wartawan. Sesudah sepuluh tahun berlalu/ Sesudah seribu juta di saku/Orang melupakan daku/Ketika aku lumpuh dan gagu/Kata tengkorak yang satu. Taufiq, yang dahulu mengagumi Petinju Muhammad Ali, kini sama sekali tak berani menonton tinju, walau cuma di televisi. "Kalau ada petinju mati dan kita menonton, kita pun ikut dimintai pertanggungjawaban Allah," begitu alasannya. Setidak-tidaknya, satu orang sudah terpengaruh kampanye Taufiq, yakni Istrinya. Anak-anaknya belum. Malah, kata Taufiq sambil terkekeh-kekeh, "saya dikatakan kolot, sialan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini