Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kala sang surya ternoda bintik

Gejala aktivitas matahari dan hasil pengamatan, dari stasiun di desa hourngombong, jawa barat. peralatannya berasal dari dalam negeri.

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAL Perang Dunia ke-2, radar sekutu di Inggris mendadak tidak berfungsi. Maka timbul dugaan semula bahwa Jerman menemukan peralatan baru yang bisa mematikan radar lawan. Tapi kemudian diketahui oleh para ahli astrofisika bahwa ganggudn itu sebagai akibat meningkatnya aktivitis matahari yang memang mencapai maksimum sekitar tahun 1942. Gejala aktivitas matahari sekarang diketahui berulang setiap 11 tahun dan ditandai oleh munculnya sekelompok bintik di permukaan matahari. Ini dibarengi dengan ledakan lidah api setinggi puluhan ribu kilometer dan berkecamuknya badai magnetik. Juga permulaan April ini sekelompok bintik tampak menodai permukaan matahari. Peneropongan Bintang Bochum di Jerman Barat, yang memfoto gejala ini, menduga komunikasi radio dan cuaca di bumi akan bisa dipengaruhinya. Terdiri dari 4 bintik besar dan beberapa yang kecil, seluruh kelompok itu menjangkau jarak sekitar 305 ribu km di permukaan matahari. Juga Peneropongan Bintang Griffith di Los Angeles, AS, memfotonya. Para sarjana di sana memperkirakan bintik itu ada yang bergaris tengah 2 sampai 3 kali garis tengah bumi yang 12.740 km itu. Astronot Amatir Di zaman kuno orang pun sudah mengetahui bahwa matahari sering dinodai oleh bintik besar dan kecil, yang pada waktunya menghilang. Yang besar mudah terlihat tanpa alat khusus, terutama menjelang matahari terbenam dan ketika silau cahayanya sangat berkurang. Tapi pengamatan sistematis baru dimulai ketika Galileo, ahli astronomi, matematika dan fisika asal Florence, mengarahkan teropongnya untuk mengamati matahari. Walaupun secara terpisah beberapa sarjana lain juga melakukan pengamatan seperti ini, hanya Galileo mengungkapkan bintik itu sebagai gejala alamiah matahari. Tapi sifat berkala gejala ini baru berhasil diungkapkan oleh Samuel Heinrich Schwabe, seorang astronom amatir di Jerman tahun 1843. Schwabe selama 33 tahun mengamati matahari. Ia menyimpulkan bahwa maksimum aktivitas matahari berulang setiap 11 tahun (tepatnya 11,2 tahun). Apa yang menyebahkan bintik itu timbul sampai sekarang pun belum bisa dijelaskan secara tuntas. Yang diketahui pasti bahwa gejala ini berhubungan dengan berbagai kekuatan magnetis. Penelitian Carl Friedrich Gauss amat berharga dalam hal ini. Astronom dan ahli matematika Jerman ini tahun 1834 mendirikan peralatan pengukur medan magnetis di Gottingen. Indonesia baru mulai tahun 1977 meneliti berbagai gejala kegiatan matahari dengan mengunakan radio-teleskop Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Untuk ini sebuah stasiun pengamat matahari dibangun di Desa Hourngombong, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat Peralatan pengamat elektronis dan optis dipakainya. Sebagian peralatan itu dibikin di dalam negeri oleh Pusat Riset Dirgantara LAPAN. "Dibanding negara berkembang lainnya, Indonesia tidak perlu merasa ketinggalan," ujar Ir. Wilson Sinambel kepada TEMPO pekan lalu. Kepala Stasiun Pengamat Matahari di Haurngombong itu menerangkan bahwa Filipina, misalnya, yang melakukan pengamatan sejak masa penjajahan Spanyol, menggunakan peralatan yang semuanya diimpor dari Amerika Serikat. Matahari tidak diteropong dengan teleskop biasa. Teropong khususnya terdiri dari sejumlah cermin yang memantulkan cahaya matahari itu ke atas sebuah bidang. Proyeksi itulah yang dipelajari dan difoto para peneliti. Peralatan itu harus pula mengikuti lintasan matahari di langit. Di Haurngombong ini masih dilakukan dengan tenaga manusia -- belum secara otomatis dikendalikan komputer. Kini stasiun pengamat matahari di dunia sudah berjumlah puluhan. Yang terbesar terletak pada ketinggian 2.000 m di Puncak Kitt dekat Tucson, Arizona, AS. Meskipun tidak perlu merasa ketinggalan, ketika terjadi banyak ledakan besar Februari lalu, dan karena awan menutupi langit, para pengamat di Haurngombong terpaksa menganggur. "Soalnya ketika itu cuacanya jelek," jelas Ir. Wilson. Cincin Tahunan Alat optik yang kini terpasang di Haurngombong berupa sebuah teleskop Celetron 36 cm dan 12 cm. Dengan alat ini dapat diamati daerah fotosfir dan kromosfir (lapisan bawah atmosfir matahari) dengan bantuan filter H Alpha (hidrogen alfa). Pengamatan di Haurngombong juga dapat dilakukan dengan cara radio-elektronik dengan frekuensi 200 MH. Menghasilkan sederetan pulsa yang tercatat pada kertas rekaman, cara radioelektronik ini dapat menjangkau daerah kromosfir dan korona (lapisan atmosfir luar yang hanya tampak bila terjadi gerhana bulan). Peralatan optik menghasilkan proyeksi dan foto yang langsung dapat diamati. Sebelum Indonesia memiliki stasiun di Haurngombong itu, penelitian dilakukan dengan mempergunakan data meteo dari stasiun Meteorologi dan Geofisika (PMG). "Kini bisa dipelajari aktivitas apa yang terjadi di matahari dan hubungannya dengan berbagai gejala alam di bumi," ujar Ir. Wilson. Dan noda matahari April ini bisa diikutinya. Aktivitas matahari berupa bintik dan badai magnetik bisa langsung mempengaruhi berbagai gejala alam di bumi seperti suhu, pola angin, curah hujan, pertumbuhan tanaman, bahkan juga perangai manusia dan hewan, demikian pendapat para ahli. Umpamanya, cincin tahunan pohon di berbagai daerah Eropa menunjukkan variasi tebal tipis yang seirama dengan siklus aktivitas matahari. Namun hal ini masih merupakan kontroversi antara para sarjana. Yang jelas badai magnetik dan semburan lidah api, yang tampak sebagai akibat bintik matahari itu, punya pengaruh jelas terhadap berbagai sarana seperti komunikasi radio, pedoman (kompas) dan jaringan transmisi tenaga listrik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus