Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Menikah dengan putri suharto

Prabowo subianto djojohadikusumo, putra ke-3 prof. djojohadikusumo dengan putri ke-4 presiden soeharto, siti hedeati hariyadi. upacara perkawinan dilakukan di pendopo agung sasono tmii.(pt)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNGA mawar dan melati ditaburkan di lantai luas di ruang penuh ukiran itu. Ini bukan dongeng, tentu. Ini acara istimewa di Pendopo Agung Sasono Utomo dan Sasono Langen Budoyo, TMII, yang disimak tiga ribu tamu. Di situlah, Siti Hediati Hariyadi Soeharto menikah dengan Prabowo Subianto Sumitro Djojohadikusumo, Minggu 8 Mei 1983 -- bertepatan dengan Minggu Wage 25 Rejeb 1915 Tahun Saka. Ayah mempelai putri, Presiden Soeharto, langsung memimpin upacara akad nikah, sekaligus bertindak, sebagai wali dalam mengucapkan ijab kabul. Saksi adalah Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah dan Ketua Bepeka M. Jusuf. Khotbah nikah diberikan K.H. Muchtar Nasir, kepala Kantor Wilayah Departemen Agama DKI Jaya. Perhelatan itu, diadakan oleh keluarga pengantin wanita menurut tatacara Surakarta, nampak diatur dengan ketelitian dan kerapian seorang komandan perang besar. Tak heran. Tak berbeda dengan pernikahan tiga anaknya sebelum ini, "Selalu Bapak yang menyusun acaranya," kata Ny. Tien Soeharto kepada Bunga Surawijaya dari TEMPO. Cuma kali ini, "Pelaksananya anak-anak, adik-adik Ibu, adik-adik Bapak," tambahnya. Panitia kenduri yang meliputi lebih dari 300 petugas resmi, diketuai Ibnu Hartomo, adik Ny. Tien Soeharto, telah bersiap selama 60 hari. Demikianlah, di hari itu, Probosutedjo -- adik Presiden Soeharto -- menjadi jurubicara pihak pengantin wanita ketika menyambut penyerahan mempelai pria. Ia bertutur dalam bahasa Jawa kromo inggil, sama halnya dengan bahasa yang dipergunakan Soerono (Menko. Polkam) yang mewakili pihak pengantin pria. Pak Harto sendiri, tentu saja duduk sebagai ayah pengantin. Sudah sejak Kamis Presiden tidak mengadakan kegiatan kenegaraan. Menjelang hari-H yang kian dekat itu, ayah mempelai wanita ini memberikan petunjuk final di lapangan. Bahkan sempat turun tangan ketika pemasangan tarub Kamis pagi di kediamannya, Jl. Cendana. Mengenakan surjan dan blangkon gaya Yogya, Pak Harto memanjat tangga untuk memasang tarub di bagian depan rumahnya. Siangnya ia memimpin upacara yang sama di tempat resepsi di Pendopo Agung Sasono Utomo, TMII. Di sini bersama Ny. Tien Soeharto, kepala negara memberikan petunjuknya. Sampai-sampai memeriksa mikrofon di meja untuk akad nikah, melihat ruang makan, dan ikut menyaksikan gladi resik para petugas yang akan bekerja pada hari-H, 8 Mei itu. Tapi sebelum latihan dimulai, Pak Harto memberi penjelasan ihwal mengenakan keris -- terutama untuk yang muda-muda. Sebab dalam acara kenduri hari Minggunya, semua petugas pria mengenakan beskap hitam dan blangkon gaya Sala, kain dan keris. "Keris adalah pusaka," ujar Presiden Soeharto, "jadi selain untuk dipakai, juga harus dihormati. Jangan sampai diperlakukan sembarangan." Sedikit berkelakar tambahnya: "Keris itu bukan solet." Maksudnya, semacam bambu yang dipotong tipis untuk mencungkil tanah yang melekat pada pacul. Itu sebabnya, tambah Pak Harto: "Si pemakai harus memperhatikan agar memakainya secara benar." "Kalau pakai keris, tangan jangan bertolak pinggang," ujarnya tertawa seraya memberi contoh. Tentu saja petunjuk Pak Harto tak sia-sia. Tepat pada puncak acara, rangkaian upacara berjalan mulus. Dibantu cuaca yang cukup bersahabat selama kenduri berlangsung yang dimulai pukul 09.30. Awan putih berarak tenang di langit TMII. Ketika sebagian tamu mulai bergilir pulang, menjelang pukul 13.00 gerimis kecil turun sedikit. Ternyata sekitar dua kilometer dari tempat itu, hujan turun deras. "Pawang memang menjamin sampai pukul dua kok," gurau seorang panitia. Keesokan harinya, Senin malam, kenduri diselenggarakan pihak keluarga pengantin pria di Balai Kartini, Jakarta. Dalam kesempatan ini mempelai pria mengenakan seragam Kopassandha, sementara pengantin wanita berpakaian adat Jawa. Pasangan Bowo dan Titi rupanya tak ada rencana untuk berbulan madu seperti lazimnya pengantin baru. "Cuti Mas Bowo paling juga seminggu. Itu pun sudah terpakai buat persiapan-persiapan," kata Titi kepada TEMPO. Ia tampak memahami situasi sang suami, Prabowo, 32 tahun, yang terikat oleh tugas sebagai kapten dalam pasukan baret merah, Kopassandha. Dalam pergaulan sehari-hari, putri keempat dari enam anak Presiden Soeharto itu, "memang berusaha agar bisa menempatkan diri," komentar seorang kawan dekatnya, "Dan dia orang yang mau mengerti orang lain." Setelah menjadi Ny. Prabowo dalam usia 24 tahun, kini, "saya bersiap menjadi ibu rumah tangga yang baik. Sudah masanya. Sudah harus berhenti macam-macam," ujarnya tersenyum dengan kedua pipi yang berlesung pipit. Meski sudah berumah tangga, wanita berkulit putih dengan wajah mirip ayahnya itu tak ingin putus kuliah. "Mau saya terusin. Tanggung," kata mahasiswi tingkat V Fakultas Ekonomi UI itu. Kegemarannya tak ada yang terlalu khusus, tapi humornya awet, seperti bisa disimak dari obrolan berikut dengan Bunga Surawijaya dari TEMPO: Anda suka berkebun? Ih, geli sama cacing. Main bowling? Kadang-kadang. Berenang? Nggak seberapa. Naik kuda? Nggak suka. Golf? Nggak suka. Disko? Udah pensiun .... Baca buku? Kadang-kadang, kalau ada waktu. Kalau nggak malas. Suka masak? Kalau sudah punya rumah sendiri baru masak. Sekarang belum. Hobinya baru makan saja." Namun ada satu kegemarannya yang menon1ol, yaltu: amat menyukai warna merah. Adakah ini rahasianya hingga ia terpikat kepada sang baret merah? Seraya memperbaiki dandanan rambutnya yang tak pernah berubah semenjak di SMP itu, disisir lurus ke belakang, Titi mengungkapkan, "Saya memang mau cari tentara" Ia pun cepat menambahkan: "Bapak kan tentara. Tapi anak-anak Bapak nggak ada yang jadi tentara. Nah, mantunya tentara. Ya, dia senang juga ...". Perkenalan pertama terjadi lebih setahun yang silam, ketika ada pesta ulang tahun di rumah Kol. Wismoyo, ipar Ny. Tien Soeharto. Wismoyo waktu itu salah seorang komandan grup pasukan baret merah, kini menjabat Komandan Jenderal Kopassandha. Pertemuan pertama itu tak serta-merta disusul dengan kontak berikutnya. Karena masing-masing punya kesibukan. Baru lima bulan kemudian, menurut Titi: "Ada komunikasi lagi". Dalam arti luas faktor komunikasi ini menjadi tumpuan perhatian Titi. Ia tak mengharapkan akan selalu punya kesamaan-kesamaan. Tapi yang penting, "Asal saling mengerti. Saling bisa menghormati hak asasi," katanya seraya tersenyum. "Ada kebebasan," ulasnya lagi. Ia beruntung. Kebebasan itu ada di tangannya dalam menentukan pasangan hidup. "Syarat dari Bapak, yang diutamakan seagama," Titi bercerita. Ibarat pucuk di cinta, Prabowo tiba. Titi tak bertepuk sendiri. Tapi siapa gerangan sang perwira idaman itu? Prabowo, anak ketiga dari empat anak Prof. Sumitro Djojohadikusumo, lahir di Jakarta 17 Oktober 1951. Lebih dari separuh usianya ia hidup di luar Indonesia. Mula-mula di Singapura, lalu Kualalumpur, Hongkong, kemudian di Swiss dan Inggris. Kawan-kawannya mengenal dia sebagai orang yang rajin membaca buku, gemar olah raga. Ketika tinggal di Swiss, ia suka bermain ski. Olah raga yang disenanginya sampai sekarang: lari dan berenang. Olah raga kegemaran ayahnya, tenis, konon tak begitu disukainya, karena dianggapnya terlalu biasa. Sekembalinya ke tanah air bersama keluarga, tahun 1967, Prabowo beberapa kali tampak ikut kegiatan KAPPI -- Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia di Jakarta. Sekitar tahun 1970 ia diterima di fakultas ekonomi pada dua universitas di Amerika: Colorado University dan Berkeley. Namun putra ahli ekonomi mi punya pilihan lain. Ia memutuskan masuk Akabri bagian Darat jurusan infantri. Ia lulus tahun 1974. Setahun terlambat, karena pernah melakukan pelanggaran. Yaitu: keluar garnisun. Ceritanya, begini. Para taruna mendapat izin cuti ke Yogya. Tapi Prabowo mempergunakan kesempatan ini untuk nyelonong sampai ke Jakarta. Akibatnya, pangkatnya diturunkan satu tingkat. Tapi yang mengesankan bagi kawan-kawan seangkatannya ketika itu, adalah kebolehan Prabowo membantah pendapat yang dianggapnya tak kena. Di kelas ia berani menyatakan pendapat serta mempertahankannya, di samping ia juga tampak mempunyai ingatan dan daya tangkap bagus. "Kalau mengikuti kuliah, dia lebih banyak mendengar dari mencatat," tutur Mayor Poltak Manurung. "Tapi waktu ujian, hasilnya baik," tambah perwira yang pernah mengasuh Prabowo itu. Poltak sudah 12 tahun bekerja di lingkungan Akabri. Karena lama berada di luar negeri ia mahir berbahasa Inggris. Bahkan, menurut beberapa sahabatnya, sampai bisa disebut Inggrisnya Inggris atau the Queen's English. Tak heran bila ia sering maju sebagai penerjemah pidato secara langsung, bila ada tamu asing mengunjungi Akabri. Ia fasih pula berbahasa Jerman dan Prancis. Bahasa Belandanya juga lumayan. Setahun pertama di kampus Akabri, lidah Indonesianya masih sering tergelincir. Gayanya pun masih membawa-bawa laku orang Barat, hingga para pembimbingnya sering salah paham dan mengira ia 'sombong'. Padahal tidak dibuat-buat. "Sampai perlu diadakan les bahasa Indonesia buat dia," tutur Mayor Poltak pula. Kesulitannya memahami bahasa Indonesia -- apalagi kalau sudah kena istilah-istilah slang, merupakan tantangan tersendiri baginya. Seperti dituturkan seorang kapten seangkatannya: "Karena tak mengerti dengan jelas perintah yang diberikan senior, ia sering dapat hukuman". Keberanian untuk menghadapi segala tantangan akan selalu diuji dan ujian itulah akan menentukan apakah kita akan berdiri tegak dan teguh penuh kehormatan atau tidak. Apa yang dituliskan Prabowo dalam buku kenangan taruna tahun 1974 itu ternyata bukan sekadar kobaran semangat sebatas angan-angan. Pada usianya yang terbilang muda kini, ia pernah melakukan pertempuran 3 kali: di Kalimantan Utara di Irian Jaya dan di Timor Timur. Adalah kompi yang dipimpinnya yang berhasil menghabisi riwayat Lobatto -- 'presiden' Fretilin -- dalam suatu pertempuran di tahun 1979. Pria berkulit kuning langsat ini, dalam pergaulan dikenal hangat dan simpatik. Dalam kedinasan, menurut anak buahnya Kapten Prabowo menunjukkan sikap mengayomi, meski juga keras dalam disiplin. Kini ia menjabat wakil Komandan Detasemen 81 Kopassandha. Pernah memperoleh pendidikan perang khusus di AS dan latihan anti-teroris di Jerman Barat. Jalan memang sedang terbuka baginya. Atau menurut pengamatan bekas pengasuhnya di Akabri, Mayor Poltak Manurung: "Setelah lama saya bekerja di lingkungan ini, sedikit banyak mengetahui juga akan jadi apa masing-masing taruna." Akan halnya Prabowo menurut Poltak, "Termasuk klasifikasi yang akan menjadi jenderal." Tapi tentu masa depan punya misterinya sendiri. Seperti lazim kata orang, hanya Tuhan yang tahu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus