BUNGA mawar dan melati ditaburkan di lantai luas di ruang penuh
ukiran itu. Ini bukan dongeng, tentu. Ini acara istimewa di
Pendopo Agung Sasono Utomo dan Sasono Langen Budoyo, TMII, yang
disimak tiga ribu tamu. Di situlah, Siti Hediati Hariyadi
Soeharto menikah dengan Prabowo Subianto Sumitro
Djojohadikusumo, Minggu 8 Mei 1983 -- bertepatan dengan Minggu
Wage 25 Rejeb 1915 Tahun Saka.
Ayah mempelai putri, Presiden Soeharto, langsung memimpin
upacara akad nikah, sekaligus bertindak, sebagai wali dalam
mengucapkan ijab kabul. Saksi adalah Wakil Presiden Umar
Wirahadikusumah dan Ketua Bepeka M. Jusuf. Khotbah nikah
diberikan K.H. Muchtar Nasir, kepala Kantor Wilayah Departemen
Agama DKI Jaya.
Perhelatan itu, diadakan oleh keluarga pengantin wanita menurut
tatacara Surakarta, nampak diatur dengan ketelitian dan kerapian
seorang komandan perang besar. Tak heran. Tak berbeda dengan
pernikahan tiga anaknya sebelum ini, "Selalu Bapak yang menyusun
acaranya," kata Ny. Tien Soeharto kepada Bunga Surawijaya dari
TEMPO. Cuma kali ini, "Pelaksananya anak-anak, adik-adik Ibu,
adik-adik Bapak," tambahnya.
Panitia kenduri yang meliputi lebih dari 300 petugas resmi,
diketuai Ibnu Hartomo, adik Ny. Tien Soeharto, telah bersiap
selama 60 hari.
Demikianlah, di hari itu, Probosutedjo -- adik Presiden Soeharto
-- menjadi jurubicara pihak pengantin wanita ketika menyambut
penyerahan mempelai pria. Ia bertutur dalam bahasa Jawa kromo
inggil, sama halnya dengan bahasa yang dipergunakan Soerono
(Menko. Polkam) yang mewakili pihak pengantin pria.
Pak Harto sendiri, tentu saja duduk sebagai ayah pengantin.
Sudah sejak Kamis Presiden tidak mengadakan kegiatan kenegaraan.
Menjelang hari-H yang kian dekat itu, ayah mempelai wanita ini
memberikan petunjuk final di lapangan. Bahkan sempat turun
tangan ketika pemasangan tarub Kamis pagi di kediamannya, Jl.
Cendana. Mengenakan surjan dan blangkon gaya Yogya, Pak Harto
memanjat tangga untuk memasang tarub di bagian depan rumahnya.
Siangnya ia memimpin upacara yang sama di tempat resepsi di
Pendopo Agung Sasono Utomo, TMII. Di sini bersama Ny. Tien
Soeharto, kepala negara memberikan petunjuknya. Sampai-sampai
memeriksa mikrofon di meja untuk akad nikah, melihat ruang
makan, dan ikut menyaksikan gladi resik para petugas yang akan
bekerja pada hari-H, 8 Mei itu. Tapi sebelum latihan dimulai,
Pak Harto memberi penjelasan ihwal mengenakan keris -- terutama
untuk yang muda-muda. Sebab dalam acara kenduri hari Minggunya,
semua petugas pria mengenakan beskap hitam dan blangkon gaya
Sala, kain dan keris.
"Keris adalah pusaka," ujar Presiden Soeharto, "jadi selain
untuk dipakai, juga harus dihormati. Jangan sampai diperlakukan
sembarangan." Sedikit berkelakar tambahnya: "Keris itu bukan
solet." Maksudnya, semacam bambu yang dipotong tipis untuk
mencungkil tanah yang melekat pada pacul. Itu sebabnya, tambah
Pak Harto: "Si pemakai harus memperhatikan agar memakainya
secara benar." "Kalau pakai keris, tangan jangan bertolak
pinggang," ujarnya tertawa seraya memberi contoh.
Tentu saja petunjuk Pak Harto tak sia-sia. Tepat pada puncak
acara, rangkaian upacara berjalan mulus. Dibantu cuaca yang
cukup bersahabat selama kenduri berlangsung yang dimulai pukul
09.30. Awan putih berarak tenang di langit TMII. Ketika sebagian
tamu mulai bergilir pulang, menjelang pukul 13.00 gerimis kecil
turun sedikit. Ternyata sekitar dua kilometer dari tempat itu,
hujan turun deras. "Pawang memang menjamin sampai pukul dua
kok," gurau seorang panitia.
Keesokan harinya, Senin malam, kenduri diselenggarakan pihak
keluarga pengantin pria di Balai Kartini, Jakarta. Dalam
kesempatan ini mempelai pria mengenakan seragam Kopassandha,
sementara pengantin wanita berpakaian adat Jawa.
Pasangan Bowo dan Titi rupanya tak ada rencana untuk berbulan
madu seperti lazimnya pengantin baru. "Cuti Mas Bowo paling juga
seminggu. Itu pun sudah terpakai buat persiapan-persiapan," kata
Titi kepada TEMPO. Ia tampak memahami situasi sang suami,
Prabowo, 32 tahun, yang terikat oleh tugas sebagai kapten dalam
pasukan baret merah, Kopassandha.
Dalam pergaulan sehari-hari, putri keempat dari enam anak
Presiden Soeharto itu, "memang berusaha agar bisa menempatkan
diri," komentar seorang kawan dekatnya, "Dan dia orang yang mau
mengerti orang lain." Setelah menjadi Ny. Prabowo dalam usia 24
tahun, kini, "saya bersiap menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Sudah masanya. Sudah harus berhenti macam-macam," ujarnya
tersenyum dengan kedua pipi yang berlesung pipit.
Meski sudah berumah tangga, wanita berkulit putih dengan wajah
mirip ayahnya itu tak ingin putus kuliah. "Mau saya terusin.
Tanggung," kata mahasiswi tingkat V Fakultas Ekonomi UI itu.
Kegemarannya tak ada yang terlalu khusus, tapi humornya awet,
seperti bisa disimak dari obrolan berikut dengan Bunga
Surawijaya dari TEMPO:
Anda suka berkebun?
Ih, geli sama cacing.
Main bowling?
Kadang-kadang.
Berenang?
Nggak seberapa.
Naik kuda?
Nggak suka.
Golf?
Nggak suka.
Disko?
Udah pensiun ....
Baca buku?
Kadang-kadang, kalau ada waktu. Kalau nggak malas.
Suka masak?
Kalau sudah punya rumah sendiri baru masak. Sekarang belum.
Hobinya baru makan saja."
Namun ada satu kegemarannya yang menon1ol, yaltu: amat menyukai
warna merah. Adakah ini rahasianya hingga ia terpikat kepada
sang baret merah? Seraya memperbaiki dandanan rambutnya yang tak
pernah berubah semenjak di SMP itu, disisir lurus ke belakang,
Titi mengungkapkan, "Saya memang mau cari tentara" Ia pun cepat
menambahkan: "Bapak kan tentara. Tapi anak-anak Bapak nggak ada
yang jadi tentara. Nah, mantunya tentara. Ya, dia senang juga
...".
Perkenalan pertama terjadi lebih setahun yang silam, ketika ada
pesta ulang tahun di rumah Kol. Wismoyo, ipar Ny. Tien Soeharto.
Wismoyo waktu itu salah seorang komandan grup pasukan baret
merah, kini menjabat Komandan Jenderal Kopassandha. Pertemuan
pertama itu tak serta-merta disusul dengan kontak berikutnya.
Karena masing-masing punya kesibukan. Baru lima bulan kemudian,
menurut Titi: "Ada komunikasi lagi".
Dalam arti luas faktor komunikasi ini menjadi tumpuan perhatian
Titi. Ia tak mengharapkan akan selalu punya kesamaan-kesamaan.
Tapi yang penting, "Asal saling mengerti. Saling bisa
menghormati hak asasi," katanya seraya tersenyum. "Ada
kebebasan," ulasnya lagi.
Ia beruntung. Kebebasan itu ada di tangannya dalam menentukan
pasangan hidup. "Syarat dari Bapak, yang diutamakan seagama,"
Titi bercerita. Ibarat pucuk di cinta, Prabowo tiba. Titi tak
bertepuk sendiri.
Tapi siapa gerangan sang perwira idaman itu? Prabowo, anak
ketiga dari empat anak Prof. Sumitro Djojohadikusumo, lahir di
Jakarta 17 Oktober 1951. Lebih dari separuh usianya ia hidup di
luar Indonesia. Mula-mula di Singapura, lalu Kualalumpur,
Hongkong, kemudian di Swiss dan Inggris. Kawan-kawannya mengenal
dia sebagai orang yang rajin membaca buku, gemar olah raga.
Ketika tinggal di Swiss, ia suka bermain ski. Olah raga yang
disenanginya sampai sekarang: lari dan berenang. Olah raga
kegemaran ayahnya, tenis, konon tak begitu disukainya, karena
dianggapnya terlalu biasa.
Sekembalinya ke tanah air bersama keluarga, tahun 1967, Prabowo
beberapa kali tampak ikut kegiatan KAPPI -- Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia di Jakarta. Sekitar tahun 1970 ia diterima di
fakultas ekonomi pada dua universitas di Amerika: Colorado
University dan Berkeley. Namun putra ahli ekonomi mi punya
pilihan lain. Ia memutuskan masuk Akabri bagian Darat jurusan
infantri. Ia lulus tahun 1974. Setahun terlambat, karena pernah
melakukan pelanggaran. Yaitu: keluar garnisun.
Ceritanya, begini. Para taruna mendapat izin cuti ke Yogya. Tapi
Prabowo mempergunakan kesempatan ini untuk nyelonong sampai ke
Jakarta. Akibatnya, pangkatnya diturunkan satu tingkat.
Tapi yang mengesankan bagi kawan-kawan seangkatannya ketika itu,
adalah kebolehan Prabowo membantah pendapat yang dianggapnya tak
kena. Di kelas ia berani menyatakan pendapat serta
mempertahankannya, di samping ia juga tampak mempunyai ingatan
dan daya tangkap bagus. "Kalau mengikuti kuliah, dia lebih
banyak mendengar dari mencatat," tutur Mayor Poltak Manurung.
"Tapi waktu ujian, hasilnya baik," tambah perwira yang pernah
mengasuh Prabowo itu. Poltak sudah 12 tahun bekerja di
lingkungan Akabri.
Karena lama berada di luar negeri ia mahir berbahasa Inggris.
Bahkan, menurut beberapa sahabatnya, sampai bisa disebut
Inggrisnya Inggris atau the Queen's English. Tak heran bila ia
sering maju sebagai penerjemah pidato secara langsung, bila ada
tamu asing mengunjungi Akabri. Ia fasih pula berbahasa Jerman
dan Prancis. Bahasa Belandanya juga lumayan.
Setahun pertama di kampus Akabri, lidah Indonesianya masih
sering tergelincir. Gayanya pun masih membawa-bawa laku orang
Barat, hingga para pembimbingnya sering salah paham dan mengira
ia 'sombong'. Padahal tidak dibuat-buat. "Sampai perlu diadakan
les bahasa Indonesia buat dia," tutur Mayor Poltak pula.
Kesulitannya memahami bahasa Indonesia -- apalagi kalau sudah
kena istilah-istilah slang, merupakan tantangan tersendiri
baginya. Seperti dituturkan seorang kapten seangkatannya:
"Karena tak mengerti dengan jelas perintah yang diberikan
senior, ia sering dapat hukuman".
Keberanian untuk menghadapi segala tantangan akan selalu diuji
dan ujian itulah akan menentukan apakah kita akan berdiri tegak
dan teguh penuh kehormatan atau tidak. Apa yang dituliskan
Prabowo dalam buku kenangan taruna tahun 1974 itu ternyata bukan
sekadar kobaran semangat sebatas angan-angan. Pada usianya yang
terbilang muda kini, ia pernah melakukan pertempuran 3 kali: di
Kalimantan Utara di Irian Jaya dan di Timor Timur. Adalah kompi
yang dipimpinnya yang berhasil menghabisi riwayat Lobatto --
'presiden' Fretilin -- dalam suatu pertempuran di tahun 1979.
Pria berkulit kuning langsat ini, dalam pergaulan dikenal hangat
dan simpatik. Dalam kedinasan, menurut anak buahnya Kapten
Prabowo menunjukkan sikap mengayomi, meski juga keras dalam
disiplin. Kini ia menjabat wakil Komandan Detasemen 81
Kopassandha. Pernah memperoleh pendidikan perang khusus di AS
dan latihan anti-teroris di Jerman Barat.
Jalan memang sedang terbuka baginya. Atau menurut pengamatan
bekas pengasuhnya di Akabri, Mayor Poltak Manurung: "Setelah
lama saya bekerja di lingkungan ini, sedikit banyak mengetahui
juga akan jadi apa masing-masing taruna." Akan halnya Prabowo
menurut Poltak, "Termasuk klasifikasi yang akan menjadi
jenderal."
Tapi tentu masa depan punya misterinya sendiri. Seperti lazim
kata orang, hanya Tuhan yang tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini