AWAL Perang Dunia ke-2, radar sekutu di Inggris mendadak tidak
berfungsi. Maka timbul dugaan semula bahwa Jerman menemukan
peralatan baru yang bisa mematikan radar lawan. Tapi kemudian
diketahui oleh para ahli astrofisika bahwa ganggudn itu sebagai
akibat meningkatnya aktivitis matahari yang memang mencapai
maksimum sekitar tahun 1942.
Gejala aktivitas matahari sekarang diketahui berulang setiap 11
tahun dan ditandai oleh munculnya sekelompok bintik di
permukaan matahari. Ini dibarengi dengan ledakan lidah api
setinggi puluhan ribu kilometer dan berkecamuknya badai
magnetik.
Juga permulaan April ini sekelompok bintik tampak menodai
permukaan matahari. Peneropongan Bintang Bochum di Jerman Barat,
yang memfoto gejala ini, menduga komunikasi radio dan cuaca di
bumi akan bisa dipengaruhinya. Terdiri dari 4 bintik besar dan
beberapa yang kecil, seluruh kelompok itu menjangkau jarak
sekitar 305 ribu km di permukaan matahari. Juga Peneropongan
Bintang Griffith di Los Angeles, AS, memfotonya. Para sarjana di
sana memperkirakan bintik itu ada yang bergaris tengah 2 sampai
3 kali garis tengah bumi yang 12.740 km itu.
Astronot Amatir
Di zaman kuno orang pun sudah mengetahui bahwa matahari sering
dinodai oleh bintik besar dan kecil, yang pada waktunya
menghilang. Yang besar mudah terlihat tanpa alat khusus,
terutama menjelang matahari terbenam dan ketika silau cahayanya
sangat berkurang. Tapi pengamatan sistematis baru dimulai ketika
Galileo, ahli astronomi, matematika dan fisika asal Florence,
mengarahkan teropongnya untuk mengamati matahari. Walaupun
secara terpisah beberapa sarjana lain juga melakukan pengamatan
seperti ini, hanya Galileo mengungkapkan bintik itu sebagai
gejala alamiah matahari.
Tapi sifat berkala gejala ini baru berhasil diungkapkan oleh
Samuel Heinrich Schwabe, seorang astronom amatir di Jerman tahun
1843. Schwabe selama 33 tahun mengamati matahari. Ia
menyimpulkan bahwa maksimum aktivitas matahari berulang setiap
11 tahun (tepatnya 11,2 tahun).
Apa yang menyebahkan bintik itu timbul sampai sekarang pun belum
bisa dijelaskan secara tuntas. Yang diketahui pasti bahwa gejala
ini berhubungan dengan berbagai kekuatan magnetis. Penelitian
Carl Friedrich Gauss amat berharga dalam hal ini. Astronom dan
ahli matematika Jerman ini tahun 1834 mendirikan peralatan
pengukur medan magnetis di Gottingen.
Indonesia baru mulai tahun 1977 meneliti berbagai gejala
kegiatan matahari dengan mengunakan radio-teleskop Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Untuk ini sebuah
stasiun pengamat matahari dibangun di Desa Hourngombong,
Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat Peralatan
pengamat elektronis dan optis dipakainya. Sebagian peralatan
itu dibikin di dalam negeri oleh Pusat Riset Dirgantara LAPAN.
"Dibanding negara berkembang lainnya, Indonesia tidak perlu
merasa ketinggalan," ujar Ir. Wilson Sinambel kepada TEMPO pekan
lalu. Kepala Stasiun Pengamat Matahari di Haurngombong itu
menerangkan bahwa Filipina, misalnya, yang melakukan pengamatan
sejak masa penjajahan Spanyol, menggunakan peralatan yang
semuanya diimpor dari Amerika Serikat.
Matahari tidak diteropong dengan teleskop biasa. Teropong
khususnya terdiri dari sejumlah cermin yang memantulkan cahaya
matahari itu ke atas sebuah bidang. Proyeksi itulah yang
dipelajari dan difoto para peneliti.
Peralatan itu harus pula mengikuti lintasan matahari di langit.
Di Haurngombong ini masih dilakukan dengan tenaga manusia --
belum secara otomatis dikendalikan komputer.
Kini stasiun pengamat matahari di dunia sudah berjumlah puluhan.
Yang terbesar terletak pada ketinggian 2.000 m di Puncak Kitt
dekat Tucson, Arizona, AS.
Meskipun tidak perlu merasa ketinggalan, ketika terjadi banyak
ledakan besar Februari lalu, dan karena awan menutupi langit,
para pengamat di Haurngombong terpaksa menganggur. "Soalnya
ketika itu cuacanya jelek," jelas Ir. Wilson.
Cincin Tahunan
Alat optik yang kini terpasang di Haurngombong berupa sebuah
teleskop Celetron 36 cm dan 12 cm. Dengan alat ini dapat diamati
daerah fotosfir dan kromosfir (lapisan bawah atmosfir matahari)
dengan bantuan filter H Alpha (hidrogen alfa).
Pengamatan di Haurngombong juga dapat dilakukan dengan cara
radio-elektronik dengan frekuensi 200 MH. Menghasilkan
sederetan pulsa yang tercatat pada kertas rekaman, cara
radioelektronik ini dapat menjangkau daerah kromosfir dan korona
(lapisan atmosfir luar yang hanya tampak bila terjadi gerhana
bulan). Peralatan optik menghasilkan proyeksi dan foto yang
langsung dapat diamati.
Sebelum Indonesia memiliki stasiun di Haurngombong itu,
penelitian dilakukan dengan mempergunakan data meteo dari
stasiun Meteorologi dan Geofisika (PMG). "Kini bisa dipelajari
aktivitas apa yang terjadi di matahari dan hubungannya dengan
berbagai gejala alam di bumi," ujar Ir. Wilson. Dan noda
matahari April ini bisa diikutinya.
Aktivitas matahari berupa bintik dan badai magnetik bisa
langsung mempengaruhi berbagai gejala alam di bumi seperti suhu,
pola angin, curah hujan, pertumbuhan tanaman, bahkan juga
perangai manusia dan hewan, demikian pendapat para ahli.
Umpamanya, cincin tahunan pohon di berbagai daerah Eropa
menunjukkan variasi tebal tipis yang seirama dengan siklus
aktivitas matahari. Namun hal ini masih merupakan kontroversi
antara para sarjana. Yang jelas badai magnetik dan semburan
lidah api, yang tampak sebagai akibat bintik matahari itu, punya
pengaruh jelas terhadap berbagai sarana seperti komunikasi
radio, pedoman (kompas) dan jaringan transmisi tenaga listrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini