BISA dimengerti kalau Menteri Ali Wardhana banyak senyum ketika
menerima beberapa wartawan di kantornya pekan lalu. Tak kurang
dari empat proyek besar yang belum dilaksanakan pembangunannya,
oleh pemerintah telah disetujui untuk ditunda sementara.
Setidaknya, menurut menteri, dalam tahun anggaran 1983/1984 ini.
Adapun empat proyek yang "ditahapkan kembali" (rephasing),
adalah: Pusat Aromatik di Plaju (US$ 1,5 milyar), perluasan
kilang minyak Musi (US$ 1,35 miIyar), proyek Olefin di Lhok
Seumawe (US$ 1,6 milyar), dan Alumina di Pulau Bintan (US$ 0,6
milyar).
Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan merasa agak lega, karena
dengan pentahapan kembali empat proyek itu, beban neraca
pembayaran yang sudah semakin defisit itu bisa dikurangi. "Dari
empat proyek itu saja jumlahnya mencapai US$ 5,05 milyar. Maka
dengan pentahapan kembali, pembiayaan yang diperlukan hanya US$
1 milyar," katanya.
Pentahapan kembali itu memang sesuai dengan keputusan sidang
pertama Kabinet Pembangunan IV, akhir Maret lalu. untuk itu,
pemerintah sudah membentuk tim, terdiri dari Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan dan Ketua Bappenas, Dr J.B. Sumarlin,
dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Dr. Saleh
Afiff, dibantu departemen keuangan, dan departemen teknis lain
bersangkutan. Untuk sementara, tim teknis itu sudah memilih
empat proyek tadi agar dijadwalkan kembali.
Ada alasan kuat untuk itu. Empat proyek besar yang 99%
komponennya diimpor dari luar negeri, sebagian pembiayaannya
akan ditanggung oleh pemerintah. Partner swasta asing dan dalam
negeri yang ikut menanamkan modalnya, biasanya mencari pinjaman
dari bank-bank di luar negeri, berupa kredit ekspor dan pinjaman
komersial.
Di kala petrodollar masih luber, sistem pembiayaan proyek yang
kurang lebih fifty-fifty itu memang bisa berjalan baik. Tapi di
masa surutnya uang minyak di dunia, likuiditas bank-bank asing
pun berkurang. Dan pemerintah memang harus berpikir dua kali
sebelum meluluskan pelaksanaan proyek itu -- sebab kian sulit
bagi si swasta untuk cari kredit. Sedang pemerintah sendiri
masih butuh mencari kredit komersial untuk memperkuat cadangan
devisa.
Adapun proyek Pusat Aromatik di Plaju itu semula direncanakan
sebagai proyek terpadu, untuk mengolah minyak mentah dan
kondensat menjadi naphta, lalu diproses menjadi paraxylene,
selanjutnya diolah menjadi purified terephthalic acid (PTA).
Hasil akhir inilah yang kemudian diolah lagi oleh sejumlah
industri hilir di dalam negeri menjadi polyester staple fibre
dan polyester filamen yarn, yakni benang sintetis untuk pabrik
tekstil.
Untuk memenuhi kebutuhan akan benang sintetis, pemerintah tetap
akan melanjutkan pembangunan industri hilir, unit terakhir dari
Pusat Aromatik yang menghasilkan PTA. Sedang bahan bakunya,
paraxylene, masih harus diimpor. "Produksi bahan itu di dunia
cukup banyak, dan harganya kini sedang merosot," kata Ali
Wardhana.
Kontraktor utama pembangunan Pusat Aromatik ini adalah Thyssen
Rheinstahr Technik (Jerman Barat) dan M.W. Kellogg (AS). Untuk
menghasilkan PTA itu digunakan teknologi milik Mitsui
Petrochemical Co. Karena itulah semua mesin-mesin disuplai
Jepang. Hingga kini pihak Mitsui sudah melakukan pengapalan
empat kali, dengan nilai 1 milyar, untuk proyek Aromatik.
Memenuhi pesanan Thyssen dan Kellogg, Mitsui masih harus
mengapalkan lagi sejumlah mesin, bernilai 3 milyar. "Kalau
terjadi pembatalan, kami akan minta denda pada Thyssen dan
Kellogg," kata Nagai, pejabat dari Mitsui kepada koresponden
TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa.
Berbeda dengan proyek aromatik yang rencananya sudah lama,
proyek perluasan kilang minyak Musi sebenarnya baru disetujui di
akhir Oktober lalu, dengan empat swasta Jepang: JGC Corporation,
C. Itoh, Nissho-Iwai, dan Far East Oil Trading Co. Indonesia
ketika itu sebenarnya telah membangun perluasan tiga kilang
minyak lainnya, masing-masing di Cilacap, Balikpapan, dan
hydrocracker di Dumai, yang kelak diperkirakan mampu memenuhi
kebutuhan BBM di dalam negeri. Dan kilang Cilacap, yang dibangun
oleh kontraktor Fluor Eastern (AS), akan diresmikan oleh
Presiden Soeharto pada 1 Agustus nanti. Menko Ekuin Ali Wardhana
berpendapat, "proyek kilang minyak Musi saat ini tidak ada
urgensinya untuk diteruskan."
Menurut Indraman Akman, direktur Pengolahan Pertamina, yang juga
memimpin proyek kilang Musi, tahap perencanaan (front-end
engineering) Musi sudah selesai 99%, menelan biaya US$ 5 juta,
atau 0,37% dari pembiayaan pembangunan tahap kedua. "Karena
proyek itu baru memasuki tahap pertama, maka praktis tak
berakibat banyak," katanya kepada TEMPO pekan lalu.
Proyek ketiga adalah Alumina Bintan, yang direncanakan manpu
mengolah bauksit jadi alumunium untuk proyek Asahan, yang sudah
lama tertunda-tunda. Kontrak untuk disain mesin dan pelayanan
manajemen proyek, yang akan menghasilkan alumina 600 ribu ton
per tahun itu, dimenangkan oleh Kaiser Alumunium Technical
Services dan Kaiser Engineers International (AS). Fuji Denki dan
Mitsui Zosen, yang masing-masing mendapat pesanan membuat
generator dan boile mungkin akan rugi US$ 70 juta akibat
penundaan itu. "Kami harapkan pemerintah Indonesia mau
secepatnya meninjau penjadwalan kembali itu," kata seorang
pejabat dari Mitsui di Tokyo.
Yang terbesar kena penjadwalan kembali adalah proyek Olefin di
Lhok Seumawe, Aceh, patungan antara Exxon Chemical, AS (45%),
Pertamina (40%), dan Tonen Sekiyu Kagaku, Jepang (15%). Proyek
ini direncanakan kelak mampu mengolah ethane, yang terkandung
dalam gas alam dari Arun, antara lain jadi plastik.
Menurut seorang pejabat dari Tonen Sekiyu Kagaku (Jepang),
pekerjaan proyek Olefin masih dalam tahap persiapan. Karena itu,
katanya, proyek ini belum diapa-apakan. Pemesanan, dan
pengapalan mesin-mesinnya pun juga belum dilakukan.
Sekalipun demikian, penjadwalan kembali itu tetap akan
membutuhkan dana US$ 1 milyar (tahun 1983/1984), yang antara
lain dicadangkan untuk menghadapi denda (penalty) dari para
kontraktor. "Dari segi penyediaan biaya, dana sebesar itu tak
akan membebani neraca pembayaran," ujar Menko Ali Wardhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini