MEMBUKA pameran lukisan lebih menarik daripada mengumumkan devaluasi. Setidaknya begitulah kesan Kamis malam pekan lalu di Taman Ismail Marzuki: Menko Ekuin Ali Wardhana meresmikan pameran Adi Munardi, pelukis yang pernah tergabung dalam Sanggarbambu. Sementara sewaktu pengumuman devaluasi rupiah terhadap dolar tempo hari, Menteri justru tak hadir. Konon, untuk perkara devaluasi, Ali Wardhana sedang sakit. Dan untuk soal pameran, "Lho, saya ini sudah di-booking oleh pelukisnya jauh sebelum devaluasi," katanya. "Dan kebetulan saya punya waktu, dan dengan Adi saya sudah kenal tahun 1972, ketika saya masih jadi dekan Fakultas Ekonomi UI." Doktor ekonomi ini pun memang punya perhatian juga pada hal-hal di luar soal ekonomi dan keuangan. Ia gemar berolah raga dan suka memotret. Ini sebabnya, meski wajahnya selalu tampak letih memikirkan ekonomi Indonesia, barangkali, Ali Wardhana yang berdada bidang itu tetap tampak bersemangat. Begitu juga malam itu. Kepada wartawan TEMPO Rini PWI Asmara ia bercerita, banyak memajang hasil jepretannya sendiri di rumah. Juga beberapa lukisan karya pelukis yang disenanginya, antara lain Affandi. "Saya ini senang lukisan, tapi bukan yang abstrak," katanya. "Kalau sudah abstrak, saya nggak mengerti." Tak dikatakan oleh Menteri, termasuk abstrak atau bukan lukisan Adi yang sudah tak menyuguhkan bentuk realistis seperti dilihat mata itu. Yang jelas, ketika itulah, ada yang nyelonong. "Pak, kalau tidak paham lukisan abstrak, saya bisa menjelaskan," kata orang itu, yang ternyata Omar Abdalla, Direktur Utama BBD. Dengan yakin Omar menghampiri sebuah lukisan, lalu sambil tangannya menunjuk-nunjuk, katanya, "Ini, ada empat garis, di sini ada lima. Ini klop dengan angka 45% dan bukan 50%." Menteri pun tergelak, wajahnya jadi cerah, sebentar. Kembali berwajah serius, Ali, bapak empat anak, lalu menunjuk pada sebuah lukisan yang dipilihnya. "Itu yang ada warna cokelatnya saya suka. Yang lainlain 'kan lebih banyak hitamnya. Lagi pula, yang itu mirip lukisan Picasso," katanya pula. Menurut daftar harga, pilihan Menko Ekuin itu berharga Rp 2 juta kurang jelas sudah disesuaikan dengan devaluasi atau belum. Tapi apa, ya, yang dicari oleh orang kelahiran Solo 58 tahun lalu dari lukisan, foto, patung keramik yang menghiasi rumahnya? Bila di kantor hanya sempat melihat tumpukan kertas, map, dan angka-angka, "Melihat karya seni itu menyegarkan pikirran," jawabnya, dan tetap dengan wajah yang letih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini