NYONYA yang ulet itu kini kembali menghadapi ujian berat. Pada
1960-an, ia masuk penjara gara-gara difitnah PKI. Sekarang,
Koperasi Setia Budi Wanita (SBW) yang dipimpinnya mengalami
guncangan. Terkena efek devaluasi? Tidak. "Mengalami musibah
keuangan," kata Ny. M. Zaafril Ilyas, 55 tahun, yang sehari-hari
biasa berkebaya, dan mengenakan kaca mata minus tebal.
Pernah menerima penghargaan sebagai Koperasi Teladan II tingkat
nasional (1980), SBW yang khusus beranggotakan wanita tadinya
banyak dibanggakan. Bermula dari arisan 17 orang nyonya di Kota
Malang Jawa Timur, 1974, Ny. Zaafril kemudian menggerakkan dan
mengembangkan hingga resmi menjadi koperasi serba usaha, 1976.
Dalam waktu empat tahun, jumlah anggota membengkak menjadi 5.000
orang. SBW memiliki unit bina sejahtera, percetakan, peternakan,
dan simpan pinjam. Walikota Malang, Kol. Soegijono, kini wakil
gubernur Irja, pernah berkata, "ke Malang tanpa melihat SBW
rasanya kok kurang lengkap." Bahkan Bustanil Arifin, semasa
menjabat menteri muda Urusan Koperasi meramalkan suatu ketika
SBW akan merenggut gelar juara nasional.
Namun apa lacur, belakangan ini SBW dirundung malang. "Saya
sudah menunggu delapan bulan, belum Juga mendapat pinjaman,"
keluh seorang anggota. Padahal dulu paling lama menunggu hanya
satu minggu.
Jumlah anggota SBW juga menyusut, sekarang tinggal sekitar 3.000
orang. "Barangkali masih ada yang akan berhenti lagi bulan ini,"
ujar Ny. Zaafril kepada M. Baharun dari TEMPO, pekan lalu.
Wanita berdarah Madura, dan istri seorang geneakolog itu tampak
tabah.
'Musibah' itu sebetulnya sudah ketahuan pertengahan tahun lalu,
tatkala Badan Pemeriksa (BP) keuangan SBW menyimak pembukuan.
Diam-diam koperasi ini "dirugikan" Rp 415 juta. Yang dituding
sebagai pelaku adalah Dra. Warcih, ketika itu manajer keuangan.
Warcih, 48 tahun, konon memberikan pinjaman khusus kepada
"orang-orangnya" melebihi plafon. Memang, karena kelebihan dana,
sejak 1981 SBW memberikan pinjaman kepada bukan anggota, dengan
jaminan. Plafonnya ditentukan Rp 5 juta.
Tetapi Warcih berani mengeluarkan pinjaman Rp 259 juta, tanpa
jaminan. Itu dilakukan sejak 1980. Bila dihitung dengan bunganya
yang 4%, jumlah itu kini menjadi Rp 415 juta.
Warcih sudah mengakui keteledoran ini, dan diberhentikan untuk
mempertanggungjawabkan. Bekas karyawan bank itu juga memberikan
jaminan tanah seluas 7 hektar dengan nilai Rp 450 juta. "Tanah
itulah nanti yang akan dijual untuk mengganti pinjaman tadi,"
kata Dra. Kasmiyati Soeprapto, bendahara dan manajer keuangan
SBW yang baru.
Sistem simpan pinjam SBW konon menarik, hingga banyak ditiru KUD
di sekitar Malang. Di samping simpanan wajib Rp 1.500, dipungut
simpanan pokok Rp 20 ribu, boleh dicicil lima kali. Ada pula
uang sukarela minimal Rp 200. Semua ini bisa diminta kembali
bila anggota mengundurkan diri.
Setiap anggota berhak meminjam Rp 250 ribu, dalam masa 6 sampai
18 bulan. Bunganya 4% sebulan. Jaminan ditanggung ketua
kelompok, yang ditupjuk koordinator. Setiap kelompok terdiri
dari 15 sampai 30 orang. Anggota kelompok ditanggung renteng,
sehingga semuanya kebagian tanggung jawab. Ketua kelompok
mendapat dispensasi plafon pinjaman maksimal Rp 350 ribu.
"Setiap tahun koperasi ini untung Rp 50 juta," ujar Kasmiyati.
Sebagian keuntungan digunakan untuk menyantuni 60 karyawan SBW.
Koperasi ini mempunyai 19 koordinator, dan 50 ketua kelompok.
Koordinator ke bawah tidak menerima gaji, hanya uang makan dan
transpor.
Tetapi berkembangnya koperasi rupanya disertai lemahnya kontrol
keuangan. "Dulu sudah ada BP keuangan, tetapi tugasnya
merangkap-rangkap," tutur Kasmiyati. "Kini saya minta ketua unit
melaporkan keuangannya setiap hari, dan harus cocok dengan kas."
Dulu hal itu tidak pernah dilakukan.
Namun kepercayaan masyarakat sempat surut. Berbagai keluhan,
yang sebelumnya tidak terdengar, sekarang bermunculan. Ny.
Sutrisno, misalnya, menyebut bunga pinjaman terlalu besar.
Ibu empat anak itu meminjam Rp 250 ribu untuk membuka warung
kelontong di bilangan Kepanjen, Malang. "Kini saban hari pikiran
saya tertuju pada rente yang tiap bulan harus dibayar Rp 10
ribu," katanya. Begitu pinjaman lunas, ia berniat keluar.
Ny. Sulastri lain lagi. "Sudah hampir setahun saya menunggu,
belum juga boleh meminjam," katanya. Ia lalu menarik sumbangan
pokok dan iurannya dari SBW, lalu mengundurkan diri. Dulu ia
memang mengaku tertarik pada persyaratan SBW. "Setiap k sb
luarga bisa meminjam, asal jadi anggota. Bank mana yang bisa
begitu?" katanya.
Selain memberi pinjaman, SBW juga menerima deposito berjangka
para anggotanya dengan bunga 2,25% sebulan. Ada pula deposito
harian -- tiap hari bisa diambil kalau mau -- dengan bunga 0,5%.
Sebelum rame-rame, 900 orang mendepositokan uangnya pada SBW
dengan nilai Rp 1,1 milyar. "Kini menurun sampai lebih dari
separuh," kata Ny. Kasmiyati.
Tetapi Ny. Zaafril berpantang menyerah. Jumlah kekayaan SBW
sekarang masih bernilai Rp 1,8 milyar, termasuk bunga di tangan
debitur. Apalagi tahun ini koperasi itu menerima suntikan dana
dari sebuah bank pemerintah sekitar Rp 900 juta.
Ny. Zaafril juga membantah sebuah sumber Tim Penyelesaian
Piutang Khusus Koperasi (TPKK) yang mengatakan tanah jaminan
Dra. Warcih itu sebetulnya sudah terjual. "Tidak mungkin, semua
suratnya ada di sini," kata Ny. Zaafril. Ia menyesalkan TPKK
"bekerja lambat," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini