SETELAH dimakamkan di pekuburan Pere Lachaise, Paris, 19 April,
lengkaplah sudah riwayat filsuf besar Prancis itu, Jean-Paul
Sartre. Ia meninggal 15 April dalam usia 74 tahun sesudah
beberapa lama menderita radang paru-paru dan tekanan darah
tinggi.
Sehari sesudah kematian itu, Presiden Prancis Valery Giscard
d'Estaing, menyampaikan pidato dukacita. Ia menyebut Sartre
"orang yang berpikiran gemilang dalam zaman kita." Selagi muda,
ia mengaku banyak membaca karya-karya filsuf eksistensialis yang
banyak juga menulis novel dan sandiwara itu.
Tak kurang dari 50 judul buku telah ditulis lelaki yang tidak
pernah mau menikah karena dianggapnya perkawinan dan keluarga
hanya beban saja. Namun Sartre tidaklah menjauhi wanita ia
bahkan hidup bersama dengan pengarang Simone de Beauvoir lebih
dari 30 tahun lamanya.
Ketika berusia 23 tahun, Sartre lulus dengan predikat terbaik
pada Ecole Normale Superieure. Sedangkan teman hidupnya, Simone
de Beauvoir, lulusan terbaik nomor dua. Sejak itu keduanya
seakan tak bisa dipisahkan lagi.
Pernah menjadi pejuang pro-komunis yang gigih pada tahun 30-an
tapi kemudian membelot karena kecewa sesudah ada perjanjian
nonagresi Nazi-Soviet, 1939. Tapi ketika Jerman kemudian
menyerbu Rusia, Sartre kembali ke kubu komunis menghantam Jerman
-- lewat sandiwara. Dan ketika Stalin kemudian berkuasa di
Soviet, Sartre kecewa lagi. Tapi pada dasarnya Sartre
menempatkan diri di sayap kiri yang militan -- meskipun partai
komunis tidak mengakui sifat "revolusioner"nya.
Ia terpilih sebagai pemenang hadiah Nobel 1964. Namun Sartre
menolak hadiah itu. Ia membenci nilai-nilai yang melekat pada
hadiah semacam itu. Dan ketika orangorang miskin menulis surat
kepadanya, "berikan hadiah yang kau tolak itu pada kami," Sartre
merasa pedih. Ia merasa tidak dimengerti.
Karya filsafatnya yang terpenting, L'Etre et le neant (1943).
Novelnya, La Nausee (1938). Sandiwara-sandiwaranya yang pernah
dipentaskan di sini antara lain Les Mouches (Lalat-lalat) dan
Huis Clos (Pintu Tertutup). Tapi ia tidak punya pengaruh
apapun di Indonesia. Hanya di tahun l950-an banyak seniman
mengaku "eksistensialis."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini